Sistem pelayanan kesehatan sarat bias kelas. Mereka yang punya uang dan koneksi ke kekuasaan menerima perlakuan istimewa. Sebaliknya, orang-orang yang lemah secara ekonomi dan sosial kerap menjadi korban.
Sebelum pukul tujuh pagi, Amnesty Aulia Utami (28) sudah mengantre di Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Hajimena, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan, Senin, 26 September 2022. Saat itu, suasana ramai. Banyak orang menunggu giliran untuk berobat.
Bersama suami, Amnesty hendak mengurus surat rujukan untuk operasi cesar di rumah sakit. Satu hari sebelumnya, ia menjalani pemeriksaan ultrasonografi (USG) di Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Puri Betik Hati, Bandar Lampung. Hasilnya, dokter menyarankan Amnesty melahirkan dengan metode pembedahan. Hal tersebut karena Amnesty mengandung lagi kurang dari dua tahun. Itu hamil anak keduanya dengan jarak relatif dekat.
Selain itu, Amnesty didiagnosis mengalami plasenta previa, yakni kondisi ketika ari-ari berada di bagian bawah Rahim, sehingga menutupi sebagian atau seluruh jalan lahir. Selain menutupi jalan lahir, plasenta previa juga dapat menyebabkan pendarahan hebat, baik sebelum maupun saat persalinan. Itu sebabnya, dokter menyarankan bedah cesar pada 1 Oktober 2022.
“Kalau bisa, jangan sampai menunggu terjadi kontraksi dan pendarahan. Sebab, akan berbahaya,” kata Amnesty menirukan ucapan sang dokter.
Tatkala diperiksa, usia kandungan Amnesty memasuki sembilan bulan. Itulah mengapa, keesokan harinya, Amnesty dan suami mendatangi Puskesmas Hajimena untuk mengurus surat rujukan. Sebab, Amnesty adalah peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Jadi, perlu surat rujukan dari fasilitas kesehatan (faskes) tingkat pertama untuk mengambil tindakan operasi di rumah sakit.
Setelah menunggu sekitar tiga jam, tiba giliran Amnesty mendapat layanan. Ia menyampaikan kondisi tubuhnya sesuai keterangan dokter RSIA Puri Betik Hati, lalu meminta rujukan untuk operasi pada 1 Oktober 2022. Namun, petugas puskesmas menolak memberi rujukan. Alasannya, puskesmas tidak dapat memberi surat rujukan untuk tindakan operasi pada bulan berbeda.
Selain itu, pihak puskesmas memberlakukan sistem semacam ‘tutup buku’ ketika akhir bulan untuk pasien BPJS. Sehingga, mereka tidak bisa mengeluarkan rujukan. Petugas tersebut akhirnya meminta Amnesty memeriksa jadwal dokter di rumah sakit sesuai tanggal yang diminta. Amnesty pun pulang tanpa membawa rujukan.
Esok hari, 27 September 2022, Amnesty mendatangi rumah sakit berbeda, yakni Rumah Sakit Hermina, Bandar Lampung. Ia ingin menanyakan, apakah bisa mengambil tindakan operasi pada 1 Oktober 2022. Ia juga menanyakan sistem penanganan pasien di rumah sakit tersebut. Pihak rumah sakit bilang bisa melakukan operasi pada tanggal dimaksud, dan peserta BPJS memerlukan rujukan dari faskes tingkat pertama untuk mendapat penanganan. Amnesty pun kembali memeriksa kandungannya di rumah sakit itu. Ia ingin hasil pembanding guna memastikan kondisi tubuhnya.
“Hasilnya sama. Saya mengalami plasenta previa. Dokter bilang, kalau sudah bulan Oktober harus cesar. Kalau bisa secepatnya, sebelum ada kontraksi,” ujar Amnesty.
Amnesty kembali menyambangi Puskesmas Hajimena pada 28 September 2022. Kepada petugas, ia menyampaikan bahwa hasil pemeriksaan kedua kalinya masih sama, jadi perlu segera operasi cesar. Namun, petugas tetap enggan memberi surat rujukan. Alasannya sama, tidak dapat menerbitkan rujukan pada akhir bulan lantaran penutupan sistem (tutup buku).
