Amuk massa di Lampung Tengah mempertanyakan batas antara protes atas ketidakadilan dan kriminalisasi. Dalam konteks ini, protes terhadap ketidakadilan tidak lagi dilihat sebagai ekspresi demokratis, melainkan ancaman bagi ketertiban umum. Penegakan hukum minus rasa keadilan.
Pagi itu, Sundari berangkat berbelanja dengan suaminya, Surya. Mereka menuju Pasar Bandaragung di Terusan Nunyai, Kabupaten Lampung Tengah. Surya mengendarai sepeda motor, sementara Sundari duduk di belakangnya.
Di pasar, Sundari berkeliling mencari sayuran, beras, dan bahan pokok lainnya. Surya duduk santai di depan sebuah lapak penjual tahu, mengenakan celana dan kaus pendek.
Tak lama, Sundari mendengar keributan di dekat lokasi Surya. Ia menangkap suara-suara keras dan perdebatan. Seseorang yang mengenalinya berkata, “Itu, abang Surya ribut dengan orang.”
Sundari bergegas. Dari jarak sepuluh meter, ia melihat Surya tersungkur. Sundari berlari merangkul suaminya. Di pangkuan sang istri, wajah Surya terlihat pucat dengan bibir membiru. Darah mengalir dari leher dan dada sebelah kiri.
Sundari berteriak minta tolong. Ia menangis. Warga setempat segera membawa Surya ke rumah sakit terdekat. Namun, lelaki berkulit sawo matang itu meninggal dalam perjalanan.
Surya tewas setelah ditikam Agus Sadewo, warga Gunung Batin Ilir, Lampung Tengah. Agus adalah sepupu Sukardi, Kepala Kampung Gunung Agung. Warga mencurigai Sukardi terlibat dalam penyelewengan bantuan pangan berupa beras untuk rakyat miskin.
Adapun Surya merupakan sekuriti perusahaan pengolahan nanas. Ia sering menyuarakan keresahan masyarakat tentang bansos. Lima bulan lalu, beredar video yang menunjukkan penjualan beras bertuliskan Bantuan Pangan dari Bulog di sebuah pesantren di Tulangbawang Barat.
Pesantren itu membeli beras dari Sukardi. Jumlah beras yang dijual sekitar empat ton dengan harga Rp9.000 per kg. Totalnya, sekitar Rp36 juta.
Masyarakat kemudian melapor ke polisi, kejaksaan negeri, DPRD, dan pemerintah setempat. Mereka mendesak pemerintah dan penegak hukum segera mengusut penyalahgunaan bantuan pangan.
Surya kerap membuat konten di media sosial terkait persoalan bansos. Dalam beberapa videonya, ia mengkritik dan meminta presiden menyelesaikan kasus penyalahgunaan bansos. Konten-konten Surya ini rupanya memicu kemarahan Agus yang berujung pembunuhan.
Sundari bilang, satu minggu sebelum pembunuhan, seseorang yang mengaku utusan kepala kampung menelepon adik ipar Surya. Orang itu memperingatkan agar Surya berhenti membuat konten soal penyimpangan bansos.
“Kalau enggak berhenti, nanti terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,” kata Sundari menirukan pesan tersebut.
Mendengar ancaman itu, Surya tidak gentar. Ia tetap memproduksi konten kritik soal bansos, beberapa hari setelahnya. Dalam video terakhir, Surya protes karena tanda tangannya dipalsukan untuk penerimaan bansos, padahal ia belum pernah mendapat bantuan beras.
Sebaliknya, Sundari sangat khawatir. Ia takut terjadi hal buruk. Sundari sempat meminta Surya berhenti membuat konten TikTok, tetapi suaminya tetap teguh membela kebenaran dan memperjuangkan hak masyarakat miskin.
Ketakutan Sundari pun menjadi kenyataan. Suaminya kehilangan nyawa, meninggalkan istri dan kedua anaknya.
Dalam sejumlah pemberitaan media, Surya disebut berjanji bertemu Agus di pasar. Mereka kemudian bertengkar, lalu adu tinju.
Sundari membantah. Menurutnya, sang suami tidak membawa ponsel dan pagi itu memang hanya berniat mengantarnya ke pasar
Di lokasi kejadian pun tak ditemukan senjata. Sundari menduga Agus terlebih dahulu menikam Surya ketika duduk. Setelah itu, barulah tubuh Surya bereaksi, yang akhirnya menyebabkan tusukan kedua di bagian dada.
“Jadi, yang dianggap orang cekcok itu mungkin reaksi tubuhnya usai ditikam,” ujar Sundari.
