Hawa panas belakangan ini merupakan dampak krisis iklim. Pelbagai bencana ekologis yang dapat meruntuhkan peradaban manusia pun di depan mata. Alih-alih menekan, upaya pemerintah tak memperlihatkan keseriusan.
Fajar baru saja menyingsing. Suryadi (30) sudah sibuk menyusun barang dagangan. Tahu pong, telur puyuh rebus, dan beberapa macam keripik disematkan satu per satu di papan kayu berbentuk huruf T.
Setelah selesai, ia mencangking jualan menuju trotoar di depan Pasar Bandar Jaya Plaza, Kecamatan Terbanggi Besar, Kabupaten Lampung Tengah. Di tempat itulah Suryadi sehari-hari menjajakan dagangan.
Sebelum ke tempat berniaga, Suryadi mampir ke depot air minum kemasan. Ia menyetok beberapa botol minuman untuk melengkapi dagangannya. Sebab, beberapa bulan terakhir, suhu udara terasa panas.
“Kalau cuaca seperti ini (panas), minuman lumayan laku,” kata Suryadi, Selasa, 12 Oktober 2021.
Ketika berjualan, Suryadi selalu mengenakan topi. Tudung kepala itu guna melindunginya dari terik mentari. “Kalau gak pakai topi, terasa sakit kepala, panas banget,” ujarnya.
Akhir-akhir ini, kondisi cuaca tak dapat diprediksi. Biasanya, memasuki Oktober mulai hujan. Namun, suhu udara justru semakin panas.
Hal serupa dirasakan Bambang Saputra (25), juru parkir salah satu toko di Jalan Teuku Umar, Kedaton, Bandar Lampung. Sejak pukul delapan pagi, ia sudah merapikan sepeda motor pelanggan toko.
Seperti Suryadi, Bambang juga pakai topi saat bekerja. Bahkan, ia menambahkan manset berkelir hitam guna melindungi tangannya dari sinar matahari. “Panasnya itu menyengat,” kata Bambang.
Biasanya, panas mulai terasa sekitar jam sembilan pagi hingga pukul empat sore. Ketika memarkir kendaraan, Bambang beberapa kali minum. Itu untuk menjaga cairan tubuh karena Bambang mengeluarkan banyak keringat kala hawa terasa gerah.
Suryadi dan Bambang hanya beberapa dari sekian orang yang merasa kegerahan belakangan ini. Hawa panas tersebut merupakan indikasi kuat naiknya suhu permukaan bumi sebagai dampak dari krisis iklim akibat pemanasan global.
“Dalam laporan penilaian keenam Intergovermental Panel On Climate Change (IPCC), peningkatan rata-rata suhu bumi mencapai 1,1 derajat celsius. Kondisi itu terus meningkat setiap tahunnya,” ujar Alvin Pratama, dosen Sains Atmosfer dan Keplanetan Institut Teknologi Sumatra (Itera).
Badan ilmu iklim terbesar dunia yang berisi 195 negara itu menyebut, dunia dapat mencapai atau melampaui pemanasan suhu sebesar 1,5 derajat celsius dalam dua dekade ke depan. Jika kondisi tersebut terus belanjut, skenario terburuk dalam studi IPCC memprediksi, pemanasan global bisa naik hingga empat derajat celsius pada akhir abad ini. Itu berarti peningkatan suhu terpanas bumi sepanjang sejarah manusia.
Salah satu faktor penyebab meningkatnya suhu permukaan bumi, yakni konsentrasi emisi gas rumah kaca di atmosfer cukup tinggi. Hal tersebut menyebabkan sinar matahari yang masuk ke bumi terperangkap karena tertahan oleh gas-gas di lapisan atmosfer. Akibatnya, terjadi peningkatan suhu bumi.
Menurut Alvin, berkurangnya vegetasi hijau akibat kerusakan dan alih fungsi hutan. Minimnya mangrove juga turut berkontribusi besar meningkatkan emisi gas rumah kaca. Sebab, hutan berfungsi menangkap karbon di udara.
“Ketika ada alih fungsi hutan, kemampuan menyerap karbon berkurang. Sehingga, (karbon) lebih banyak lepas ke atmosfer,” kata Alvin.