Petugas puskesmas itu juga bilang, kalau pun mau dapat rujukan tidak bisa pada tanggal 1 atau 2. Sebab, tanggal itu hari libur. Amnesty bingung dengan pernyataan itu. Benaknya bertanya, apakah orang yang sudah kritis perlu memikirkan hari libur sebelum mendapat pengobatan?
“Padahal, tujuan saya minta rujukan jauh-jauh hari, saya takut ada hal tak terduga, takut tiba-tiba rembes atau pendarahan. Apalagi, dengan sistem pelayanan yang mengantre berjam-jam,” kata Amnesty.
Amnesty juga menyampaikan bahwa rumah sakit tempat ia akan dirujuk, telah memastikan bisa menangani pasien pada 1 dan 2 Oktober. Jadi, puskesmas hanya perlu menerbitkan surat rujukan. Akan tetapi, pihak puskesmas tetap tidak memberi surat itu. Hasil pemeriksaan medis dari dua dokter yang dibawa Amnesty tak cukup untuk meyakinkan petugas tersebut. Amnesty sempat menyampaikan efek dari plasenta previa, yakni rentan pendarahan. Hal itu berbahaya dan beresiko tinggi pada proses persalinan. Dalam beberapa kasus, bisa sampai meninggal dunia ketika pendarahan berlangsung saat operasi.
Tanggapan petugas puskesmas di luar dugaan. Petugas itu bilang ke Amnesty, jika mengalami pendarahan, ia bisa langsung ke Unit Gawat Darurat (UGD) tanpa surat rujukan. Mendengar hal tersebut, Amnesty mengernyitkan dahi. Apakah harus mengalami pendarahan dahulu, baru dapat pertolongan? Padahal, semua yang ia lakukan untuk mencegah pendarahan itu. Sebab, dampaknya bisa berbahaya bagi ia dan bayinya. Amnesty pun kembali pulang dengan tangan hampa.
Syahdan, Amnesty membuat pengaduan kepada BPJS melalui aplikasi Mobile JKN. Amnesty mengajukan dua pertanyaan. Pertama, apakah rujukan hanya bisa didapatkan pada bulan yang sama, tidak untuk bulan selanjutnya? Kedua, apakah BPJS memang memberlakukan “tutup sistem” dalam pemberian rujukan setiap bulannya?
BPJS merespons bahwa setiap rujukan berlaku 90 hari. Artinya, jika memang harus diambil tindakan operasi, pasien bisa menerima rujukan. Kemudian, sistem rujukan BPJS tak pernah memberlakukan buka tutup layanan. Terlebih, menurut BPJS, rujukan dibuat sesuai dengan ketersediaan rumah sakit. Kondisinya, saat itu rumah sakit yang didatangi Amnesty memastikan bisa melakukan operasi. Seharusnya, tak ada alasan bagi puskesmas tidak memberikan rujukan.
Pada 1 Oktober, kondisi Amnesty mulai melemah. Perutnya sedikit turun dan ketubannya terasa merembes. Namun, ia tidak mendapat perawatan karena belum punya surat rujukan. Ia kembali lagi ke Puskesmas pada 3 Oktober. Sebab, dua hari sebelumnya, puskesmas libur. Hari itu, suami Amnesty mengantre dari pagi. Lagi-lagi, Amnesty belum menerima rujukan sebab sistem BPJS sedang eror.
“Saya bingung, gimana kalau orang kondisinya darurat? Apakah harus menunggu sistemnya benar? Apakah tidak ada solusi lain,” kata Amnesty.
Menunggu hingga jam satu siang, Amnesty dan suami harus pulang dengan tangan kosong. Saat itu, Amnesty sudah pasrah. Menurut keterangan yang diperolehnya dari dokter, orang dengan kondisi plasenta previa berbahaya kalau sering menerima guncangan. Sebab, plasentanya berada di bawah kandungan.
