Realisasi Program Kampung Iklim jauh dari harapan. Main klaim, tanpa evaluasi dan pemantauan, Program Kampung Iklim menjadi urusan kelompok masyarakat. Lewat program itu, pemegang otoritas melepas tanggung jawabnya soal krisis iklim.
Minggu sore, 14 Januari 2024. Hari itu, hujan lebat melanda Dusun Kabagusan 1, Desa Kebagusan, Kecamatan Gedongtataan, Kabupaten Pesawaran, Lampung. Dalam sekejap air mulai menggenang di badan jalan di depan rumah Jumio (43).
Ketika hujan mulai reda, Jumio dan beberapa warga ke luar rumah. Mereka menyingkirkan pelbagai sampah di dekat rumah masing-masing. Sampah berupa plastik, kayu, dan dedaunan menyumbat saluran air. Akibatnya, sepanjang jalan utama dusun itu terendam banjir.
“Kalau hujan pasti banjir di sini,” ujar Jumio, Rabu, 17 Januari 2024.
Sampah-sampah yang terbawa air berasal dari limbah rumah tangga warga setempat. Selain itu, Dusun Kabagusan dilewati sebuah sungai yang sering jadi tempat pembuangan sampah. Dampaknya, ketika debit air tinggi karena hujan, sampah di kali meluap ke badan jalan.
Mulai pertengahan 2023, Desa Kebagusan menjadi salah satu dari 68 wilayah di Lampung yang ditetapkan sebagai Kampung Iklim dalam Program Kampung Iklim (Proklim). Program di bawah otoritas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan itu digagas sejak 2012. Tujuannya, meningkatkan keterlibatan masyarakat dan pemangku kepentingan lain untuk penguatan kapasitas adaptasi terhadap dampak perubahan iklim dan penurunan emisi gas rumah kaca.
Kampung Iklim merupakan lokasi yang berada di wilayah administratif paling rendah setingkat rukun warga atau dusun, dan paling tinggi setingkat kelurahan/desa, atau wilayah yang masyarakatnya telah melakukan upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim secara berkesinambungan. Di tingkat provinsi, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) menjadi leading sector program tersebut.
Mengacu Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.84/MENLHK-SETJEN/KUM.1/11/2016 tentang Program Kampung Iklim, terdapat beberapa syarat umum agar sebuah wilayah ditetapkan sebagai Kampung Iklim. Pertama, aksi lokal adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di lokasi yang diusulkan telah dilaksanakan sekurang-kurangnya dua tahun secara berkelanjutan. Kedua, terbentuk kelompok masyarakat sebagai penggerak kegiatan di lokasi yang diusulkan. Ketiga, tersedia berbagai aspek pendukung yang dapat menjamin keberlanjutan pelaksanaan dan pengembangan kegiatan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di tingkat lokal.
Adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang dimaksud, antara lain pengendalian bencana banjir, longsor, dan kekeringan. Kemudian, pencegahan kebakaran hutan, serta pengelolaan sampah, limbah padat dan cair.
Alih-alih memenuhi kriteria, sejumlah wilayah yang ditetapkan sebagai Kampung Iklim di Lampung justru bertolak belakang. Desa Kebagusan, misalnya. Beberapa dusun di desa tersebut langganan banjir. Kemudian, pada musim kemarau, sejumlah titik hutan terbakar. Hingga kini, belum banyak tindakan konkret untuk mengatasi bencana di sana.
Begitu pula dengan pengelolaan sampah. Desa berpenduduk sekitar 7.000 jiwa itu tak memiliki tempat penampungan sementara (TPS). Satu-satunya tempat pembuangan sampah di Tamansari, sekitar 5,6 kilometer dari desa. Itulah mengapa ada warga yang membuang sampah ke sungai. Beberapa warga menumpuk sampahnya di sekitar rumah. Ada juga yang membakarnya. Mereka yang punya uang membayar petugas kebersihan untuk mengangkut sampah menuju Tamansari.
