Angka kekerasan seksual di Lampung memperlihatkan peningkatan. Perlu pendirian dan ketegasan guna memutus rantai kekerasan seksual. Sikap yang limbung, kurang responsifnya otoritas, serta lambannya penanganan kasus justru melanggengkan kejahatan yang merendahkan harkat dan martabat manusia itu.
Satu pekan setelah memberitakan diskusi kekerasan seksual, Unit Kegiatan Penerbitan Mahasiswa (UKPM) Teknokra Universitas Lampung (Unila) merilis poster soal pemecatan kedua petingginya di akun Instagram @teknokraunila, Sabtu, 23 September 2023. Mereka adalah Pemimpin Umum Teknokra Syendi Arjuna dan Pemimpin Redaksi Arif Sanjaya.
Dalam posting-an itu, keduanya diberhentikan secara tidak hormat karena melanggar Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) Teknokra. Arif dipecat setelah melakukan kekerasan seksual terhadap salah satu kru Teknokra. Perbuatan Arif melanggar Petunjuk Teknis Bab 2 Pasal 6 ayat (1) butir H. Beleid itu berbunyi, kedudukan sebagai pengurus berhenti karena melakukan pelecehan seksual sesuai Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Adapun Syendi diberhentikan karena indikasi penyimpangan atas otoritas pemimpin umum. Penyimpangan dimaksud, yakni tak menegakkan AD/ART dan tidak memprioritaskan hak-hak penyintas. Sebab, ketika penyintas melaporkan peristiwa kekerasan seksual, Syendi tak mengambil tindakan terhadap pelaku sesuai AD/ART. Padahal, saat itu, ia pemegang otoritas tertinggi Teknokra.
Posting-an Teknokra pun menuai apresiasi dari pengguna media sosial. Dalam beberapa jam, kiriman itu disukai lebih dari 430 akun. Banyak yang menilai Teknokra sudah tepat dan tegas dalam bersikap. Kolom komentar juga dipenuhi dukungan terhadap penyintas dan pengusutan kasusnya. Akan tetapi, pemberitahuan terbuka itu dihapus pada 5 Oktober 2023.
Penyintas kekerasan seksual bingung, mengapa posting-an tersebut ditarik kembali. Ia mendapat informasi bahwa pemecatan kedua petinggi Teknokra tidak sesuai prosedur. Pada lain sisi, penyintas mendengar ada beberapa pihak berpendapat bahwa pengumuman itu sebaiknya tidak di-takedown.
“Saya sempat bingung mengapa ada dua argumen itu, saya ini ikut yang mana? Bahkan, saya bingung juga mana yang benar,” kata penyintas, Senin, 16 Oktober 2023.
Di tengah kebingungan tersebut, penyintas memilih fokus pemulihan diri melalui psikolog. Biaya pemulihan psikis ditanggung oleh Teknokra.
Hasil konsultasi dengan psikolog, penyintas perlu dukungan dan pendampingan, terutama dari kawan-kawannya. Kemudian, menjauhkan penyintas dari stigma serta menutup semua akses terhadap pelaku.
Psikolog juga bilang, penyintas menoleransi perbuatan pelaku karena masih menganggap kakak tingkat. Meski secara fisik terlihat biasa, tetapi sebenarnya penyintas mengalami depresi.
Sebelum menemui psikolog, penyintas didampingi anggota Teknokra lebih dahulu konseling ke Perkumpulan Damar. Pihak Damar menyampaikan konsekuensi yang akan dihadapi penyintas bila menempuh proses hukum.
“Kami memberikan informasi dengan menjelaskan layanan yang ada, termasuk konsekuensi atas setiap pilihan yang akan diambil. Sehingga, penyintas yakin atas pilihannya,” kata Direktur Eksekutif Perkumpulan Damar Eka Tiara Chandrananda.
Ketika konseling, penyintas banyak pertimbangan. Ia belum begitu paham, sehingga mencari lembaga lain untuk pembanding.
Akhirnya, penyintas meminta pendampingan kepada Unit Pelayanan Teknis Daerah (UPTD) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Provinsi Lampung. Keputusan itu setelah berdiskusi dengan pihak keluarga. Penyintas dan keluarga pun melaporkan kasus tersebut ke Polda Lampung, 9 Oktober lalu.
“Saya sangat senang, baik publik maupun lembaga lain, mendukung pengusutan kasus ini hingga pelaku mendapat hukuman setimpal. Begitu juga dengan hak-hak saya sebagai penyintas. Kalau boleh, kawan-kawan mendesak kepolisian agar kasus ini cepat ditangani,” kata penyintas.
Mengenai takedown posting-an, pihak Teknokra menyatakan bahwa poster tersebut adalah pengumuman pemecatan, bukan bentuk ketidakberpihakan kepada penyintas. Teknokra menilai pemberhentian Arif dan Syendi tak prosedural. Atas dasar itu, pengurus mengambil langkah sesuai mekanisme organisasi.