“Mau bagaimana lagi, kendaran saya hanya sepeda motor, harus bolak-balik. Tapi, justru dalam proses mendapatkan layanan malah rumit dan berbelit,” ujarnya.
Akhirnya, Amnesty baru mendapat rujukan pada 4 Oktober. Ia menjalani bedah cesar di Rumah Sakit Hermina, keesokan harinya.
Amnesty memetik pelajaran dari pengalamannya. Ia membayangkan jika menimpa orang yang minim sumber daya. Misal, orang itu sebatang kara, kurang informasi, tidak ada uang untuk bolak-balik, dan tak punya kerabat yang bisa menolong. Pasti akan lebih menderita.
“Pelayanan kesehatan masih diskriminatif kepada orang yang lemah,” ujarnya.
***
Pagi itu, Armayanti Sanusi mendatangi Puskesmas Natar, Lampung Selatan. Ia hendak meminta rujukan operasi untuk anaknya, Alden Zaky (12). Dua minggu yang lalu, Alden mengalami patah tulang pada tangan kanannya.
Alden sempat dibawa ke pengobatan tradisional, namun tak kunjung membaik. Karena itu, Armayanti memutuskan membawa anaknya ke rumah sakit.
Sebelum mendatangi puskesmas, Armayanti lebih dahulu membawa Alden untuk merontgen tangannya. Hasil X-ray menunjukkan tulang tangannya masih patah dan menyamping.
Di Puskesmas Natar, Armayanti menceritakan kondisi yang dialami putranya. Ia juga menunjukkan hasil rontgen sekaligus minta rujukan dari puskesmas agar Alden bisa dioperasi.
Saat itu, dokter yang berjaga di Puskesmas Natar berjarak sekitar satu setengah meter dari Alden dan Armayanti. Ia tak beranjak dari tempat duduknya. Pun tak memeriksa Alden. Bahkan, tak melihat hasil rontgen yang dibawa Armayanti. Ia cuma menanyakan apa yang dialami Alden.
Setelah mendengar cerita Armayanti, dokter itu bilang tak bisa memberi rujukan. Alasannya, kuota rujukan penuh. Dokter tersebut mengatakan, jika memang mau menunggu, seminggu kemudian puskesmas baru bisa memberi surat rujukan.
Meneteskan air mata, Armayanti terus memohon agar puskesmas memberikan surat rujukan. Sebab, anaknya sulit beraktivitas. Sekitar 15 menit Armayanti terus meminta tolong agar anaknya diberi rujukan. Dokter tersebut bergeming. Ia hanya mengulangi perkataannya bahwa kuota rujukan habis. Namun, ia tak menjelaskan pembatasan tersebut.
Kemudian, Armayanti keluar dari ruang pemeriksaan tersebut. Di bagian pendaftaran, Armayanti sempat ditanya petugas terkait layanan BPJS yang ia pakai, apakah berbayar atau subsidi dari pemerintah.
“Ibu bayar yang tiap bulan? Bayar terus? Bukan yang subsidi?” ujar Armayanti menirukan ucapan petugas tersebut. Ia tak paham maksud pertanyaan itu. Armayanti berpikir apakah ada perbedaan perlakuan antara mandiri dan ditanggung pemerintah?
Armayanti pun meninggalkan puskesmas. Ia sempat menghubungi saudaranya di Rumah Sakit DKT Dankesyah Lampung. Ia menyampaikan peristiwa yang baru saja dialami. Kerabat Armayanti pun meminta bantuan petugas rumah sakit DKT.
Melalui petugas, saudaranya bertanya mengapa puskesmas tak memberi rujukan. Alasan yang diberikan pihak puskesmas berbeda dengan yang dialami Armayanti. Puskesmas bilang, rujukan tak diberikan karena kronologi kesehatan yang sudah lama. Sebab, sang anak tak langsung dibawa ke rumah sakit ketika patah tulang. Pihak puskesmas menyarankan agar pasien (Alden) mendapat surat keterangan dari dokter ortopedi. Nantinya, surat tersebut dapat menjadi acuan untuk memberi rujukan.