“Tapi, masih banyak warga yang membakar atau mengolah sampahnya sendiri. Sebab, tidak semua orang sanggup iuran sampah,” kata Jumio.
Menurut Sekretaris Desa Kebagusan Budi Cahya Ningrat, penetapan wilayahnya sebagai Kampung Iklim lantaran ada kelompok masyarakat yang menggerakkan bank sampah. Mereka bergerak secara swadaya.
“Jadi, DLH ke sini (desa) dan bilang kalau bank sampah bisa jadi penunjang Proklim. Setelah dua sampai tiga kali pertemuan, akhirnya desa kami ditetapkan sebagai Kampung Iklim,” ujar Budi.
Akan tetapi, pascapenetapan sebagai Kampung Iklim, tak ada lagi evaluasi, pemantauan, maupun program regular dari Dinas Lingkungan Hidup Lampung. Keberadaan bank sampah pun belum maksimal. Sejauh ini, baru satu bank sampah di desa tersebut. Alhasil, belum dapat mengelola semua sampah di Desa Kebagusan.
Mengenai Proklim, Budi berharap ada semacam evaluasi atau pembinaan rutin dari Pemerintah Provinsi Lampung. Sehingga, realisasi program tersebut dapat optimal.
“Bisa tiga bulan atau enam bulan sekali. Jadi, Proklim berjalan dengan baik, tidak sebatas program saja,” ujarnya.
Nasib tak jelas terkait Kampung Iklim juga menimpa desa yang berada satu kecamatan dengan Kebagusan, yakni Desa Bogorejo. Berbeda dengan Kebagusan, Bogorejo telah ditetapkan sebagai Kampung Iklim, tiga tahun lalu.
Meski begitu, kondisi Bogorejo justru lebih buruk. Berdasarkan Peraturan Bupati Pesawaran Nomor 79 Tahun 2022, Bogorejo masuk kategori permukiman kumuh. Beberapa indikatornya, antara lain drainase buruk, kurang sarana dan prasarana pengelolaan sampah, serta tidak ada proteksi dini kebakaran. Semua indikator tersebut kontradiktif dengan syarat umum Proklim.
Kepala Urusan Perencanaan Desa Bogorejo Sugiyono sampai bingung ihwal Proklim. Sebab, Dinas Lingkungan Hidup Lampung baru satu kali melaksanakan sosialisasi Proklim, yakni saat penetapan Kampung Iklim. Setelah itu, tak pernah ada program atau pemantauan soal Proklim.
“Hingga saat ini tidak ada program berkelanjutan,” kata Sugiyono.
Sama seperti Kebagusan, di Bogorejo tak ada satu pun TPS. Masyarakat masih membakar sampah. Lalu, setiap tahun selalu ada ancaman kebakaran hutan dan banjir.
Sugiyono berharap, Proklim tak hanya sampai penetapan. Namun, ada pembinaan dari Dinas Lingkungan Hidup terkait program berkelanjutan guna memitigasi krisis iklim.
Lepas Tanggung Jawab
Selain kabupaten, proklim juga digalakkan di perkotaan, yaitu Bandar Lampung dan Metro. Alih-alih lebih maju, Proklim di kawasan urban tak menunjukkan progres.
Di Kota Metro terdapat dua kelurahan yang ditetapkan sebagai Kampung Iklim, yaitu Yosodadi dan Yosomulyo. Aparatur di dua kelurahan tersebut berterus terang kurang paham soal Proklim. Mereka hanya pernah mendengar program tersebut ketika sosialiasi Penghargaan Adipura.
“Katanya (Dinas Lingkungan Hidup Metro), Proklim itu salah satu penilaian untuk Penghargaan Adipura. Tapi, kami tak tahu petunjuk teknisnya,” ucap Didik Dwi Bintoro, Kepala Seksi Ekonomi dan Pembangunan Kelurahan Yosodadi.
