Produk regulator kebijakan masih menempatkan perempuan sebagai target kontrol. Dalam banyak ruang, kepentingan perempuan belum terakomodasi. Implementasi solusi pun palsu, yakni tak menjawab akar persoalan perempuan.
Tubuh Susi Mulyani (23) bergetar ketika mendeklarasikan posisi politik dan agenda perempuan melawan pemiskinan pada Kongres Nasional Solidaritas Perempuan di Hotel Horison, Bandar Lampung, Kamis, 3 Agustus 2023. Di hadapan lebih dari 500 peserta kongres, ia bersama perempuan lain mendesak negara untuk mengakui, memenuhi, dan melindungi peran, posisi, serta hak-hak perempuan.
Susi adalah korban represi terkait penambangan andesit di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Purworejo, Jawa Tengah. Ia bersama sang anak dan suami ikut menolak rencana penambangan andesit.
Susi masih mengingat brutalisme aparat pada April 2021. Siang itu, puluhan polisi dan TNI mendatangi desa mereka untuk menjaga sosialisasi pemasangan patok penambangan batu. Namun, di tengah penolakan, aparat bertindak represif. Suaminya menjadi salah satu korban. Ia dipukul dan diinjak oleh polisi.
Anak Susi yang baru berusia 30 bulan pun harus merasakan pedihnya gas air mata. Ratusan warga, termasuk para perempuan, turut menjadi korban brutalisme aparat. Sejak peristiwa itu, aparat berpatroli empat kali dalam seminggu.
Belum genap satu tahun, pada Februari 2022, polisi kembali mengepung Wadas. Polisi juga membawa anjing pelacak. Lebih dari 60 warga dan pengacara publik ditangkap. Malam sebelum aparat datang, Desa Wadas mengalami pemadaman listrik.
“Sinyal internet juga hilang. Jadi, enggak bisa komunikasi dengan keluarga maupun kerabat di sekitar desa,” kata Susi.
Susi dan warga lain benar-benar ketakutan. Malam itu, tak ada warga yang berani bermalam di rumahnya. Mereka mengungsi ke tempat kerabat atau tetangga yang jauh dari lokasi rumah. Sebab, tersiar kabar bahwa siapa pun yang menginap di rumah bakal ditangkap polisi.
Keluarga Susi berpencar. Susi bersama anaknya pergi ke rumah saudara. Sementara, sang suami menumpang di rumah tetangga. Bahkan, ayah Susi sempat bersembunyi di hutan sekitar 10 hari. Selama berondok, ayahnya bertahan hidup dengan memanfaatkan makanan di hutan.
“Kami enggak berani pulang karena takut ditangkap polisi,” ujar Susi.
Pada periode tersebut, aparat terus berpatroli menyusuri perkampungan. Mereka terlihat berjaga di beranda rumah-rumah warga.
Kini, Susi tergabung dalam Wadon Wadas, perkumpulan perempuan Desa Wadas. Perkumpulan tersebut bertujuan agar perempuan ikut serta secara masif dalam menjaga kelestarian alam Wadas dari ancaman penambangan. Mereka sadar bahwa rencana pertambangan akan merusak alam Desa Wadas – ruang penghidupan bagi mereka dari generasi ke generasi.
Penambangan batuan andesit dengan bahan peledak di Desa Wadas berpotensi membuat perempuan tergusur dan terancam, serta tercerabut dari tanahnya. Mereka akan kehilangan lahan garapan dan mata pencaharian. Sebab, warga desa, terutama perempuan Wadas, bekerja sebagai petani.
Lahan yang masuk dalam konsesi tambang termasuk lahan-lahan produktif yang selama ini dikelola masyarakat, khususnya perempuan. Mereka menggantungkan hidup dari hasil alam seperti gula aren, kelapa, kakao, cengkih, kopi, durian, dan palawija. Para perempuan juga membuat besek dari bambu yang tumbuh di sekitar perbukitan Desa Wadas.
Selain kehilangan ruang penghidupan, penambangan batuan dapat menyebabkan 28 sumber mata air di desa mengalami kekeringan. Sebab, hutan sebagai daerah tangkapan air menjadi rusak.
“Hal ini akan berdampak besar bagi kami (perempuan). Sebab, air merupakan kebutuhan dasar dalam rumah tangga dan bisa berpengaruh pada kesehatan reproduksi. Itulah mengapa hingga hari ini, perempuan Wadas tetap mempertahankan lahan dari penambangan,” kata Susi.
