Lewat karya-karyanya, Intan, Melati, dan Laksmi berhasil menembus batas-batas geografis, sosial, dan kultural. Mereka terlibat dalam percakapan global yang makin kosmopolitan. Pencapaian ketiganya menyiratkan kerja keras yang panjang.
Riwanto Tirtosudarmo | Bekerja di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sejak 1980-2017 | Kini Peneliti Independen
Saya sempat berjumpa dengan Intan Paramaditha saat makan siang di sela-sela konferensi Association for Asian Studies (AAS) di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Juli lalu. Setelah tahu itu Intan Paramadhita, saya bilang, saya suka novelnya Gentayangan: Pilih Sendiri Petualangan Sepatu Merahmu (Gramedia Pustaka Utama, 2017). Novelnya diterjemahkan oleh Stephen J. Epstein ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Wandering (Harvill Secker/Penguin Random House UK, 2020).
Intan mengatakan ada novelnya yang baru, tapi saya bilang belum membacanya. Saya memang bukan pembaca novel yang baik. Hanya beberapa novel yang secara insidental saya baca. Salah satunya kebetulan novel Intan Paramadhita.
Belum lama ini, sahabat saya Halim HD, seorang networker kebudayaan yang tinggal di Solo, mem-posting di sebuah WAG pernyataan Intan Paramadhita yang bernada protes terhadap panitia Jakarta International Literary Festival, yang telah mengundangnya sebagai pembicara. Intan memprotes karena baru belakangan tahu bahwa panitia itu didukung oleh sebuah lembaga di Jerman yang memihak Israel.
Intan menyatakan, tindakan Israel adalah genosida terhadap warga Palestina di Gaza. Ia dengan tegas menunjukkan sikapnya menentang genosida di Gaza dan kolonialisme Israel di Palestina. Membaca pernyataan itu membuat saya tertarik untuk mengetahui lebih jauh Intan Paramadhita dan kiprahnya di dunia internasional.
Saat ini, Intan menjadi dosen kajian Media dan Film di Macquarie University, Sydney, Australia. Ia memperoleh gelar doktor dari New York University (2014). Dari website-nya, kita bisa membaca tulisan-tulisannya, baik berupa karya akademiknya, esai-esai dan kolom-kolomnya maupun karya-karya fiksinya. Dari blognya kita juga bisa mengikuti berbagai kegiatannya sebagai aktivis-feminis, baik di kancah internasional maupun dalam kolaborasinya dalam berbagai proyek-proyeknya di Indonesia.
Saya lebih dahulu mengenal ayahnya, Suprapto Suryodarmo, sebelum mengenal Melati Suryodarmo. Saya belajar meditasi gerak dari Suprapto. Melati yang saya kenal kemudian adalah anak pertama Suprapto, seorang koreografer, pendiri Studio Plesungan di Mojosongo, di pinggiran Kota Surakarta.
Seperti Intan, kemudian saya tahu kiprahnya sebagai koreografer sekaligus pemain dari karya koreografinya sendiri, sehingga bisa disebut sebagai “performing artist”. Karyanya telah dipentaskan di banyak kota, di berbagai negara di dunia. Dalam beberapa kunjungan ke Studio Plesungan untuk ngobrol dengan Halim HD, Melati selalu sedang di luar negeri, melakukan pementasan, seingat saya di Inggris, Hongkong atau di Singapura. Karya-karya Melati sebagian dapat kita nikmati setiap saat melalui kanal YouTube.
Melati Suryodarmo meskipun pernah lama tinggal di Jerman tampaknya kemudian memilih untuk menetap di Plesungan, dan mendirikan studio tempatnya berkreasi dan membangun komunitas keseniannya. Di studionya, selain “murid-muridnya” sering ada seniman mancanegara yang melakukan residensi. Studio Plesungan juga secara rutin menyelenggarakan seni pertunjukan (performing arts) dengan tajuk Undisclosed Territory. Pada 11-15 Desember 2024, akan diselenggarakan Undisclosed Territory ke14 (The Evolution of Rasa) dengan mengambil tempat antara lain di sekitar Sangiran, di mana masih berserakan fosil-fosil dari proses panjang evolusi binatang dan manusia.
Selama beberapa tahun Melati ditunjuk oleh Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan era pemerintahan Jokowi, untuk mengkurasi program Indonesia Bertutur – kegiatan yang mendorong pertumbuhan komunitas-komunitas kebudayaan yang banyak tersebar di berbagai tempat di Indonesia.
Saya hanya mengenalnya melalui dua novelnya: Amba dan Kekasih Musim Gugur yang berlatar belakang Peristiwa Tragis 1965. Seperti halnya dengan Intan Paramaditha, saya kemudian lebih mengetahui Laksmi Pamuncak, penulis dua novel yang telah saya baca itu, dari home-page-nya.