Satu-satunya indikasi mengapa dua kelurahan itu ditetapkan sebagai Kampung Iklim adalah keberadaan bank sampah. Namun, pegawai kelurahan bilang, bank sampah belum maksimal mengelola sampah.
Tak berbeda jauh dengan Kampung Iklim di Pesawaran, dua kelurahan itu juga tak punya TPS. Tenaga kebersihan pun minim. Ketiadaan sarana dan prasana tersebut menjadi pemicu banyak warga membakar sampah. Padahal, pembakaran sampah dapat memperparah polusi dan meningkatkan konsentrasi emisi gas rumah kaca sebagai penyebab utama krisis iklim. Diperkirakan satu ton sampah padat menghasilkan sekitar 50 kg gas metana.
Adapun di Bandar Lampung terdapat satu kelurahan yang menjadi Kampung Iklim. Lokasinya, Kelurahan Kampung Baru Tiga, Kecamatan Panjang Utara. Wilayah tersebut masuk dalam kategori Proklim Utama.
Dalam penilaian Proklim terdapat empat kategori, yaitu Proklim Pratama, Madya, Utama, dan Lestari. Proklim dengan kategori utama dinilai telah melaksanakan komponen adaptasi, mitigasi, dan program keberlanjutan terkait perubahan iklim lebih dari 80%.
Di Lampung, baru dua Proklim Utama. Satu kampung lainnya terletak di Pekon Gisting Atas, Tanggamus, Lampung. Meski ditetapkan sebagai Proklim Utama, namun wilayah itu tak memiliki agenda yang jelas soal adaptasi, mitigasi, dan program keberlanjutan mengenai krisis iklim.
Ketua Rukun Tetangga 001 Nur Rachmad (55) berpendapat, Program Kampung Iklim terkesan melepas tanggung jawab negara ihwal krisis iklim. Pasalnya, sejak ditetapkan menjadi Kampung Iklim, tak pernah ada sosialisasi, pembinaan, ataupun evaluasi berkala.
“Jadi, dari dinas tiba-tiba datang ke sini (Kampung Baru Tiga), lalu menetapkan kami sebagai Kampung Iklim. Setelah itu, tidak ada program ataupun pembinaan lanjutan. Jadi, warga dibiarkan sendiri,” kata Nur.
Ia bilang, sebelum ditetapkan sebagai Kampung Iklim, warga setempat memprakarsai Kampung Hijau sejak 2015. Beberapa warga menanam pohon di pekarangan rumahnya. Selain itu, istri mereka juga menggerakkan warga kampung untuk mengelola sampah plastik menjadi ecobrick. Semuanya dijalankan secara swadaya.
“Jadi, belum ada pembinaan maupun program konkret dari Dinas Lingkungan Hidup untuk Kampung Iklim,” ujarnya.
Akan tetapi, sempat ada bantuan mesin pencacah plastik dari Dinas Lingkungan Hidup. Namun, warga tak mendapat penyuluhan terkait penggunaan mesin tersebut. Sampai sekarang mesin itu belum digunakan dan kini tersimpan di samping rumahnya.
“Sewaktu diberi bantuan saja disuruh ambil sendiri ke dinas. Jadi, saya pakai uang pribadi untuk mengangkut alat tersebut,” kata Nur.
Ia berharap, ke depan ada langkah atau agenda yang jelas dalam pelaksanaan Proklim. Dengan demikian, program itu tak hanya sebatas klaim, namun terwujud.
Jika merujuk aturan tentang Proklim, pemerintah harus mengembangkan dan meningkatkan kapasitas masyarakat guna mendukung adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Kemudian, menyusun rencana dan melaksanakan aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim berbasis masyarakat, memantau, serta mengevaluasi program.