***
Bersisian dengan Susi saat deklarasi, Malvin Baduge berulang kali berteriak lantang, “Hidup Perempuan!” Matanya berkaca-kaca. Perempuan asal Desa Sulewana, Poso, Sulawesi Tengah, itu menempuh lebih dari 3.000 km untuk mengikuti Kongres Solidaritas Perempuan di Lampung. Ia ingin berbagi cerita soal sumber kehidupan di desanya yang rusak akibat pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) milik PT Poso Energy.
Sejak 2003, pembangunan megaproyek PLTA Poso yang berkapasitas 515 MW menimbulkan berbagai masalah, seperti perampasan tanah, kerusakan lingkungan, dan kemiskinan. Pembangunan PLTA merusak ekosistem Danau Poso dan sumber-sumber penghidupan masyarakat di sekitar proyek. Ratusan hektare wilayah adat masyarakat Danau Poso bahkan ditenggelamkan.
Uji coba pintu air bendungan PLTA Poso I pada April 2020 lalu, mengakibatkan sekitar 266 hektare lahan sawah dan kebun di 16 desa/kelurahan di sekeliling Danau Poso tenggelam-terendam air; ladang penggembalaan tenggelam; 94 kerbau Desa Tokilo mati dalam rentang dua bulan; hilangnya Tradisi Budaya Danau Mosango di wilayah Kompodongi; dan mata pencaharian nelayan tradisional terganggu. Uji coba itu juga merusak siklus air dan keanekaragaman hayati Danau Poso; mencemari sumber air warga; dan merendam rawa yang berperan penting bagi pengembangbiakan biota Danau Poso.
Malvin bilang, pembangunan PLTA berdampak buruk bagi masyarakat setempat. Warga tak bisa lagi mencari ikan. Padahal, banyak warga yang menggantungkan hidup dari Danau Poso.
“Katanya untuk listrik ramah lingkungan, tapi merusak sumber kehidupan kami,” ujar Malvin.
Persoalan itu pun berdampak bagi perempuan di Desa Sulewana. Pengerukan aliran sungai sepanjang 12,8 km untuk pemenuhan debit air PLTA Poso memicu keruhnya air sebagai kebutuhan dasar rumah tangga. Lalu, banyak perempuan yang bekerja sebagai petani terancam gagal panen dan kehilangan lahan.
“Jadi, beberapa tahun ini, kami sangat kesulitan. Tak bisa lagi cari ikan, air jadi keruh, lahan pertanian juga rusak,” kata Malvin.
Ihwal konteks keterlibatan, perempuan menghadapi tantangan berlapis karena sering kali tidak dianggap sebagai pemegang kepentingan. Padahal, peran dan pengalaman perempuan relevan di berbagai lini kehidupan masyarakat, termasuk dalam pengelolaan sumber-sumber agraria dan pelestarian lingkungan.
Kini, Malvin bersama perempuan lain di desanya melakukan perlawanan. Mereka berkumpul dan berdiskusi terkait hak-hak perempuan. Mereka juga berunjuk rasa dan menyurati pemerintah daerah setempat. Mereka mendorong pemulihan lingkungan akibat pembangunan PLTA. Kemudian, mendorong keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan. Sebab, selama ini, perempuan di Poso selalu diabaikan dan dimiskinkan atas nama pembangunan.
“Meski belum ada hasil, tapi kami tetap berjuang dan melawan. Setidaknya, perempuan di sekitar desa mulai sadar akan hak-haknya,” ucap Malvin.
Solusi Palsu
Kisah Susi dan Malvin merepresentasikan kepentingan perempuan dalam berbagai dimensi kehidupan acap terabaikan. Minimnya perspektif perlindungan hak masyarakat, terutama perempuan dan lingkungan, menjadi salah satu penyebab eksploitasi tersebut tetap langgeng. Di tengah situasi itu, solusi yang ditawarkan pemerintah terkesan palsu. Sebab, tak menjawab akar persoalan.
Direktur Aksi! for Gender, Social and Ecological Justice Titi Soentoro menilai, selama pemerintah mempertahankan model ekonomi ekstraktif, maka hak-hak masyarakat terutama perempuan akan terus terabaikan atas nama pembangunan.
