Kritik bahwa aksi “Peringatan Darurat” hanya menguntungkan faksi-faksi oligarki mungkin saja benar. Namun, pandangan ini meremehkan peran aktivisme massa dalam menantang struktur kekuasaan. Lebih dari sekadar tanda aktivisme borjuis, partisipasi anak-anak muda dalam aksi itu merefleksikan perlawanan yang lebih luas terhadap ketidakadilan.
Dodi Faedlulloh | Dosen Jurusan Administrasi Negara Unila | Koordinator KIKA Lampung
Tulisan Mughis dan Rafiqa di Project Multatuli perlu mendapatkan tanggapan kritis. Mereka mengkritik gerakan Peringatan Darurat beberapa hari lalu sebagai bentuk “Aktivisme Borjuis” yang dianggap reaktif dan moralis.
Saya ingin langsung menanggapi bahwa esai tersebut justru mencerminkan bentuk kenaifan yang kerap menjangkiti para akademisi cum intelektual kiri. Dengan nada superioritas yang khas abang-abangan kiri, penggunaan diksi seperti “merengek”, “naif”, “menyedihkan”, dan “tidak berguna” justru meremehkan kemarahan dan gerakat rakyat. Kenaifan ini berakar pada idealisme tentang bagaimana kehidupan politik dan gerakan sosial seharusnya dipraktikkan, namun mengabaikan kondisi material dan “suasana kebatinan” rakyat.
Satu hal yang belum dibahas oleh kedua penulis, tetapi patut diketengahkan dalam diskusi, adalah peran Partai Buruh yang menggugat ambang batas Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK) dalam munculnya gerakan Indonesia Darurat. Hingga saat ini, Partai Buruh merupakan organisasi politik formal yang telah cukup terorganisir (ketimbang jejaring intelektual yang kerap cair). Proses gugatan tersebut merupakan bagian dari upaya mengintervensi negara. Dengan kata lain, gerakan Peringatan Darurat tidak bisa dilihat secara hitam-putih atau disimplifikasi sebagai sekadar akan menguntungkan elite tertentu. Justru, gerakan ini menunjukkan kompleksitas relasi antara gerakan politik formal yang terorganisasi dengan benih kesadaran politik rakyat dan kelas menengah yang penting untuk diperluas.
Kemarahan dan respons reaktif adalah bagian integral dari keterlibatan demokratis. Emosi tersebut berfungsi sebagai mekanisme untuk mengekspresikan ketidakpuasan dan meminta pertanggungjawaban otoritas. Kehadiran public figure seperti Reza Rahadian dalam demonstrasi, bahkan berorasi, adalah bentuk ekspresi politik tersebut.
Esai Mughis dan Rafiqa seperti ingin menyatakan bahwa kehadiran Reza adalah suara yang merengek karena bukan hasil dari pengorganisiran kekuatan politik alternatif. Memang benar, karena ia bukan bagian dari organisasi politik yang terorganisasi. Namun, orang-orang seperti Reza saat ini mungkin jumlahnya jauh lebih banyak dibanding orang-orang yang memiliki pemahaman paripurna tentang gerakan sosial, seperti yang diandaikan oleh Mughis dan Rafiqa.
Perlu diingat, kemarahan sering kali muncul dari keluhan orang-orang yang merasa terpinggirkan atau sering dieksploitasi dalam sistem kapitalisme. Respons reaktif, termasuk demonstrasi, memperlihatkan kontradiksi antara kepentingan kelas penguasa dan kepentingan kelas pekerja atau kelompok terpinggirkan lainnya. Reaksi ini penting dalam mengungkap ketidaksetaraan dan ketidakadilan sistemik.
Keterlibatan demokratis bukan hanya tentang proses kelembagaan, tetapi juga tentang bagaimana rakyat menantang dan mengkritik sistem yang ada melalui aneka cara. Kehadiran warga negara sebagai subjek yang berpartisipasi dalam demonstrasi dapat dilihat sebagai bagian dari perjuangan yang lebih luas. Meskipun bukan bagian dari kelompok atau organisasi politik yang terorganisasi, partisipasi rakyat menandakan suatu bentuk opini publik yang berbeda dan melawan elite, yang dapat membantu memobilisasi orang lebih banyak. Kehadiran warga juga merefleksikan gagasan bahwa aksi politik dan kemarahan tidak terbatas pada mereka yang memiliki pemahaman teoretis mendalam tentang gerakan sosial.
