Sisa jabatan Presiden Jokowi kurang dari satu tahun. Dengan waktu sedikit, Jokowi akan mengerahkan semua sumber daya untuk pemenangan capres-cawapres pilihannya. Sebab, hanya itu satu-satunya cara untuk memastikan kelanjutan proxy kekuasaannya.
Riwanto Tirtosudarmo | Bekerja di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sejak 1980-2017 | Kini Peneliti Independen
Jokowi bukan presiden yang akan turun dari kursinya dengan legowo. Dari berbagai kabar, Jokowi sendiri turun tangan melapangkan jalan Prabowo-Gibran untuk menggantikannya. Ada apa sesungguhnya?
Jokowi begitu “ngotot” (dalam artikel saya dan Peter Carey, kami gunakan kata “desperate“) untuk terus berkuasa ? What is at stake? Ketika peluang untuk memperpanjang masa jabatan tertutup, satu-satunya cara adalah memenangkan jagonya yang bisa melanjutkan dan menjadi proxy kekuasaannya.
Menarik memerhatikan bagaimana Jokowi yang hanya mempunyai waktu kurang dari setahun sebagai presiden mengendalikan pemenangan. Pastilah akan ia usahakan dalam satu putaran. Jokowi seorang presiden yang tidak saja memimpin kabinet yang sebagian adalah orang-orang partai politik, tetapi juga terbukti mampu menguasai parlemen.
Jokowi juga presiden yang mampu menguasai dengan baik institusi tentara dan polisi. Jika ada pertanyaan, barangkali tentang ketidakharmonisan hubungannya dengan Ketua Umum PDIP Megawati. Seperti apa pengaruhnya terhadap kinerja orang-orang PDIP yang ada di kabinetnya? Bagaimana dampak terbelahnya sikap mereka, mendukung Jokowi yang menjagokan Prabowo atau mendukung capres PDIP, Ganjar Pranowo, atau bahkan memilih Anies yang berpotensi jadi kuda hitam?
Terbelahnya elite pendukung Jokowi sudah terlihat ketika Ganjar-Mahfud dideklarasikan sebagai calon presiden dan wakil presiden oleh Megawati dan empat partai pendukungnya, yaitu PDIP, PPP, Hanura, dan Perindo. Sebelumnya, Jokowi ditengarai berperan di balik penghukuman menteri-menteri yang berasal dari Partai Nasdem, seperti menteri komunikasi dan menteri pertanian. Jokowi mengendalikan mesin birokrasi dengan taktik klasik: “carrot and stick.”
Hampir dapat dipastikan bahwa peran Mensesneg Pratikno sangat besar. Pratikno yang sebelumnya adalah Rektor UGM menjadi Mensesneg sejak Jokowi terpilih sebagai presiden. Sebelumnya, Pratikno meniti karier sebagai akademisi dengan lancar, terpilih sebagai Dekan Fisipol dan Rektor UGM.
Sepanjang karier akademiknya bisa dilihat rekam jejaknya yang lama bekerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri. Oleh karena itu, bagi Pratikno, bekerjanya mesin birokrasi pemerintahan sangat dikuasainya. Seorang teman sambil berkelakar bilang, Pratikno memahami dengan baik teori dan praktik politik.
Pembawaannya yang santun membuatnya tepat sebagai Sekretaris Presiden Jokowi. Apalagi, keduanya orang Jawa, mungkin saja sehari-hari mereka bercakap-cakap dalam bahasa Jawa. Mungkin Jokowi berbicara ngoko kepada Pratikno, dan Pratikno berbicara kromo pada Jokowi.
Sepintas, Pratikno mengingatkan saya kepada almarhum Profesor Selo Soemardjan, mantan camat yang kemudian meraih gelar doktor dari Universitas Cornell dan menjadi Dekan Fisip UI. Jika Pratikno mengabdi kepada Presiden Jokowi, Selo Soemardjan mengabdi pada Sultan Yogyakarta, Hamengkubuwono IX, yang sempat menjadi Wakil Presiden Soeharto semasa Orde Baru.
Hubungan patron dan klien menjadi pola hubungan yang lebih dari sekadar relasi kekuasaan (power relation), tapi juga kultural. Dalam hubungan yang bersifat kultural inilah trust menjadi dasar dari loyalty. Sebuah hubungan kawulo-gusti yang melampaui hubungan-hubungan yang bersifat transaksional yang terasa semakin menguat dalam perpolitikan di Indonesia.
Jokowi dan Pratikno tentu juga disatukan oleh nasib sebagai sesama alumni UGM. UGM sebuah universitas yang berada di pusat kebudayaan Jawa, di mana sampai hari ini masih bisa disaksikan adanya kraton sebagai locus kekuasaan, dan Sultan Hamengkubowono X sebagai representasi dari kekuasaan itu.
Beberapa tahun yang lalu, sempat terjadi sedikit riak ketegangan politik ketika sejumlah akademisi dari UGM – Pratikno kemungkinan ada dalam kelompok akademisi ini – mempersoalkan tentang kekhususan atau keistimewaan Yogyakarta. Keistimewaan ini, menurut para akademisi, harus dihapus agar setara dengan provinsi-provinsi lainnya. Gagasan para akademisi ini ternyata kandas karena besarnya penolakan dari para pendukung keistimewaan Yogyakarta.