Misalnya, dalam konteks penanganan krisis iklim. Pembanguan PLTA, bendungan, ataupun energi panas bumi oleh pemerintah merupakan salah satu solusi palsu yang dibungkus dengan narasi energi baru terbarukan. Sebab, pemerintah hanya melihat bahwa untuk mengurangi krisis iklim, maka perlu mengurangi produksi karbon. Namun, hal itu justru menimbulkan beragam masalah multidimensi.
Hal itu karena regulator kebijakan membangun di atas tanah rakyat dan kawasan hutan tanpa melibatkan suara masyarakat. Sehingga, terjadi penghancuran alam dan lingkungan serta merampas hak masyarakat, terutama perempuan.
Organisasi pemantau kebijakan pembangunan dan pelindungan hak-hak perempuan itu juga menyebut, mayoritas pembangunan lebih mengedepankan kepentingan industri ketimbang hak-hak masyarakat.
Misalnya, PLTA Poso milik PT Poso Energy – anak usaha Kalla Energy yang merupakan sub-holding dari konsorsium bisnis Kalla Group. Kalla Group juga memiliki bisnis smelter untuk pemurnian tambang. Informasi lain juga menyebutkan bahwa di Sulawesi Tengah telah berdiri 20 pabrik pemurnian tambang yang memerlukan pasokan listrik yang tinggi.
Titi mengatakan, perlu perubahan radikal oleh pemerintah dari model ekonomi ekstraktif menjadi pembangunan berkelanjutan. Dalam hal perubahan energi, yang diubah bukan semata sumber energinya, namun model ekonominya. Jika hanya mengubah sumbernya, maka tak akan menjawab akar masalah. Sebaliknya, pembangunan justru mengarah pada ekploitasi sumber daya alam dan lingkungan.
“Jadi, transisi energi itu mesti didasarkan pada keputusan demokratis dari masyarakat dan menghormati hak manusia serta perlindungan lingkungan. Sebab, yang pertama merasakan dampak pembangunan adalah masyarakat,” ujarnya.
Senada dengan Titi, akademisi Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera Asfinawati menyatakan, setidaknya lima tahun terakhir, banyak produk hukum merupakan solusi palsu yang menyengsarakan masyarakat dan berdampak terhadap perempuan. UU Minerba dan UU Cipta Kerja, misalnya. Kedua beleid yang digadang melindungi lingkungan, membuka lapangan pekerjaan, dan menyejahterakan masyakat itu justru memberi karpet merah kepada pengusaha tambang dan memotong hak-hak pekerja.
“Industri tambang tentu berdampak buruk bagi lingkungan dan masyarakat, utamanya perempuan. Di beberapa wilayah yang menjadi lokasi tambang, perempuan menjadi korban paling terdampak dan menerima beban ganda,” kata Asfin – sapaan Asfinawati.
Selain itu, beberapa ketentuan dalam UU Cipta Kerja dalam klaster ketenagakerjaan kian menyulitkan perempuan. Contohnya, ketentuan upah berdasarkan satuan waktu dan satuan hasil. Aturan tersebut membuka peluang perbudakan modern. Sebab, perempuan yang sedang hamil, misalnya, akan kesulitan memenuhi kriteria pengupahan tersebut.
“Bayangkan, perempuan yang sedang hamil bekerja dengan ketentuan kerja delapan jam dan mesti menghasilkan jumlah produksi tertentu. Ketika jumlah produksi belum terpenuhi, maka ia belum mendapat upah. Sementara, kondisi fisiknya tak memadai untuk memenuhi target tersebut,” ujarnya.
Mantan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) itu juga menyebut, pemerintahan saat ini masuk dalam kondisi state capture corruptions. Keadaan di mana negara ditawan oleh para koruptor. Sehingga, kebijakan yang dihasikan demi kepentingan segelintir orang/kelompok saja.
“Jadi, para elite menggunakan instrumen hukum untuk mendatangkan keuntungan bagi mereka,” kata Asfin.
Kebijakan Diskriminatif
Ketua Badan Eksekutif Komunitas (BEK) Solidaritas Perempuan Sebay Lampung Reni Mutia berpendapat, munculnya kebijakan-kebijakan yang memiskinkan perempuan itu tak lepas dari sistem politik patriarki.
Pemerintah Indonesia memilih untuk menjalankan mandatnya dengan cara yang patriarkat, yakni dengan meniadakan posisi perempuan untuk hidup dengan kedaulatan yang dimilikinya. Hal ini tercermin dari regulasi maupun langkah-langkah yang diambil.