Ada mahasiswa baru terlibat aksi Peringatan Darurat di beberapa daerah. Bisa jadi demontrasi tersebut adalah pengalaman pertama mereka. Tapi, kemarahan dan kemuakannya barangkali otentik. Ada risiko yang mungkin didapat dari aksi demontrasi, tapi dengan kesadaran penuh mereka tetap berbondong-bondong turun ke jalan. Mahasiswa baru ini tidak terafiliasi dengan Non-Government Organization (NGO) yang disebut Mughis (2021) sebagai bentuk aktivisme borjuis. Jadi, apakah berdasarkan tulisan Mughis dan Rafiqa, mereka adalah aktivis borjuis juga?
Jika mempertimbangkan konteks yang lebih luas, menjadi jelas bahwa aksi massa saat ini merupakan bagian dari sebuah kontinum. Demonstrasi Peringatan Darurat 2024 merupakan serangkaian aksi massa, menyusul gelombang protes pada tahun 2019 dan 2020. Meskipun individu yang terlibat saat ini bisa saja berbeda dari mereka yang turun ke jalan tiga tahun lalu, dinamika fundamentalnya tetap tidak berubah. Perilaku elite yang sewenang-wenang terus memicu kemarahan yang meluas dan memicu radikalisasi warga negara. Keterlibatan mahasiswa baru dalam aksi ini, bahkan dengan pengetahuan tentang risiko yang dihadapi, merefleksikan inti dan karakter dari perjuangan ini yang “abadi”. Ada dan berlipat ganda. Jauh dari sekadar tanda aktivisme borjuis, partisipasi anak-anak muda ini mencerminkan perlawanan yang lebih luas dan berkelanjutan terhadap ketidakadilan.
Menyoal Aktivisme Reaktif
Meskipun aktivisme reaktif mungkin tidak selalu mengarah pada perubahan kebijakan langsung, aktivisme tersebut dapat menumbuhkan kesadaran akan pentingnya kontrol terhadap otoritas. Hingga 25 Agustus 2024, DPR, Pemerintah, KPU, dan Bawaslu telah menyetujui putusan MK, yang pada akhirnya mencegah terjadinya politik dinasti. Hal ini menunjukkan adanya kemenangan kecil dari gerakan rakyat. Dengan demikian, gerakan Peringatan Darurat tidaklah sia-sia. Apakah hasil ini akan menguntungkan elite tertentu? Bisa jadi. Namun, persoalannya tidak sesederhana itu.
Kritik kedua penulis bahwa penerima manfaat dari putusan MK adalah berbagai faksi oligarki, bukan gerakan prodemokrasi. Meskipun benar bahwa manuver politik seringkali melibatkan dinamika kekuasaan yang kompleks, perspektif ini meremehkan peran aktivisme massa dalam menantang struktur kekuasaan.
Fakta bahwa berbagai faksi mungkin berusaha mengeksploitasi situasi ini tidak menihilkan nilai gerakan akar rumput dalam mendorong demokrasi. Kehadiran berbagai suara dalam ruang politik menegaskan bahwa kekuasaan politik tidak bersifat monolitik dan terbuka untuk diperebutkan, yang pada gilirannya memperkuat demokrasi.
Protes rakyat, meskipun bisa saja dikooptasi oleh faksi politik tertentu, tetap berkontribusi pada diskursus yang lebih luas tentang demokrasi dan pada akhirnya dapat mengarah pada perubahan yang bermakna jika dikombinasikan dengan organisasi dan advokasi politik yang strategis. Mengikuti cara pandang kedua penulis, akan sangat mudah menilai hasil kawal putusan MK adalah akrobat dari faksi-elite yang lain. Namun, pandangan tersebut tidak akan berkontribusi apa-apa pada gerakan, selain tuduhan apapun hasilnya, elite pemenangnya. Seperti yang diingatkan oleh unggahan feed populer @kenapaharuspeduli, penting bagi rakyat untuk mengklaim penuh keberhasilan dalam mengawal putusan MK dan tidak membiarkan aktor elite politik mengubah narasi serta mengklaim kredit untuk keberhasilan tersebut.
Rakyatlah yang harus mengklaim bahwa keberhasilan mengawal putusan MK sejauh ini murni karena gerakan rakyat. Dengan mengklaim keberhasilan ini sebagai hasil dari gerakan rakyat, kita memperkuat pesan bahwa perubahan yang terjadi adalah karena tekanan publik, bukan karena manuver politik elite.