Sebagai Menteri Sekretaris Negara, Pratikno ibarat pusat syaraf yang mengatur dan menggerakkan semua organ dan aparat pemerintah. Mungkin, Pratikno adalah orang paling dekat Jokowi, selain Iriana, istri Jokowi, yang konon juga sangat berpengaruh di lingkungan Istana.
Sebagai akademisi, Pratikno tidak terlalu menonjol. Tesis doktornya tentang politik lokal di Gresik juga biasa saja. Ia meraih gelar doktor di Flinders University, Adelaide, Australia Selatan, dengan pembimbingnya, Profesor Jim Schiller, yang meneliti tentang politik lokal di Jepara.
Pratikno sekretaris loyalis Jokowi. Posisinya instrumental juga dalam hubungan dengan KPK, yang terlihat dipakai sebagai “stick” bagi Jokowi dalam mengendalikan menteri-menterinya. Seperti kita ketahui, lembaga-lembaga seperti KPK atau Komnas HAM yang secara teori bersifat independen, namun pendanaannya di tangan Mensesneg.
Persoalan independensi ini menjadi problematik karena pendanaannya tergantung dari pemerintah. Hal ini perlu mendapat perhatian publik karena pemerintah mudah melakukan intervensi. Kita mengetahui bagaimana Jokowi secara terencana merevisi UU KPK. Publik mengetahui bahwa upaya pelemahan KPK bertujuan mengendalikan para politisi agar mengikuti kehendak politiknya. Di bawah Jokowi, KPK kehilangan independensi dan menjadi sekadar alat kekuasaannya, bagian dari taktik “carrot and stick“.
Belum lama ini, Jokowi memimpin rombongan delegasi Indonesia ke Jepang. Turut dalam rombongan itu antara lain Erlangga Hartanto, Menko Ekonomi, ketua umum Golkar, serta Menlu Retno Marsudi. Duta besar Indonesia di Jepang adalah Heri Akhmadi, mantan Ketua Dewan Mahasiswa ITB yang menentang Orde Baru, kini politisi PDIP.
Secara karier akademik, Heri berbeda dengan Pratikno. Heri besar dalam dunia pergerakan. Ketika menjadi Ketua Dewan Mahasiswa ITB, Heri termasuk yang berani secara terbuka melawan Soeharto. Ada cerita anaknya diberi nama Gempur Suharto. Seperti Pratikno, Heri juga berasal dari Jawa Timur. Saya tidak tahu bagaimana sikap Heri Akhmadi soal Jokowi yang mbalelo terhadap Megawati. Sebagai diplomat, berdiplomasi adalah hal biasa.
Jepang seperti Belanda adalah negara penting bagi Indonesia. Tidak saja karena sejak awal 1970-an FDI-nya tinggi, tapi juga karena seperti Belanda meskipun jauh lebih singkat memiliki pengaruh besar dalam pembentukan negara Republik Indonesia. Konstitusi negara disusun dalam pengawasan tentara Jepang. Jepang telah menginvestasikan pengaruh ideologis yang tidak kecil dalam tubuh Republik Indonesia. Soekarno, presiden pertama, mungkin tak akan bisa memproklamasikan kemerdekaan bersama Hatta tanpa dukungan Jepang.
Berbeda dengan Belanda yang mengisap kekayaan Indonesia jauh sebelum kemerdekaan, Jepang justru mengisapnya pascakemerdekaan dan setelah kejatuhan Soekarno. Setelah peristiwa 1965 dan Soeharto menggulingkan Soekarno, Jepang adalah negara yang menguras kekayaan alam Indonesia. Kedatangan Jokowi ke Jepang belum lama ini pastilah berhubungan dengan kebutuhan Jokowi yang besar untuk melipatgandakan masuknya investasi ke Indonesia.
Dalam debat cawapres 22 Desember lalu, terlihat dengan jelas bagaimana Gibran tampil merepresentasikan bapaknya dalam upaya mengejar pertumbuhan ekonomi. Namun, yang mengecewakan, pun kedua cawapres lainnya, adalah menunjukkan sikap yang sama. Sikap dimaksud, yakni pertumbuhan ekonomi tinggi dan ekstraksi sumber daya alam sebagai satu-satunya strategi untuk menyejahterakan rakyat. Ekonomi kerakyatan yang menjadi tema debat justru tidak tersentuh, dan akan selamanya menjadi pajangan siapa pun nanti jadi presiden.
Saya membayangkan para oligark itu tersenyum menyeringai melihat lagak para paslon itu berdebat, saling sindir, berlagak pintar, berlagak bersih. Namun, tak seorang pun dari mereka yang perlu ditakutkan atau bakal menggoyahkan dominasinya.
Melihat gelagatnya – dengan semua sumber daya politik dan kultural yang dimilikinya – Jokowi akan berbuat sekuat tenaga untuk memenangkan Prabowo-Gibran dalam satu putaran. Artinya, pada 14 Februari 2024, quick count dari semua lembaga survei yang selama ini mendapatkan dana survei dari tim pemenangan Prabowo-Gibran akan seia sekata memperlihatkan perolehan suara Prabowo-Gibran di atas 51%.
Pertanyaannya, mungkinkah itu terjadi?
Secara teoretis, itu hanya mungkin jika mayoritas pemilih memang benar-benar telah tersihir oleh daya pikat, daya tipu, daya beli, dan daya paksa yang dimiliki Jokowi.