Kejatuhan Soeharto membawa harapan kedaulatan akan dikembalikan kepada rakyat. Namun, hari-hari ini, manifestasi kedaulatan itu hanya political gimmicks.
Riwanto Tirtosudarmo | Bekerja di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sejak 1980-2017 | Kini peneliti independen
Guru besar saya sewaktu kuliah di Fakultas Psikologi UI, Profesor Slamet Iman Santoso, sering mengingatkan bahwa posisi Indonesia di persimpangan jalan. Posisi Indonesia di persimpangan antara dua samudra dan dua benua. Karena letaknya di persimpangan, Indonesia menjadi tempat lalu lintas manusia. Kekayaan alam Indonesia akan selalu diperebutkan orang. Sejarah membuktikan betapa benarnya ucapan guru besar saya itu.
Bagi Jokowi yang besar di Solo dan kuliah di Fakultas Kehutanan UGM, peta geografi Indonesia tentulah ada di benaknya. Saya kira, Jokowi berbeda dengan Soeharto dalam melihat Indonesia. Jika Soeharto melihat Indonesia ke – “dalam”, Jokowi melihat Indonesia ke – “luar”. Gibran dan Kaesang konon disekolahkan di luar negeri nggak tahu belajar apa. Dalam urusan sekolah, bagi Jokowi, tidak ada persoalan nasionalisme.
Saya kira, banyak orang keliru menilai Jokowi yang berpenampilan ndeso itu. Banyak yang meragukan ketika bertarung di Pilpres 2014 melawan Prabowo Subianto, mana mungkin anak kampung melawan anak Menteng? Bahasa Inggrisnya juga belepotan medok Jawa. Sementara, Prabowo Subianto, anak Profesor Sumitro Djojohadikusumo, dibesarkan dan sekolah di luar negeri. Perbedaan keduanya bak bumi dan langit.
Pernah suatu hari, saya diajak oleh Mbah Prapto (Suprapto Suryodarmo), guru meditasi gerak saya di Solo, mengunjungi sahabatnya seorang pengusaha Tionghoa. Pengusaha ini bercerita bahwa sebagai pengusaha mebel, Jokowi selalu menghadiri pameran mebel internasional di Eropa. Setelah pameran, Jokowi biasanya berkeliling dan kembali ke tanah air dengan membawa banyak order. Jokowi kemudian membagikan order-order itu kepada teman-temannya.
Dari beberapa ilustrasi di atas, Jokowi sesungguhnya tidak canggung dengan dunia internasional. Jokowi memahami ekonomi global dan menyadari arti penting Indonesia dalam percaturan global. Sebagai pebisnis politik yang menduduki puncak kekuasaan tertinggi di Indonesia, ia memiliki kartu-kartu penting untuk dimainkan di kancah politik ekonomi global. Jokowi, misalnya, tahu bahwa Freeport harus mendapatkan prioritas untuk segera ditangani. Jokowi tahu Papua adalah tambang emas yang tidak boleh lepas dan harus dikuasai secara ekonomi-politik.
Semasa kepemimpinannya, tanpa banyak bicara ia memekarkan Papua menjadi enam provinsi. Jokowi tidak keliru memilih Tito Karnavian sebagai Mendagri, mantan Kapolri yang meraih gelar doktor di NUS, Singapura. Gelarnya bukan sekadar doktor honoris causa dari dalam negeri ataupun luar negeri, seperti kebanyakan politisi medioker kita. Tito jenderal yang cerdas. Pernah memimpin kepolisian di Papua. Ia memahami peta politik Papua. Pemekaran dilakukan sebagai strategi untuk melemahkan keinginan Orang Papua merdeka dari Indonesia.
Selama ini, yang kurang dilihat secara kritis adalah tak mungkin menjalankan Trisakti tanpa kedaulatan rakyat. Kelemahan Bung Karno adalah tidak dihargainya kedaulatan rakyat. Sebab, rakyat telah diproyeksikan ke dalam dirinya sebagai penyambung lidah rakyat. Dalam mendaki puncak kekuasaan, Jokowi tak mungkin bisa tanpa dukungan Megawati dan PDIP yang mengklaim sebagai penerus ide-ide Bung Karno.
Jokowi memahami semangat yang dibawa Megawati dan PDIP, tapi Jokowi yang lahir setelah tragedi politik 1965 adalah anak dari zaman yang lain. Jokowi bisa dengan bangga mengatakan bukan anak Orde Baru. Ia juga bisa menyatakan tidak memiliki hubungan sedikit pun dengan PKI.