Berbekal informasi tersebut, Armayanti bersama Alden mendatangi dokter spesialis ortopedi di Rumah Sakit DKT Dankesyah, Jumat, 5 Agustus 2022. Hasilnya, kondisi tangan Alden cukup parah dan harus dioperasi. Dokter khawatir akan mengganggu syaraf-syaraf lain. Sebab, tulang mudanya mulai tumbuh. Dokter itu akhirnya menulis surat pengantar yang ditujukan ke Puskesmas Natar. Isi surat meminta agar puskesmas mengeluarkan rujukan untuk operasi.
Dua hari setelahnya, sekitar jam delapan pagi, Alden kembali diantar ke puskesmas untuk meminta rujukan. Kali ini, sang anak ditemani suami Armayanti. Sebab, Armayanti takut akan emosi jika kembali berhadapan dengan petugas puskesmas. Dua jam menunggu, Armayanti mendapat kabar dari sang suami. Pihak puskesmas tetap tidak bisa mengeluarkan surat rujukan. Alasannya sama, bahwa kuota rujukan penuh dan baru bisa memberi rujukan minggu depan.
Armayanti nyaris putus asa. Ia sempat berpikir untuk menjual apa pun aset yang dimiliki agar anaknya bisa dioperasi. Ia bingung harus berbuat apa. Pada saat itu juga, ia menulis surat terbuka di media sosial. Surat ditujukan kepada BPJS Kesehatan RI dan Puskesmas Natar.
Surat itu berisi kronologi penolakan permintaan rujukan. Ia juga menyampaikan bahwa pembatasan kuota bagi pengguna BPJS merupakan tindakan atau praktik yang tidak berasaskan Pancasila dan tidak didasarkan kepada nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak dan antidiskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan pasien. Selain itu, Armayanti juga membuat pengaduan ke Ombudsman terkait buruknya pelayanan yang ia terima.
Tekanan
Postingan itu menjadi perbincangan netizen. Banyak yang bersimpati terhadap Armayanti. Akibat unggahan tersebut, Armayanti mendapat tekanan dari seseorang yang belakangan diketahui ketua salah satu sayap partai politik.
Orang itu menelepon Armayanti sehari setelah postingan itu viral. Ia meminta Armayanti menghapus surat terbuka tersebut. Ia bilang, kepala Puskesmas Natar adalah orang baik. Ia juga menjanjikan Armayanti akan mendapat surat rujukan jika menghapus postingannya. Ia menyampaikan bahwa pihak puskesmas memohon maaf atas apa yang terjadi. Namun, Armayanti menjawab, jika puskesmas hendak meminta maaf dan memberi rujukan, ia mempersilakan mereka untuk datang ke rumahnya.
Dua jam berselang, orang itu menelepon lagi. Ia menanyakan kediaman Armayanti. Ia bilang, rombongan puskesmas sedang dalam perjalanan menuju rumahnya. Setelah itu, datang empat orang mengaku dari Puskesmas Natar. Salah satunya adalah Kepala UPTD Puskesmas Putra Kurniawan. Mereka menyampaikan permohonan maaf kepada Armayanti dan keluarga.
Mereka bilang ada kesalahpahaman. Seharusnya, Alden bisa mendapat rujukan. Namun, dokter yang menangani Alden saat itu tak memahami mekanisme rujukan. Putra menjamin akan memberi rujukan dan memfasilitasi kebutuhan Alden asalkan Armayanti mau mencabut pengaduannya ke Ombudsman. Namun, Armayanti menolak tawaran tersebut. Ia bilang, sudah tak membutuhkan surat rujukan. Ia berencana menjual tanahnya untuk pengobatan Alden.
Selain itu, Armayanti memindahkan faskes BPJS keluarganya dari Puskesmas Natar ke Klinik Hajimena Medika, Natar, Lampung Selatan. Ia merasa kecewa terkait pelayanan kesehatan di sana.