Dwi Tyastuti, Kepala Bidang Tata Lingkungan Hidup Dinas Lingkungan Hidup Lampung, tak memungkiri bahwa pihaknya belum maksimal dalam pembinaan Proklim. Ia menyebut keterbatasan sumber daya manusia dan anggaran menjadi musababnya.
“Wajar bila masyarakat berpikir bahwa kami seperti itu (lepas tanggung jawab). Karena memang pendampingan dan pembinaan terhadap mereka belum maksimal,” ujarnya.
Namun demikian, Dwi tetap yakin dengan Program Kampung Iklim. Saat ini, memang baru pada tahap identifikasi masalah. Identifikasi mereka, desa-desa yang masuk dalam Proklim berhubungan dengan masalah perubahan iklim, seperti banjir, kebakaran, dan pengelolaan sampah.
Menurutnya, Proklim merupakan program yang mendorong partisipasi masyarakat untuk melakukan adaptasi dan perubahan iklim. Jadi, masyarakat yang mesti aktif dalam program tersebut. Pihaknya selaku pemegang otoritas hanya fasilitator.
“Pemerintah tidak menganggarkan dana untuk Proklim. Dari APBN, hanya ada dana bimbingan teknis terhadap Dinas Lingkungan Hidup provinsi dan kabupaten/kota. Sedangkan dari APBD cuma sosialiasi kepada masyarakat,” kata Dwi.
Kendati belum maksimal dalam pembinaan 68 Proklim, Dinas Lingkungan Hidup Lampung menargetkan 600 desa sebagai Kampung Iklim, tahun ini. Secara nasional, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menetapkan target pembentukan 20.000 Kampung Iklim di seluruh Indonesia.
Main Klaim
Melihat fenomena itu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung menilai, pemerintah provinsi terlalu ambisius terkait penambahan 600 Kampung Iklim. Padahal, realisasi Proklim jauh dari maksimal.
“Pemerintah jangan asal klaim, tanpa memberikan kontribusi terhadap wilayah yang ditetapkan sebagai Kampung Iklim,” kata Direktur Walhi Lampung Irfan Tri Musri.
Sebagai regulator kebijakan, pemerintah punya tanggung jawab mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi Proklim. Dengan begitu, bisa diketahui apakah program tersebut berjalan sesuai harapan atau tidak.
“Jika diteruskan tanpa evaluasi yang jelas, bisa menjadi pemborosan anggaran yang justru merugikan negara,” ujarnya.
Di tengah ketidakjelasan pelaksanaan Proklim itu, Irfan memandang program tersebut bentuk kemunafikan pemerintah. Pada satu sisi, pemerintah mendorong warga untuk melakukan adaptasi dan mitigasi atas perubahan iklim. Tetapi, secara faktual, pemerintah melalui berbagai kebijakannya justru mempercepat laju krisis iklim.
Kemudian, proyek-proyek strategis nasional seperti pembangunan waduk di Wadas, pengembangan Eco City Di Rempang, dan program food estate malah merusak lingkungan, merampas tanah rakyat, dan mengalihfungsikan hutan. Kondisi tersebut tentu memperburuk krisis iklim.
Di Lampung, pemerintah setempat menerbitkan peraturan gubernur tentang pemanenan tebu dengan cara dibakar. Cara tersebut justru menambah emisi karbon di udara. Kemudian, program perhutanan sosial yang diharapkan mampu memperbaiki kualitas kawasan hutan dan lingkungan hidup, serta menekan emisi gas rumah kaca, tetapi belum mendapat dukungan penuh dari Pemerintah Provinsi Lampung.
Tak hanya itu, pembangunan di Lampung cenderung mengorbankan lingkungan. Contohnya, beberapa wilayah di Bandar Lampung yang semula hutan kota beralih fungsi menjadi kawasan komersial, seperti pusat pertokoan dan industri.