Saya menyadari bahwa sebuah home-page atau blog adalah sebuah kumpulan informasi tentang seseorang yang ditampilkan setelah dirancang dan dipertimbangkan bagaimana dampaknya bagi pembaca. Bisa dikatakan semacam ruang pamer atau iklan, bagian dari strategi marketing seseorang. Informasi di sebuah blog pastilah sudah dikemas untuk bisa tampil menarik dan telah diseleksi bagian mana yang bisa ditampilkan dan bagian mana yang harus disembunyikan. Tapi, saya melihat itu sebagai hal yang wajar, bahkan menjadi sebuah keharusan dalam dunia yang semakin didominasi oleh teknologi informasi dan sosial media.
Dari blog Laksmi, bagian yang menarik perhatian saya, seperti juga ketika saya melihat Intan Paramadhita dan Melati Suryodarmo, adalah betapa telah jauhnya mereka berkiprah di dunia internasional. Salah satu yang buat saya mengagumkan dari Laksmi Pamuncak, disamping buku-bukunya, seperti juga Intan, yang telah diterbitkan dalam bahasa asing, adalah kolom-kolomnya di koran Inggris, The Guardian. Sepengetahuan saya, The Guardian merupakan salah satu koran yang terkemuka karena masih dikenal progresif ditengah media barat yang umumnya menjadi semakin konservatif.
Intan Paramadhita, Melati Suryodarmo, dan Laksmi Pamuncak adalah tiga orang Indonesia yang telah berhasil melewati batas. Batas yang saya maksud adalah rintangan yang dibuat oleh manusia untuk membedakan manusia yang satu dengan yang lain, komunitas yang satu dengan yang lain. Batas (boundary) bisa kasat mata, tetapi juga bisa tak terlihat karena tertanam dalam benak kita, disadari atau tidak disadari. Intan, Melati, dan Laksmi adalah orang-orang yang berhasil melintasi batas dan menjadi warga negara dunia. Kiprah mereka di dunia internasional menunjukkan kemampuan mereka melampaui batas-batas negara.
Oleh karena itu, dalam konteks pembicaraan ini, batas yang paling kasat mata adalah paspor. Kita dibatasi oleh paspor, sebuah dokumen imigrasi, yang menyatakan kita warga negara mana. Paspor menjadi batas yang kasat mata karena membedakan identitas kewarganegaraan seseorang dengan yang lain. Tanpa paspor kita tidak bisa melakukan perjalanan melewati batas imigrasi sebuah negara. Selain paspor, kita juga harus memiliki visa yang dikeluarkan oleh negara yang akan kita datangi. Kita harus memohon untuk mendapatkan visa, dan tidak selalu kita mendapatkan visa. Negara lain berhak menolak permohonan visa tanpa harus menjelaskan alasannya.
Batas kedua yang menjadi rintangan dan membedakan satu orang dengan orang lain, satu komunitas dengan komunitas lain, adalah bahasa (language). Bahasa adalah alat untuk berkomunikasi. Bahasa bisa bersifat verbal dan nonverbal. Bahasa semacam kode yang harus disepakati bersama maknanya untuk bisa melakukan komunikasi satu dengan lainnya, kita dengan mereka (the others).
Intan, Melati, dan Laksmi hampir pasti bahasa yang dikuasainya adalah bahasa ibu mereka. Sebab, itulah mungkin yang pertama dan yang pasti yang kemudian paling dikuasai dan paling sering digunakannya dalam percakapan sehari-hari dengan orang dekatnya. Bisa saja, Intan yang tinggal di Sydney atau Melati dan Laksmi yang lama tinggal di Jerman, menggunakan bahasa Inggris atau Jerman dalam keseharian mereka. Tapi tetap, semoga dugaan saya tidak keliru, mereka berpikir atau menuliskan karya-karya fiksinya dalam bahasa Indonesia.
Penerjemahan kemudian menjadi masalah yang harus diatasi. Ketika novel Gentayangan dari Intan atau novel Amba dari Laksmi mau dikomunikasikan dengan mereka (the others), penerjemahan menjadi sebuah keharusan. Jika Intan dan Laksmi berkomunikasi melalui bahasa verbal berupa teks, Melati berkomunikasi melalui bahasa nonverbal, terutama bahasa tubuh.
Karya-karya Melati, sejauh yang saya ketahui, minim sekali menggunakan bahasa verbal, baik lisan maupun tulisan (teks). Melati mengomunikasikan gagasannya melalui gerak tubuh dan ekspresi wajah, tanpa kata-kata. Saya kira, di sinilah kesenian (arts) merupakan sebuah kreasi manusia yang mampu mengekspresikan kemanusiaan (humanity) melampaui bahasa verbal maupun nonverbal yang sesungguhnya tidak mungkin diterjemahkan melalui sekadar kata-kata.
Tentu Melati telah membagikan teks tentang karya dan mungkin pesan yang disampaikan, tapi itu sekadar petunjuk bagi penontonnya. Sehingga, mereka memiliki informasi sekadarnya sebelum masuk ke dalam komunikasi yang sesungguhnya dalam panggung atau pentas, di mana Melati mengekspresikan karyanya. Proses translasi tidak melulu bahasa teks, namun yang lain. Misal, pada karyanya yang berjudul I am a ghost in my own house. Apa yang sesungguhnya ingin disampaikan Melati kepada penontonnya, kepada publiknya melalui adegan menggerus arang selama berjam-jam tanpa henti itu? Di sinilah penulis kritik seni menjadi penting sebagai interlokutor antara seniman dan publiknya. Melalui lensa kritikus seni, publik diberi informasi tentang tafsirnya terhadap sebuah karya seni. Namun, penasiran terhadap sebuah karya seni akan selalu terbatas dan makna sebuah karya seni juga akan lepas dari apa pun yang diniatkan oleh seniman yang telah menciptakannya. Karya itu tak lagi bisa dibatasi dalam ruang maupun waktu.