Jumlah emisi gas rumah kaca meningkat sebesar 43% dalam dua dekade terakhir, atau pada 2018 setara 51,8 miliar ton CO2 ekuivalen. Ini mengisyaratkan kemungkinan krisis iklim lebih buruk akan terjadi lebih cepat.
Alvin mengingatkan krisis iklim akibat pemanasan global merupakan ancaman serius bagi kehidupan manusia. Meningkatnya suhu bumi juga memicu pertambahan ketinggian air laut atau sea level rise. Hal itu meningkatkan risiko tingginya intensitas banjir, perubahan arus laut, meluasnya kerusakan mangrove, dan mengancam kehidupan sosial ekonomi masyarakat pesisir.
Selain itu, dampak krisis iklim paling dirasakan adalah perubahan cuaca ekstrem. Ketika musim hujan, intensitas air lebih tinggi sehingga terjadi banjir. Sebaliknya, saat kemarau terjadi kekeringan di sejumlah daerah. Fenomena tersebut bisa berpengaruh pada sektor pemenuhan pangan.
“Cuaca yang cukup ekstrem itu dapat menyebabkan gagal panen,” ujarnya.
Beberapa bulan terakhir, kabar ihwal bencana akibat cuaca ekstrem wira-wiri di media. Banjir bandang di Jerman dan Belgia, misalnya, menewaskan setidaknya 170 orang dan lebih dari 1.000 orang hilang. Lalu, Cina dilanda banjir akibat hujan terlebat dalam seribu tahun terakhir. Akibatnya, 10.000 warganya terpaksa mengungsi.
Terkini, pusat bisnis, budaya, dan mode di Amerika Serikat, New York, diterjang banjir akibat badai ida di pesisir timur laut Amerika Serikat. Sebanyak 44 orang tewas dalam bencana tersebut.
Selain banjir, akibat kondisi kering saat kemarau, kebakaran hutan terjadi di beberapa wilayah, bahkan kebakaran sudah mencapai kutub utara. Setidaknya, pada 2019, sekitar 250-350 titik api ditemukan di bagian utara lingkaran arktika. Suhu udara yang makin hangat turut memperparah kebakaran di hutan bersalju itu.
Oleh karena itu, Alvin menilai perlu kesadaran bersama untuk menanggulangi krisis iklim. Penggunaan energi bersih dan mengurangi aktivitas yang menimbulkan karbon, seperti beralih ke fasilitas kendaraan umum merupakan beberapa hal yang dapat dilakukan.
David Wallace-Wells, penulis buku “Bumi yang Tak Dapat Dihuni”, juga telah memperingatkan bahaya krisis iklim. Secara umum, planet yang lebih panas buruk untuk kehidupan tumbuhan. Artinya, kematian hutan-menyusutnya hutan seluas negara-negara-berarti pengurangan dramatis kemampuan alami planet ini menyerap karbon dan mengubahnya menjadi oksigen. Dengan kata lain, suhu makin panas yang berarti makin banyak kematian hutan dan seterusnya.
Suhu lebih tinggi berarti makin banyak kebakaran hutan, lebih sedikit pohon, lebih sedikit penyerapan karbon, lebih banyak karbon di atmosfer, dan planet bertambah panas-dan seterusnya. Laut yang lebih hangat menyerap panas lebih sedikit. Artinya, lebih banyak udara panas yang mengandung lebih sedikit oksigen, mengancam fitoplankton-yang melakukan kerja tumbuhan di laut, menyerap karbon dan memproduksi oksigen-sehingga manusia dapat makin banyak karbon yang memanaskan lagi planet ini.
“…Secara sangat nyata perubahan iklim memengaruhi kita-hasil panen, wabah penyakit, pola migrasi dan perang saudara, gelombang kejahatan dan kekerasan dalam rumah tangga, badai dan gelombang panas, hujan deras dan kekeringan parah, bentuk pertumbuhan ekonomi dan segala yang mengalir darinya, yang hari ini bermakna hampir semuanya,” tulis Wells.