Protes justru dapat berfungsi sebagai katalisator untuk peningkatan kesadaran dan mobilisasi politik. Selain itu, protes juga dapat meletakkan dasar bagi tindakan politik dan pengembangan organisasi di masa mendatang. Protes dan kemarahan bisa berkembang menjadi gerakan yang lebih terstruktur dan strategis seiring waktu. Tantangannya terletak pada membangun momentum dan mengarahkannya ke tujuan jangka panjang, yang membutuhkan perencanaan strategis yang matang. Konteks Peringatan Darurat, momentum belum terbangun rapi, tapi sudah mendapat kritik sebagai hal yang tidak ideal dan kurang berguna, hal ini jelas malah bersifat kontraproduktif bagi gerakan.
Asumsi bahwa aktivisme reaktif tidak memadai dan gagal mengatasi masalah struktural kerap mengabaikan perlunya pendekatan multiaspek terhadap aktivisme. Baik strategi reaktif maupun proaktif sama-sama penting; keduanya menekankan peran agensi sekaligus berfokus pada upaya mengubah sistem guna menghadapi tantangan politik yang kompleks. Respons reaktif dapat mengatasi masalah langsung dan memobilisasi sentimen publik, sementara perencanaan dan pengorganisasian strategis dapat mengatasi masalah sistemik serta berupaya mencapai solusi jangka panjang.
Meskipun upaya pengorganisasian memang telah dilakukan, sering kali hal itu terjadi dalam kerangka kerja NGO yang terfragmentasi, tanpa arahan terpadu dan jangkauan yang lebih luas. Meskipun terfragmentasi, jaringan aktivis dan organisasi memang sudah ada, tetapi belum sepenuhnya mampu mengintegrasikan berbagai kelompok sosial ‘potensial’ menjadi kekuatan yang signifikan. Oleh karena itu, tantangan utama terletak pada membangun gerakan massa yang antielitis dan antioligarki. Hal ini tidak hanya memerlukan jaringan, tetapi juga penciptaan platform pemersatu yang dapat menyatukan berbagai kelompok di bawah visi bersama.
Selanjutnya, terkait dengan perencanaan strategis, pertanyaan yang masih samar perlu dieksplisitkan: Siapa yang bertanggung jawab untuk mengorganisasi? Siapa yang melakukan perencanaan jangka panjang? Apakah model partai pelopor, yang menyiratkan pendekatan yang lebih tersentralisasi dan terstruktur dalam mengorganisasi dan merencanakan? Dalam kondisi material Indonesia saat ini, model atau bentuk organisasi apa yang paling mampu mencapai keberhasilan jangka panjang?
Kita perlu mengeksplorasi cara untuk beralih dari aktivisme yang terfragmentasi ke gerakan yang lebih terkoordinasi namun tetap inklusif, yang mampu menantang struktur kekuasaan yang ada. Ini bisa melibatkan pengembangan model baru yang menggabungkan “fleksibilitas” aktivisme berbasis jaringan dengan kapasitas strategis dari struktur politik tradisional, seperti partai. Dengan cara ini, kita dapat menciptakan gerakan yang tidak hanya merespons isu-isu langsung, tetapi juga bekerja secara strategis untuk membongkar sistem oligarki yang melanggengkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan.
Negara sebagai Lokus Pertempuran
Menurut Mughis dan Rafiqa, mengandalkan lembaga hukum di Indonesia adalah sia-sia. Sebab, lembaga-lembaga ini sangat terkait erat dengan kepentingan kapitalis dan oligarki. Namun, meskipun berada dalam sistem yang cacat pun, lembaga hukum masih dapat berfungsi sebagai medan pertempuran bagi kekuatan progresif, seperti yang ditunjukkan oleh upaya gugatan Partai Buruh ke MK. Meskipun benar bahwa hukum acap melayani kepentingan kapital dan kelas penguasa, hukum juga dapat dimanfaatkan oleh gerakan masyarakat sipil untuk menantang kekuasaan dan melindungi serta memperluas hak-hak masyarakat.