Apakah ada perbedaan dalam seni tradisi dan seni kontemporer, jika Intan, Melati dan Laksmi; kita sebut sebagai seni kontemporer? Menurut saya, tidak ada bedanya seni tradisi dan seni kontemporer. Keduanya mengekspresikan gagasan kreatornya. Keduanya merupakan hasil kontemplasi, bisa dalam atau dangkal, hasil imajinasi kreatif sang senimannya.
Ketika seni menjadi bagian dari globalisasi, lalu lintas manusia, barang dan jasa, yang bersifat lintas batas negara, tak terhindarkan kelindannya dengan politik dan ekonomi. Untuk mencapai posisi yang dimiliki Intan, Melati, dan Laksmi, jelas telah dan harus melalui kerja keras yang panjang. Tentu bakat penting, namun yang tak terhindarkan adalah keharusannya menjadi bagian dari jaringan agensi yang menyediakan jasa pemasaran karya seni.
Agensi atau broker memiliki jaringan global menjadi sebuah sistem ekonomi, juga politik, di mana karya seni dalam kacamata mereka adalah sebuah komoditas. Dalam jaringan global dunia seni ini, peran agensi, penerbit buku, penerjemah bahasa, pameran, festival, galeri, museum, perpustakaan dan para kurator, peneliti seni dan para akademisi menjadi jaringan yang saling terhubung satu sama lain.
Ketika dunia dihentakkan oleh pembunuhan ribuan orang Palestina di Gaza, intelektual publik dan akademik ditantang kemana mau diarahkan kompas moralnya. Genosida di Gaza menjadi pertaruhan para akademisi di negara-negara yang telah memiliki tradisi intelektual lama. Para intelektual dan akademisi selalu ditantang untuk menyuarakan keprihatinannya ketika peristiwa penindasan dari yang kuat terhadap yang lemah terjadi.
Tampaknya, genosida di Gaza memiliki dimensi tersendiri yang lebih kompleks dibandingkan apa yang terjadi sekitar Perang Dingin. Misalnya, kasus Perang Vietnam, atau dalam War on Terror, yang membawa penyerbuan tentara Amerika dan sekutunya menumbangkan Sadam Hussein dalam Perang Irak. Lobi Israel yang kuat di Amerika Serikat atau rasa bersalah di Jerman dengan sejarah pembantaian orang Yahudi oleh Hitler; membuat pemerintah di Amerika dan Jerman memilih menekan para akademisi dan intelektual yang antirezim Netanyahu.
Insiden penyensoran karya instalasi dari Komunitas Seni Taring Padi di Kassel, Jerman, yang dianggap anti-Semitism, adalah contoh yang dialami oleh seniman Indonesia di panggung internasional. Belum lama ini, saya mendengarkan keynote address dari Sidney Jones (New York University) dan John Sidel (London School of Economics), dua akademisi Amerika Serikat yang banyak menulis tentang Indonesia, di konferensi Southeast Asia Research Group (SEAREG) di Universitas Boston. Keduanya menyoroti bagaimana ilmu sosial, khususnya ilmu politik, dewasa ini seperti kehilangan critical thinking dan compassionate-nya terhadap problem-problem kemanusiaan yang akut.
Ilmu sosial menjadi profesi yang hanya berbicara untuk kalangannya sendiri melalui peer review journal yang ketat. Ia kehilangan kemampuannya untuk berkomunikasi dengan publik yang lebih luas. Sementara, kita tahu di Indonesia para akademisi dipaksa untuk menerbitkan tulisannya di jurnal-jurnal internasional, dan sebuah survei menunjukkan delapan dari sepuluh profesor Indonesia menerbitkan tulisannya di jurnal abal-abal (predatory journals).
Intan, Melati, dan Laksmi adalah orang-orang Indonesia yang melalui karya-karyanya telah berhasil melewati batas-batas geografis, sosial, dan kultural; terlibat dalam percakapan di dunia yang semakin kosmopolitan dengan risiko-risikonya tersendiri yang bersifat ekonomis maupun politis. Percakapan mengandaikan adanya keterbukaan untuk saling berbagi pengetahuan dan pengalaman yang bisa berbeda, namun bertemu dalam kepedulian bersama untuk membuat dunia yang lebih baik, lebih adil. Tak hanya manusia, tapi seisi planet ini.
Mereka bertiga, disamping masih banyak orang Indonesia yang lain, boleh dikatakan merupakan wakil suara dari Dunia Selatan, atau yang dahulu disebut Dunia Ketiga – yang saya kira perlu didengarkan karena ketimpangan masih menganga antara Dunia Utara dan Dunia Selatan.(*)