Kabar kematian Surya menyebar cepat ke seluruh kampung. Selang beberapa jam, puluhan warga mendatangi rumah orang tua Agus dan Sukardi. Mereka melampiaskan kemarahan dengan merusak rumah orang tua Agus dan membakar kediaman Sukardi. Saat itu, Sukardi dan keluarganya tidak ada di tempat.
Rumah Sukardi yang luasnya hampir setengah hektare menjadi sasaran amuk massa. Tiga bangunan dan 15 kendaraan rusak parah. Data Polres Lampung Tengah, api melalap dua rumah, sebuah ruko, dan empat sepeda motor. Tiga mobil pun ikut terbakar. Selain itu, lima mobil dirusak dan dua mobil dimasukkan ke kolam.
Polisi juga menemukan dua lokasi penimbunan BBM bersubsidi dan menyita barang bukti, termasuk 11 tandon kosong, 44 jeriken, dan drum modifikasi. Ditemukan pula ember, corong, sekop, alat ukur BBM, dan mesin sedot dengan selang.
Selain itu, polisi menyita sisa rangka empat sepeda motor yang terbakar, dua truk, tiga mobil pikap, dan sebuah Isuzu Panther dengan tangki modifikasi untuk menampung BBM. Di dalam mobil itu, terdapat jeriken-jeriken berisi solar.
Dari serangkaian peristiwa di Gunung Agung, empat kasus mencuat: pembunuhan Surya, pembakaran dan perusakan rumah kepala kampung, penyelewengan bansos, dan penimbunan BBM subsidi yang melibatkan Sukardi.
Kasus pembunuhan Surya ditangani Polres Lampung Tengah, sementara tiga kasus lainnya diambil alih Polda Lampung. Agus telah ditetapkan sebagai tersangka. Polisi menjerat perbuatannya dengan Pasal 351 ayat (3) juncto Pasal 338 KUHP. Ancamannya, pidana maksimal 15 tahun penjara.
Di sisi lain, Polda Lampung sudah menetapkan tiga tersangka pembakaran dan perusakan rumah serta kendaraan Sukardi. Penyidik memeriksa 24 orang sebagai saksi.
Ketiga tersangka memiliki peran berbeda, yakni sebagai provokator, pelaku perusakan kendaraan, dan pelaku pembakaran. Pihak kepolisian bilang, jumlah tersangka bakal bertambah.
“Kami mengimbau masyarakat yang terlibat untuk menyerahkan diri,” kata Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Lampung Kombes Pahala Simanjuntak, Kamis, 22 Mei 2025.
Dalam pemeriksaan, para tersangka dikenakan Pasal 170 juncto Pasal 187 KUHP tentang kejahatan yang membahayakan keamanan umum. Perbuatan mereka terancam pidana 5-12 tahun penjara.
Sementara itu, kepolisian masih menyelidiki intensif terkait dugaan korupsi bantuan pangan dan penimbunan BBM. Ratusan orang sudah diperiksa sebagai saksi.
Polisi menemukan penjualan bansos ke pesantren berlangsung 3-4 kali. Namun, Sukardi mengaku beras tersebut dicuri anaknya dan sudah ditarik kembali. Hingga kini, belum ada tersangka.
***
Penyalahgunaan Kekuasaan
Siang hari di akhir Februari lalu, suasana kantor Pemkab Lampung Tengah lebih ramai dari biasanya. Ratusan orang berteriak dan membawa poster berisi tuntutan: “Usut Penyelewengan Bansos!”
Mereka mendesak pemerintah dan penegak hukum memeriksa dugaan penyelewengan bansos oleh Kepala Kampung Gunung Agung Sukardi. Setelah melapor ke polres, kejaksaan negeri, inspektorat, dan DPRD tanpa hasil, mereka pun turun ke jalan. Di tengah kerumunan itu, ada Aini, seorang ibu rumah tangga yang menempuh jarak lebih dari 30 kilometer untuk mencari keadilan.
“Kami memperjuangkan hak, bantuan pangan untuk rakyat miskin,” kata Aini.
Tahun lalu, Badan Pangan Nasional melalui Perum Bulog telah menyalurkan sekitar 1,96 juta ton beras kepada 22 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM) di Indonesia. Masing-masing KPM menerima 10 kg beras. Bantuan itu dibagikan dalam tiga tahap selama sembilan bulan. Artinya, setiap keluarga akan menerima bantuan pangan setidaknya sembilan kali.
Selama 2024, Perum Bulog Kanwil Lampung mendistribusikan sekitar 70 ribu ton bantuan beras. Jumlah penerimanya lebih dari 800 ribu KPM di seluruh kabupaten/kota.
Kampung Gunung Agung memiliki lebih dari 1.000 keluarga penerima manfaat. Berarti sekitar 10 ton beras yang disalurkan setiap bulan. Tapi, banyak warga tidak mendapat bantuan.