“Pelibatan perempuan dalam ruang pengambilan keputusan masih minim. Itu sebabnya, kebijakan yang dihasilkan jarang mengakomodasi kepentingan perempuan,” kata Reni.
Menurutnya, kebijakan keterwakilan perempuan 30% dalam politik pun belum menjawab persoalan. Terkadang, posisi perempuan dalam legislatif hanya pelengkap kuota. Ia terkesan dipandang sebagai syarat bagi partai politik ikut serta dalam pemilu.
“Praktiknya, perempuan masih jarang dilibatkan dalam pengambilan keputusan yang benar-benar membawa kepentingan perempuan itu sendiri. Dalam berbagai sektor, kebijakan yang dihasilkan justru cenderung diskriminatif dan memiskinkan perempuan,” ujarnya.
Melihat pelbagai persoalan tersebut, Reni bilang, perempuan perlu menegaskan posisi dan agenda politiknya sendiri. Sebab, sistem politik patriarki yang mengakar sulit diubah tanpa agenda yang jelas. Beberapa hal yang dapat dilakukan di antaranya perempuan mengidentifikasi dan menguatkan inisiatif berdasarkan pengetahuan dan pengalaman perempuan dalam berhadapan dengan keputusan negara yang memiskinkan perempuan.
Pendapat Reni soal politik patriarki sejalan dengan data Komisi Nasional (Komnas) Perempuan. Banyak produk kebijakan pemerintah masih mendiskriminasi perempuan. Sejak 2010-2019, Komnas Perempuan mendata 421 kebijakan diskriminatif lahir atas nama otonomi daerah, agama, moralitas, dan kehendak mayoritas. Perumusan kebijakan diskriminatif itu kerap membungkam suara-suara yang berbeda pandang, termasuk melalui berbagai cara intimidasi dan peminggiran.
Kebijakan tersebut secara khusus menempatkan perempuan sebagai target kontrol, mengurangi pelindungan dan kepastian hukum, serta menghadirkan secara langsung maupun tak langsung diskriminasi berlapis. Hal itu karena identitasnya sebagai perempuan, pun kelompok minoritas dan marginal.
“Kebijakan diskriminatif itu baik di tingkat undang-undang, perda, peraturan kepala daerah, dan surat-surat edaran di berbagai lembaga negara dan daerah,” kata komisioner Komnas Perempuan Imam Nahe’I.
Menurutnya, beberapa bentuk kebijakan diskriminatif antara lain kebijakan atas nama moral dan agama yang kemudian menyebabkan kriminalisasi terhadap perempuan, pengaturan terhadap tubuh perempuan, pembatasan kebebasan berekspresi, pembatasan kebebasan berkeyakinan dan beragama. Termasuk di dalamnya pembatasan dan kriminalisasi terhadap kelompok minoritas, baik minoritas agama dan keyakinan maupun minoritas seksual. Bentuk-bentuk kebijakan diskriminatif itu terlihat, misalnya, dalam kebijakan yang mengatur busana, ketertiban umum, penyakit masyarakat, pengaturan agama dan keyakinan, LGBT, dan lain lain.
Hingga kini, masih ada lebih dari 300 kebijakan diskriminatif. Di Lampung, beberapa kebijakan diskriminatif di antaranya Perda Bandar Lampung Nomor 15 Tahun 2002 tentang Larangan Perbuatan Prostitusi dan Tunasusila; Perda Tanggamus 8/2006 tentang Ketertiban Umum dan Ketenteraman Masyarakat; Perda Tulangbawang Barat Nomor 11 Tahun 2012 tentang Larangan Perbuatan Asusila, Prostitusi, dan Tunasusila; Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Utara Nomor 7 Tahun 2006 tentang Larangan Pelacuran. Berikutnya, Surat Edaran Bupati Pesisir Barat Nomor 180/3284/02/2018 tentang Larangan Praktik Gay, Biseksual dan Transgender; serta Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 4 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Pembangunan Ketahanan Keluarga.
“Perda dan peraturan kepala daerah itu kewenangan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Karena faktor politik dan lain-lain, Kemendagri terkadang tak berani mengambil langkah cepat. Apalagi, isu LGBT,” kata Imam.(*)
Laporan Derri Nugraha