Pemerintah Kota Bandar Lampung mengklaim luas ruang terbuka hijau (RTH) sebesar 11,08%. Sedangkan analisis Walhi, jumlah RTH di Bandar Lampung hanya 9,86%, atau sekitar 1.845,48 hektare. Lalu, dalam Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 10 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Tahun 2011-2030, RTH ditetapkan seluas 344,256 ha. Dari jumlah itu, sekitar 100,43 hektare RTH beralih fungsi menjadi perumahan, objek wisata, dan bangunan lainnya.
Terbaru, marak izin operasi stockpile batu bara di Bandar Lampung. Tempat penampungan sementara batu bara itu membawa polusi yang berbahaya bagi warga setempat.
“Dalam konteks kebijakan-kebijakan tersebut, pemerintah sudah melanggar hak atas lingkungan hidup warganya. Sebab, setiap orang berhak atas lingkungan yang sehat,” kata Irfan.
Hal lainnya, dari 33 bukit di Kota Tapis Berseri, sekitar 20 bukit rusak parah. Sebagian besar menjadi pertambangan dan permukiman. Padahal, bukit menjadi salah satu tempat yang mampu menyerap karbon cukup baik.
Kondisi hutan di Lampung pun cukup mengkhawatirkan. Hingga 2020, kerusakan hutan mencapai sekitar 375.928 hektare atau 37,42% dari total hutan di Lampung.
Pelbagai kerusakan lingkungan dan alih fungsi lahan tersebut turut memicu dampak krisis iklim. Setidaknya, empat pulau di Lampung terus menyusut setiap tahun. Penyusutan tersebut akibat kenaikan air laut yang salah satunya disebabkan krisis iklim.
Kemudian, berbagai bencana hidro meteorologi juga terjadi di Lampung. Selama beberapa tahun terakhir, Lampung menjadi salah satu provinsi terparah yang dilanda kekeringan. Pada 2019, sebanyak delapan kabupaten/kota mengalami kekeringan. Dampaknya, terjadi krisis air dan ribuan hektare lahan pertanian gagal panen. Kekeringan juga memicu kebakaran hutan di Lampung. Tercatat, sekitar 2.607 hektare hutan terbakar.
Selain kekeringan, angin puting beliung kerap terjadi di sejumlah daerah. Sepanjang 2020-2021, tercatat empat laporan terkait puting beliung, di antaranya Tulangbawang, Lampung Timur, Lampung Utara, Lampung Barat, dan Bandar Lampung. Bencana itu merenggut nyawa dan merusak ratusan rumah.
Sejumlah daerah di Lampung pun menjadi langganan banjir. Salah satunya, Bandar Lampung. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) setempat mencatat 12 kecamatan rawan banjir dan longsor. Bahkan, Kabupaten Tanggamus yang notabene memiliki kawasan hutan sebagai catchment area terendam banjir, dua tahun belakangan.
Atas fakta-fakta itu, Irfan meminta pemerintah segera mengambil langkah-langkah. Pertama, pemerintah jangan lagi terjebak dalam gimmick korporasi perusak lingkungan. Misalnya, PT Pertamina Hulu Energi Offshore South East Sumatera (PHE OSES) yang relatif sering melaksanakan penanaman pohon. Namun, pada saat bersamaan, mereka menjadi terduga pembuangan limbah di pantai timur Lampung. Sebab, hal itu semakin melanggengkan praktik greenwashing.
Kedua, pemerintah sebaiknya menginventarisasi aset yang dapat dialokasikan sebagai ruang terbuka hijau. Kemudian, menekan perusahaan atau perorangan yang akan melakukan pembangunan supaya menyediakan sebagian lahannya untuk RTH. Terakhir, kebijakan di daerah jangan hanya sebatas program, melainkan aksi nyata.
“Misalnya, peraturan terkait penurunan emisi gas rumah kaca. Hal itu kan hanya sebatas rencana aksi, namun realisasi di lapangan sangat jauh dari harapan,” kata Irfan.(*)
Laporan Derri Nugraha