Warga yang tercantum sebagai penerima, namun tidak menerima bansos di antaranya Aini dan Surya. Itulah mengapa dalam unggahan terakhirnya sebelum meninggal, Surya merasa tanda tangannya dipalsukan. Sebab, ia merasa tidak menerima bansos. Sedangkan Aini, yang semestinya menerima sembilan kali, hanya dapat jatah tiga karung beras.
“Jadi, sisanya itu kemana? Itulah yang dilaporkan masyarakat ke polisi,” ujar Aini.
Syahdan, nyaris satu bulan, laporan masyarakat seperti mandek. Mereka tidak melihat perkembangan berarti. Itu sebabnya, masyarakat menempuh jalur demokratis lain, yakni berunjuk rasa. Harapannya, kasus tersebut mendapat perhatian luas.
Wakil Bupati Lampung Tengah I Komang Koheri menyatakan, pihaknya segera mengambil langkah, sehingga bantuan pangan tepat sasaran. Kemudian, pemerintah berencana memanggil pihak-pihak terkait untuk penyelesaian masalah.
Selain pengusutan penyelewengan bansos, warga juga menuntut Sukardi dinonaktifkan dari jabatannya selama proses hukum berjalan. Namun, permintaan itu tidak terpenuhi. Warga pun semakin geram. Setelah unjuk rasa, mereka menyegel kantor desa sebagai bentuk protes karena kekuasaan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Mereka ingin distribusi bantuan pangan tepat sasaran.
Beberapa bulan kemudian, pada April 2025, sekelompok warga Gunung Agung kembali mendatangi Polres Lampung Tengah. Kebetulan, Bupati Ardito Wijaya ada di sana. Warga menanyakan kelanjutan proses hukum terkait penyelewengan bansos. Mereka merasa penanganan kasus itu terlalu lamban. Padahal, warga sudah mendukung penegakan hukum dengan menghadirkan saksi-saksi yang tidak menerima bansos meskipun namanya tercantum sebagai penerima.
Kapolres Lampung Tengah saat itu menyampaikan bahwa pengusutan terus berlanjut. Pihaknya masih menunggu laporan Inspektorat dan Badan Pemeriksa Keuangan untuk menentukan kerugian negara. Ia kembali meminta masyarakat bersabar. Sementara, Ardito mengimbau masyarakat tidak melakukan tindakan di luar proses hukum.
Mendengar penjelasan tersebut, warga menerima dan bersedia mengikuti aturan. Namun, mereka mendesak agar penegakan hukum dipercepat karena laporan sudah disampaikan sejak awal tahun.
Masyarakat di Kampung Gunung Agung merasa resah dan khawatir jika proses hukum tidak berjalan dengan baik. Mereka khawatir amarah warga akan meledak. Oleh karena itu, mereka berharap pengusutan secepat mungkin.
Penantian masyarakat untuk menuntaskan penyelewengan bansos justru berujung kematian Surya, seorang warga yang vokal. Tak ayal pembunuhan itu memantik kekecewaan warga. Amarah pun memuncak, puluhan warga sudah tidak bisa lagi menahan penderitaan. Sebagai bentuk solidaritas, mereka membakar dan menghancurkan aset kepala kampung.
Massa bergerak secara organik tanpa komando. Kini, tiga warga menjadi tersangka. Bahkan, jumlahnya akan bertambah karena polisi memeriksa 24 orang. Mereka dicurigai sebagai provokator dan pelaku pembakaran rumah Sukardi. Sejumlah warga yang dipanggil polisi merasa ketakutan.
“Mengapa selalu masyarakat yang menjadi korban?” kata seorang warga yang diperiksa di Polres Lampung Tengah.
Mereka bilang, tindakan warga merupakan akumulasi kemarahan. Sejak awal, masyarakat Gunung Agung menjadi korban penyalahgunaan kekuasaan yang berujung pada hilangnya hak atas bantuan beras keluarga miskin. Mereka juga sudah menempuh jalur-jalur secara konstitusi dan demokrasi.
Kendati belum ada titik terang, warga tetap sabar. Namun, dalam penantian akan keadilan, seorang warga justru dihabisi.
“Sekarang, kami menghadapi proses hukum. Artinya, kami kembali menjadi korban dan akan dianggap penjahat,” ujar warga lain.
Mereka sadar, tindakannya tidak benar. Namun, muncul pertanyaan, apakah seseorang yang berulangkali menjadi korban praktik lancung kekuasaan dan melakukan protes atas ketidakadilan akan dicap sebagai penjahat?
“Untuk apa ada hukum bila tidak memberikan keadilan,” ucap seorang warga di sela-sela pemeriksaan oleh polisi.