Bencana dianggap takdir
Sementara itu, data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung, dalam beberapa tahun terakhir, bencana hidrometeorologi-bencana akibat kondisi cuaca dan iklim-sering terjadi. Bencana dimaksud antara lain kebakaran hutan, kekeringan, banjir, longsor, angin kencang, dan badai.
Selama lima tahun terakhir, Lampung menjadi salah satu provinsi terparah yang dilanda kekeringan. Pada 2019, sebanyak delapan kabupaten/kota mengalami kekeringan. Dampaknya, terjadi krisis air dan ribuan hektare lahan pertanian gagal panen.
Kekeringan juga memicu kebakaran hutan di Lampung. Sekitar 2.607 hektare hutan terbakar pada 2019. Hingga 2020, kerusakan hutan mencapai sekitar 375.928 hektare atau 37,42% dari total hutan di Lampung.
Selain kekeringan, angin puting beliung kerap terjadi di sejumlah daerah. Sepanjang 2020-2021, tercatat empat laporan terkait puting beliung, di antaranya Tulangbawang, Lampung Timur, Lampung Utara, Lampung Barat, dan Bandar Lampung. Bencana itu merenggut sejumlah nyawa dan merusak ratusan rumah.
Sejumlah daerah di Lampung pun menjadi langganan banjir. Salah satunya, Bandar Lampung. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) setempat mencatat 12 kecamatan rawan banjir dan longsor. Bahkan, Kabupaten Tanggamus yang notabene memiliki kawasan hutan sebagai catchment area, diterjang banjir dalam dua tahun belakangan.
“Bencana-bencana tersebut dampak serius dari krisis iklim,” kata Direktur Walhi Lampung Irfan Tri Musri.
Bencana di Lampung belakangan ini tak bisa dianggap hanya sebagai bencana sektoral. Tapi, lebih kepada bencana struktural.
Irfan bilang, bencana akibat krisis iklim saling berkelindan satu sama lain. Misal, kekeringan, banjir, dan longsor. Hal itu bisa disebabkan berkurangnya tutupan lahan akibat kerusakan hutan, serta minimnya ruang terbuka hijau. Lalu, berdampak terhadap rusaknya tempat tinggal, krisis air, dan gagal panen.
“Dalam jangka panjang bisa terjadi kelaparan massal, konflik dan keruntuhan sosial, serta bencana ekologis yang lain,” ujarnya.
Alih-alih waspada dengan krisis iklim yang menjadi perhatian dunia, bencana di Lampung malah dianggap takdir. Manusia tidak memiliki daya kemampuan untuk mencegahnya.
Salah satu yang masih teringat jelas, yaitu pernyataan mantan Wali Kota Bandar Lampung Herman HN. Ia bilang, banjir merupakan kehendak Tuhan.
Padahal, data Walhi mengungkap bahwa banjir di Bandar Lampung karena alih fungsi bukit, buruknya sistem drainase, dan minimnya ruang terbuka hijau (RTH). Selama 2010-2020, sekitar 102,43 hektare lahan beralih fungsi menjadi industri, perumahan, dll.
Walhi juga menyoroti tindakan pemerintah setempat dalam mitigasi bencana terkait krisis iklim. Upaya kepala daerah di Lampung terkesan parsial dalam menangani bencana. Ketika banjir, hal yang dilakukan hanya mengeruk sungai. Bukan memperbaiki sistem penyerapan air, seperti ruang terbuka hijau dan pengembalian fungsi hutan serta bukit.
Di sisi lain, pembangunan di Lampung masih mengejar investasi ketimbang memikirkan dampak lingkungan. Contohnya, di wilayah perkotaan, pemerintah justru kerap memberi izin kepada korporasi untuk mendirikan bangunan di kawasan rawan banjir.
Padahal, mitigasi bencana sudah tertuang dalam Rencana Pembangun Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Lampung. Namun, secara rill belum ada upaya nyata dari pemerintah.
Termasuk, dokumen Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) yang telah rampung pada 2018. Hingga kini, dokumen tersebut belum menjadi peraturan daerah (perda). Dokumen itu hanya dapat dijalankan ketika sah menjadi perda.
“Jadi, memang belum ada perhatian serius dari pemerintah terkait krisis iklim,” kata Irfan.(*)
Laporan Derri Nugraha