Sesungguhnya, Revolusi Mental yang kita tidak begitu paham adalah apa yang dimaksudkannya menjadi trademark Jokowi. Ketika itu, tanpa diminta para intelektual dan para akademisi sibuk menerjemahkannya. Mereka berlomba-lomba ingin membantu Jokowi.
Selain Revolusi Mental yang kedengarannya gagah itu, Jokowi juga membawa konsep Nawacita yang sekarang kita juga tak tahu di mana. Ambisinya untuk menunjukkan diri sebagai pemimpin kaliber dunia beberapa kali diperlihatkannya. Tatkala pecah perang Rusia dan Ukraina, Jokowi memberanikan diri untuk mencari jalan keluar. Ia mengunjungi dan berbicara langsung dengan Putin dan Zalensky. Sampai sekarang, kita tidak tahu apa hasil kunjungan itu.
Ketika Indonesia menjadi tuan rumah negara-negara G20, sebuah perhelatan akbar diselenggarakan di Bali dan ditunjukkan bagaimana Indonesia bisa menjadi pemimpin dalam mencari penyelesaian masalah perubahan iklim dan dunia digital. Sejauh mana itu menjadi kenyataan, kita juga tidak tahu. Yang kita ingat, ketika para pemimpin dunia itu diajak Jokowi menanam bakau. Kita tak tahu apakah bakau itu tumbuh atau sudah dilupakan.
Sebagai ketua ASEAN, Jokowi mengadakan pertemuan dengan pemimpin-pemimpin ASEAN di atas kapal pinisi sekaligus mempromosikan pariwisata di Labuan Bajo. Saya kira, memang pas pertemuan pemimpin ASEAN sambil berwisata. Sebab, ASEAN memang didirikan untuk menjaga kestabilan para pemimpinnya, bukan untuk kepentingan rakyat ASEAN. Saat junta militer di Myanmar menindas minoritas Rohingya, ASEAN tak berani menyinggung junta militer di Myanmar. Begitu juga dalam hal pekerja migran yang mengalami perlakuan buruk di negeri penerima, selalu dihindari untuk dibicarakan secara serius dalam KTT ASEAN.
Ketika pecah perang Israel-Palestina, Jokowi juga tampil sebagai pembela perjuangan rakyat Palestina. Belum lama ini, beredar video dialog singkat antara Jokowi dengan Presiden Amerika Serikat Joe Biden. Hanya berbicara dua-tiga kalimat, Jokowi membaca teks di ponselnya yang mungkin sudah didiktekan oleh Retno Marsudi, Menteri Luar Negeri Indonesia. Momen yang terlihat karikatural itu memperlihatkan bagaimana Jokowi berusaha keras menampilkan dirinya sebagai pemimpin negara Islam terbesar di dunia, pembela rakyat Palestina di hadapan pemimpin negara super power, Amerika Serikat.
Dalam kedaulatan politik, Jokowi seolah tampil sebagai pembawa arah politik luar negeri yang bebas aktif. Upayanya untuk berdikari secara ekonomi barangkali yang paling perlu dipertanyakan. Preokupasinya untuk mengundang modal asing seperti menggadaikan kedaulatan ekonomi negerinya.
Kemudian, ambisinya untuk segera membangun ibu kota baru di Kalimantan Timur, membuatnya terkesan mengobral tanah dan air dengan harga murah. Pun bukan rahasia lagi jika tanah-tanah di sekitar rencana ibu kota baru itu telah dimiliki oleh para konglomerat yang sudah pasti meminggirkan rakyat kecil. Jokowi dipuji dengan idenya tentang hilirisasi.
Pertanyaannya, siapa yang diuntungkan di dalam negeri? Sudah 50 tahun, yang terjadi di negeri ini bukan trickle down, tetapi tricle up effect. Ketimpangan yang menganga lebar, bukan kemakmuran rakyat. Di kepala Jokowi, kedaulatan ekonomi untuk siapa?
Tatkala mahasiswa turun ke jalan pertama kali pada 15 Januari 1974 – yang dikenal sebagai Peristiwa Malari – yang dituntut adalah ditegakkannya kedaulatan bangsa dan negara. Demonstrasi mahasiswa ini berhasil dibubarkan. Para pemimpinnya ditangkap, diadili, dan dipenjara.
Presiden Soeharto terbukti sangat kuat dan baru jatuh ketika krisis ekonomi melanda Indonesia pada 1997. Kejatuhan Soeharto membawa harapan kedaulatan akan dikembalikan kepada rakyat. Namun, kita tahu, hari-hari ini, ketidakadilan ekonomi-politik semakin menganga dan kedaulatan itu kian jauh dari rakyat.