Bukan Murni Kejahatan
Kriminolog Universitas Lampung (Unila) Teuku Fahmi menilai peristiwa di Kampung Gunung Agung harus dilihat secara holisme. Aksi warga yang melakukan perusakan dan pembakaran merupakan reaksi atas pembunuhan oleh kerabat kepala kampung.
Menggunakan konsep The Criminological Victimisation Process, Teuku menyebut tindakan warga sebagai puncak dari rentetan peristiwa sebelumnya. Pemicu utamanya adalah kematian warga yang vokal mengkritisi penyelewengan bantuan beras untuk keluarga miskin.
Pada posisi ini, warga sebenarnya sudah menjalani proses viktimisasi. Mereka mengalami penderitaan yang bisa memengaruhi kesejahteraan hidup. Isu penyelewengan bansos sudah lama terdengar, namun upaya pelaporan warga tidak membuahkan hasil. Ini menjadi petunjuk awal bahwa situasi akan memburuk jika tak ditangani.
“Kronologi awal itu sudah masuk dalam lingkup predisposition of crime. Aparat seharusnya segera menangani, sehingga tidak memicu kejadian lebih besar, seperti pembunuhan,” kata Teuku.
Dalam konteks ini, polisi gagal menjalankan fungsinya mencegah moment of crime, yaitu pembunuhan warga yang kritis. Tindakan pembakaran yang terjadi kemudian merupakan akumulasi puncak kemarahan warga.
Pengabaian laporan masyarakat tentang indikasi penyimpangan oleh kepala kampung dapat dianggap sebagai penyalahgunaan kekuasaan. Jika sejak awal laporan tersebut ditangani dengan baik, kekacauan yang terjadi belakangan ini mungkin bisa dicegah.
Teuku bilang, kepolisian sebagai garda terdepan penegakan hukum seyogianya merespons cepat dan peduli terhadap laporan masyarakat ihwal penyalahgunaan kekuasaan. Transparansi dalam penanganan kasus, termasuk memberikan perkembangan terkini, sangat penting untuk membangun kepercayaan publik.
Menurutnya, reaksi main hakim sendiri merupakan bentuk pengendalian sosial. Meski demikian, tindakan tersebut tergolong pelanggaran hukum pidana.
“Masyarakat ingin hidup tenteram dan akan melakukan tindakan penanggulangan jika melihat potensi bahaya sosial akibat penyimpangan atau kejahatan,” ujarnya.
Ia berpendapat, warga yang terlibat tidak bisa serta-merta dilabeli penjahat. Sebab, ada latar belakang dan tekanan yang mereka alami sebelumnya. Meskipun sistem peradilan pidana mungkin tidak melihat mereka sebagai korban kesewenang-wenangan, Teuku menyarankan agar aparat penegak hukum mempertimbangkan mekanisme restorative justice. Pendekatan ini berfokus pada pemulihan, rekonsiliasi, dan restorasi hubungan yang rusak melalui dialog antara korban, pelaku, dan komunitas.
Dalam konteks penanganan kasus penyimpangan kekuasaan di Kampung Gunung Agung, Teuku menyarankan pendekatan pengendalian sosial melalui empat aspek, yaitu regulasi, sosialisasi regulasi, fasilitasi, dan penerapan sanksi sebagai upaya akhir. Regulasi yang jelas dan adil dapat mencegah praktik kekuasaan yang korup dan memastikan transparansi. Sosialisasi regulasi penting agar masyarakat paham hak dan kewajiban, serta mengetahui mekanisme pelaporan pelanggaran.
Fasilitasi juga penting dalam mendukung partisipasi masyarakat, seperti penyediaan kanal pengaduan yang mudah diakses dan responsif, serta bantuan hukum gratis bagi masyarakat kurang mampu. Dalam kasus Gunung Agung, kurangnya fasilitasi yang memadai memicu kemarahan warga.
Kemudian, penerapan sanksi sebagai upaya terakhir harus bersifat proporsional dan tegas terhadap pelaku penyimpangan, termasuk pemegang kuasa. Tujuannya, untuk memulihkan kepercayaan publik dan menunjukkan kehadiran negara dalam melindungi hak-hak warga.
Menurut Teuku, penerapan community policing dapat menjadi solusi efektif, di mana polisi bekerja sama dengan masyarakat untuk memahami dan menyelesaikan masalah bersama. Namun, penerapan community policing sering kali menghadapi tantangan, seperti keterbatasan sumber daya dan koordinasi.
“Butuh dukungan dari berbagai pihak agar pendekatan ini dapat berjalan optimal dan mencegah kejadian serupa di masa depan,” kata Teuku.(*)
Laporan Derri Nugraha
Liputan ini mendapat dukungan dari Yayasan Kurawal sebagai upaya memperkuat demokrasi.