“Saya sampaikan bahwa ini bukan soal saya saja. Ada banyak orang yang mengeluh terkait buruknya pelayanan di sana (Puskesmas Natar). Jadi, saya meminta agar mereka jangan pernah menyepelekan orang kecil, seperti kami,” kata Armayanti.
Mendengar jawaban Armayanti, pihak puskesmas hanya meminta maaf dan mengulang permintaannya untuk mencabut laporan dari Ombudsman. Armayanti justru bingung. Seharusnya, jika puskesmas punya niat baik, yang diberi adalah surat rujukan, bukan meminta warga mencabut laporan atas pelayanan publik.
Selain ketua sayap partai, tekanan juga datang dari @sedulur_nanang. Akun Instagram yang berisi keseharian Bupati Lampung Selatan Nanang Ermanto itu meminta Armayanti menghapus postingannya. Sebab, menurut akun tersebut, supaya informasi yang disebarkan Armayanti tidak menyudutkan Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan.
Armayanti membalas pesan tersebut. Ia mengatakan bahwa surat terbuka itu bagian dari ekspresinya untuk menyampaikan pendapat. Lagi pula, Armayanti merasa tak menyudutkan siapa pun. Ia hanya mengkritisi pelayanan publik yang tak profesional. Sebab, ia merasa dirugikan.
Akhirnya, Alden bisa menjalani operasi di Rumah Sakit Natar Medika. Itu sehari setelah Puskesmas Natar meminta maaf. Awalnya, Armayanti sudah bersiap untuk membayar sebagai pasien umum. Beruntung, dokter di sana menyarankan Alden melalui Unit Gawat Darurat (UGD). Sehingga, tak memerlukan rujukan karena kondisi urgen.
***
Beda Perlakuan
Berbeda dengan kisah Amnesty dan Armayanti, rumitnya pelayanan kesehatan tak dirasakan Pinka Meylinda (22). Warga Desa Wiyono, Kecamatan Gedongtatatan, Kabupaten Pesawaran, itu merupakan pasien umum. Artinya, ia membayar secara mandiri dengan uang pribadi tanpa subsidi dari pemerintah.
Berdasar pengalamannya, terdapat beberapa perbedaan pelayanan yang diterima pasien umum ketika mengakses layanan kesehatan. Salah satunya, pembagian loket pendaftaran. Pasien umum tak perlu mengantre lama seperti pasien BPJS untuk mendapat layanan.
“Saya sering melihat orang-orang (pasien BPJS) sudah berderet menunggu giliran, sedangkan saya baru datang sudah dipanggil,” ujar Pinka, Jumat, 7 Oktober 2022.
Menurutnya, administrasi yang diminta oleh petugas juga tidak berbelit. Ia hanya perlu memberi KTP, layanan langsung diproses.
Selain itu, saat pengambilan obat, pasien tak perlu mengambil nomor antrean. Berbeda dengan BPJS yang memakai antrean dan menunggu cukup lama. Obat yang diterima juga memiliki kualitas berbeda. Hal itu terlihat dari jenis obat dan harganya. Biasanya, Pinka menebus obat sekitar Rp150 ribu-Rp200 ribu/lempeng. Sedangkan pasien BPJS, obat yang umum diberikan relatif lebih murah sekitar Rp4.500-Rp7.000/lempeng, tergantung jenis penyakit.
Menurutnya, hal itu tak hanya diberlakukan di rumah sakit sekitar tempat tinggalnya. Namun, semua rumah sakit yang pernah ia kunjungi memiliki sistem yang sama. Ia beberapa kali berobat di rumah sakit luar daerahnya, seperti Bandar Lampung, baik swasta maupun milik pemerintah.
Pengalaman Pinka memang terlihat jelas di beberapa rumah sakit. Pemantauan di dua rumah sakit swasta dan milik pemerintah di Bandar Lampung, terdapat perbedaan loket pendaftaran pasien. Pada loket pendaftaran BPJS terlihat banyak yang mengantre, sedangkan pasien umum tampak sepi. Termasuk loket pengambilan obat pun berbeda. Pasien BPJS diberi nomor antrean. Berbeda dengan pasien umum yang langsung dipanggil oleh petugas apotek.