Kemenangan melalui mekanisme hukum, meskipun terkadang kecil atau sementara, dapat menciptakan preseden, meningkatkan kesadaran publik, dan menggerakkan gerakan yang lebih luas. Keputusan progresif oleh MK, misalnya, mungkin menurut analisis Mughis dan Rafiqa merupakan produk dari konflik intraelite, tetapi keputusan tersebut juga membuka peluang baru bagi keterlibatan demokratis yang dapat dimanfaatkan oleh gerakan-gerakan prodemokrasi.
Terlibat dengan lembaga hukum dan negara tidak berarti secara naif memercayai bahwa mereka adalah lembaga yang otonom. Sebaliknya, hal ini berkaitan dengan menggunakan setiap alat yang tersedia untuk mengubah keseimbangan kekuasaan. Meskipun membangun basis politik yang solid sangat penting, keterlibatan dengan lembaga hukum menyediakan platform untuk mendorong perubahan bertahap. Pertarungan hukum dapat menjadi titik fokus untuk mobilisasi politik yang lebih luas dan dapat membantu membangun kekuatan akar rumput yang terorganisasi, yang diperlukan untuk perubahan lebih substansial.
Teruslah Protes!
Tindakan protes, walaupun tanpa adanya hasil langsung dan berdampak secara struktural, berfungsi untuk meningkatkan kesadaran, menjaga isu dalam diskursus publik, dan memberikan tekanan pada penguasa. Protes bukan sekadar tindakan “mengeluh”, tetapi merupakan alat penting untuk menantang kebijakan yang tidak adil dan mendorong perubahan. Melalui kehadiran banyak orang dalam demonstrasi, protes menandakan ketidakpuasan dan kemarahan yang meluas, sehingga secara politis bisa merugikan kalkulasi para elite poltik untuk mengabaikan isu yang sedang dihadapi.
Dalam agenda transformasi sosial perlu adanya artikulasi politik yang jernih dan tidak berjarak dengan massa. Oleh karenanya, klaim moral adalah manifestasi artikulasi politik tertentu yang bisa digunakan. Dengan membingkai isu-isu dalam konteks keadilan dan hak, kita dapat menarik nilai-nilai masyarakat yang lebih luas, menggalang dukungan, dan menciptakan narasi pemersatu.
Klaim moral bukan sekadar harapan agar hati nurani para penguasa tersentuh; klaim moral bertujuan untuk memobilisasi sentimen publik dan menciptakan gelombang dukungan yang dapat mengarah pada perubahan politik yang nyata. Bahkan, dalam konteks generasi anak muda sekarang, mereka lebih “masuk” dengan ledekan dan satir sebagai artikulasi politik untuk membangun solidaritas antara sesama.
Saya sepakat bahwa membangun kepemimpinan, pengorganisasian berbasis kelas, menetapkan tujuan yang jelas, dan menciptakan strategi, sangat penting untuk mengubah protes spontan menjadi gerakan perubahan yang berkelanjutan. Namun, bukan berarti upaya tersebut saat ini tidak ada sama sekali. Saya sangat yakin, bahkan kalau misalnya kedua penulis sempat berkonsolidasi bersama massa, bisa belajar dari orang-orang dan lintas organisasi yang hadir dalam demonstrasi beberapa hari lalu, ada pihak yang bersetia pada tujuan untuk membangun kepemimpinan dan penciptaan strategi jangka Panjang, seperti yang diharapkan kedua penulis. Walaupun sifatnya masih potensial, tapi menjadi modal penting agar menjadi aktual untuk perubahan dan gerakan rakyat di masa depan.
Daripada mengerdilkan upaya yang pernah ada, seperti protes tahun 2019, 2020, dan 2024 kita bisa lebih fokus pada pembelajaran dari pengalaman masa lalu, meningkatkan strategi, dan membangun koalisi yang lebih kuat. Gerakan Peringatan Darurat tentunya memiliki keterbatasan, tapi tidak bisa menihilkan pelbagai perjuangan yang sudah dilakukan oleh rakyat.
Terakhir, hal yang perlu kita insyafi bahwa perubahan sosial dan politik seringkali membutuhkan upaya yang terus-menerus dalam jangka waktu yang lama. Mustahil suatu gerakan mencapai tujuannya dalam semalam; sebaliknya, gerakan dalam riil politik perlu membangun momentum secara bertahap melalui kombinasi tekanan rakyat yang terus-menerus, protes, negosiasi politik, sampai rencana strategis yang tentunya sangat melelahkan. Oleh karena itu, tidak perlu takut dengan label “aktivis borjuis” atau “aktivis liberal”, teruslah protes!