Dua petugas di rumah sakit milik swasta tersebut membenarkan bahwa ada perbedaan perlakukan yang diberikan kepada pasien. Biasanya, pasien umum lebih didahulukan untuk mendapat layanan.
“Dokter biasanya memilih berdasarkan berkas pendaftaran. Kalau (pasien) umum itu berkasnya ada lis kuning. Sedangkan (pasien) BPJS berwarna putih. Jadi, yang dilayani itu pasien umum dahulu, kalau sudah selesai baru pasien BPJS,” kata salah seorang petugas.
Ia juga memastikan pelayanan yang diberikan pada pasien umum maksimal dan cepat. Sebab, pasien itu sudah membayar mahal dengan uang pribadinya.
Keterangan tersebut diperkuat dua perawat di rumah sakit milik pemerintah. Menurut mereka, pasien BPJS tidak menjadi prioritas ketika mengakses layanan kesehatan. Pasien umum akan mendapat perhatian lebih dibanding pasien BPJS. Misalnya, ketika pasien BPJS meminta untuk ganti cairan infus, perawat tak langsung tanggap. Selang 10-15 menit barulah dilakukan pergantian. Sedangkan pasien umum langsung diganti saat itu juga. Kalau tak langsung diganti, si perawat bisa dipecat.
Selain itu, pembagian perawat dan dokter disesuaikan dengan kelas layanan. Misal, pasien umum kelas very important person (VIP) akan mendapatkan perawat yang berpenampilan menarik dan komunikasi yang baik. Terdapat pula perawat senior yang siaga menggantikan dokter yang terlambat datang.
“Ya karena rata-rata pasien VIP ini pejabat, orang yang punya uang, mereka mampu membayar rumah sakit,” ujar perawat itu.
Berbeda dengan pasien BPJS dilayani perawat seadanya. Bahkan, untuk satu ruangan dengan kapasitas 50 pasien, biasanya yang piket hanya tiga perawat dan satu dokter umum.
Kemudian, ada pula pembatasan jumlah pasien pada kelas berbeda. Untuk pasien BPJS kelas tiga, biasanya ruangan berisi sampai lima pasien dan bertumpuk dalam satu ruangan. Sedangkan kelas satu atau VIP dibatasi maksimal dua orang. Fasilitas yang diberikan pun berbeda. Ruangan VIP relatif lebih luas dan dilengkapi beberapa fasilitas yang tidak dimiliki ruangan kelas tiga, seperti kulkas, televisi, dan pendingin ruangan.
Kondisi demikian tak selamanya sama. Dalam beberapa kasus, ada pasien BPJS yang dilayani dengan baik. Perawat yang diwawancarai konsentris menyebutnya sebagai pasien “titipan”.
“Pasien ini titipan dari pejabat. Contohnya, keluarga gubernur, keponakan gubernur, atau pun kepala dinas di provinsi, itu dispesialkan. Ia masuk duluan dan langsung ditangani,” ujarnya.
Perawat yang menangani pasien titipan itu biasanya tak berani berlaku kurang sopan. Mereka takut si pasein sakit hati. Sebab, mereka bisa dipecat, ditegur atasan, atau pun dimutasi.
“Itulah lemahnya rumah sakit di bawah pemerintah. Si pejabat rumah sakit juga takut dimutasi,” ucap perawat itu.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Lampung Reihana membantah soal perbedaan perlakuan antara pasien BPJS dan umum. Menurutnya, semua sama saja. Pasien BPJS juga sudah memiliki pelayanan dan fasilitas cukup baik.
“Jadi, menurut saya perbedaan itu enggak ada ya. Hanya image bahwa dari dahulu BPJS itu kurang pelayanannya ketimbang pasien umum, tapi sama kok, enggak ada perbedaan,” kata Reihana.
Selama ini, ia tak pernah mendengar laporan perbedaan perlakuan terhadap pasien BPJS maupun umum. Ia menyebut pelayanan kesehatan di rumah sakit atau puskesmas sudah baik.
Ketua Komisi V DPRD Lampung Yanuar Iman mengatakan, seharusnya tak ada lagi perbedaan perlakuan dalam pelayanan kesehatan. Sebab, regulasi sudah jelas mengatur bahwa tidak boleh ada tindakan diskriminatif.
“Jadi, gak ada yang bisa dibedakan. Enggak ada lagi BPJS dinomorduakan, sementara pasien umum menjadi prioritas. Sebab, kami pun (anggota DPRD) dan pejabat-pejabat lain menggunakan BPJS,” ujar Yanuar.
Ihwal fungsi pengawasan legislatif, Yanuar bilang sudah berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan. Hasilnya, pelayanan kesehatan di Lampung cukup baik. Parlemen telah melakukan sosialiasi dan teguran jika ada rumah sakit yang berlaku diskriminatif. Namun, ia tak membantah bahwa masih ada kekurangan dalam pelayanan kesehatan yang disebabkan oleh oknum.
Ia mengimbau masyarakat untuk tidak takut melaporkan ke DPRD jika memang ada perbedaan perlakuan, bahkan cenderung diskriminatif. Ia memastikan akan menindak tegas rumah sakit atau petugas yang berlaku demikian.
Bias Kelas
Pemerhati kebijakan publik Dodi Faedlulloh mengatakan, problem klise dalam pelayanan publik di Indonesia adalah kerap bias kelas. Pada pelayanan kesehatan, bias itu terlihat dari keberadaan kelas-kelas tertentu di rumah sakit. Seringkali, masyarakat miskin yang menjadi korban atas sistem tersebut. Mereka biasa mendapat pelayanan ala kadarnya. Sebaliknya, orang yang mampu membayar lebih akan diprioritaskan. Padahal, semangat yang diusung seyogianya melayani semua warga negara, tanpa terkecuali.
“Kalau disebut ada yang salah, tentu salah bila kejadian tersebut terus terjadi. Bukan satu atau dua cerita keluhan warga yang diperlakukan diskrimiatif. Hadirnya BPJS harusnya bisa membantu, alih-alih justru jadi tanda pembeda untuk didiskriminatif,” ujar Dodi.
Akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung itu menilai, perlu ada perubahan paradigma mengenai kesehatan. Maksudnya, pasien bukan pelanggan (costumer), yang mengondisikan siapa yang mampu bayar lebih besar mendapatkan pelayanan optimal. Akan tetapi, dipandang sebagai warga negara yang wajib dilayani.
Hal itu jelas diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Beleid itu menegaskan bahwa setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan.
Dodi berpendapat, pada dasarnya rumah sakit milik pemerintah merupakan rumah sakit yang harus berpihak kepada rakyat, dan tidak mencari keuntungan belaka. Soal perilaku petugas, seyogianya lebih ramah kepada semua pasien. Sebab, mereka seutuhnya dibayar oleh pemerintah yang notabene bersumber dari pajak rakyat.
Sedangkan untuk rumah sakit milik swasta, pemerintah wajib melakukan kontrol. Jangan sampai mereka menjadikan kesehatan sebagai komoditas. Sebab, kesehatan adalah hak dasar yang wajib didapatkan semua warga negara. Perlu juga sanksi tegas terhadap rumah sakit yang terindikasi berlaku diskriminatif.
“Sanksi yang bisa dilakukan adalah pencabutan izin. Saat angka pandemi Covid-19 sedang tinggi, publik masih ingat ada pihak rumah sakit yang menolak pasien, kemudian pemerintah dan pemimpin daerah mengeluarkan statement mengancam akan mencabut izinnya. Nah, hal itu juga harusnya berlaku bila ada kasus-kasus yang bersifat diskriminasi, bahkan jika terjadi penolakan pasien,” kata Dodi.(*)
Laporan Derri Nugraha dan M Yoga Nugroho
Liputan ini didukung Google News Initiative News Equity Fund