“Penghapusan posting-an murni karena alasan keorganisasian, bukan perubahan sikap Teknokra dalam menanggapi kasus kekerasan seksual. Hak publik jika menilai penghapusan posting-an itu bentuk lunturnya independensi Teknokra. Tetapi, kami berupaya menangani masalah ini sesuai prosedur,” ujar Revina Azzahra, Pemimpin Umum Teknokra yang baru.
Revina bilang, sejak awal, pihaknya mendampingi penyintas. Mereka mengambil tindakan dengan mengantarkan penyintas ke lembaga-lembaga yang dapat memberikan advokasi. Pihaknya juga memberi dukungan pemulihan psikis penyintas.
“Kami mendukung dan mengawal penyintas untuk menindaklanjuti kasus ini ke ranah hukum. Seperti yang saya sampaikan tadi, kami siap menjadi saksi,” kata Revina.
Pada 16 Oktober, akun @teknokraunila mem-posting pemecatan Arif. Ia diberhentikan secara tidak hormat dari posisi Pemimpin Redaksi Daring dan keanggotaan Teknokra. Surat pemecatan Arif diteken Syendi sebagai Pemimpin Umum Teknokra.
Adapun nasib Syendi tak sama dengan Arif. Semula, Syendi dipecat secara tak hormat karena tidak menegakkan AD/ART atas kasus kekerasan seksual di lingkungan Teknokra. Dalam musyawarah luar biasa, ia hanya didemisionerkan sebagai pemimpin umum.
Selain dari Teknokra, Arif pun didepak dari keanggotaan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung. Jurnalis mahasiswa itu telah diberhentikan pada 23 September 2023. Pengurus menilai perbuatan Arif melanggar anggaran rumah tangga AJI yang melarang anggotanya terlibat dalam tindak kejahatan, termasuk kekerasan seksual.
Arif secara terbuka mengakui perbuatannya. Lewat blog pribadi, anak muda yang menyebut dirinya banyak belajar isu gender dan perlindungan seksual itu meminta maaf kepada penyintas dan publik.
“Saya mengakui kesalahan dan sepenuhnya bertanggung jawab. Saya juga sudah meminta maaf kepada penyintas secara langsung,” kata Arif.
Sementara itu, Syendi menolak bicara. Ditemui di Unila, ia enggan memberi tanggapan ihwal dirinya tidak menegakkan aturan organisasi dalam kasus kekerasan seksual.
Adapun pihak Unila telah menerima laporan Teknokra soal kekerasan seksual. Namun, sejauh ini, pihak kampus belum meminta keterangan penyintas. Pelaku pun belum menerima sanksi.
“Ibu Ana (Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan dan Alumni) sudah beri tahu, tapi kami tidak bisa ambil tindakan karena korbannya tak melapor,” kata Candra Perbawati, Ketua Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) Unila.
Wakil Direktur I Pascasarjana Unila itu menyatakan, setiap ada kasus kekerasan, mekanisme yang mesti ditempuh adalah membuat pengaduan online. Setelah itu, barulah Satgas PPKS menindaklanjuti.
“Jika tak ada laporan, saya anggap tidak ada kasus,” ujarnya.
Candra tak memungkiri bahwa banyak kasus kekerasan seksual di Unila. Setidaknya, tercatat puluhan laporan. Namun, tiada satu pun yang diproses secara hukum. Padahal, Pasal 11 Permendikbud Ristek 30/2021 mengatur soal bantuan hukum untuk penyintas dan saksi.
“Ada (kasus) yang sudah diselesaikan di dekanat, ada yang diselesaikan di fakultas. Jadi, sudah selesai,” kata Candra.
Limbung Sikap
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung Sumaindra Jarwadi menyatakan, perlu ketegasan dan pendirian dalam menyikapi kasus kekerasan seksual. Sebab, kekerasan seksual merupakan bentuk kejahatan yang merendahkan harkat dan martabat manusia. Karena itu, keberpihakan seyogianya diberikan kepada penyintas.
“Banyak contohnya, jika kekerasan seksual terjadi dalam sebuah organisasi/lembaga/ perguruan tinggi, mereka cenderung enggan bersikap. Biasanya, hal itu demi menjaga nama baik lembaga. Padahal, muruah lembaga justru hancur kalau menutupi kasus tersebut,” kata Indra – panggilan Sumaindra.
Namun demikian, tidak semua lembaga/organisasi bersikap demikian. Beberapa lembaga memperlihatkan sikap yang tegas dan terbuka.
Kelimbungan dalam bersikap itu, menurut Indra, menjadi salah satu faktor mengapa kasus kekerasan seksual terus langgeng. Sebab, tak ada sanksi sosial dan moral terhadap pelaku. Dalam beberapa kasus, justru korban yang dieksploitasi.
“Maka, penting mengubah cara pandang dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Ketika ada kasus, yang penting dilakukan adalah bersikap dengan cara mendukung penyintas, terlepas benar atau tidaknya kasus tersebut. Setidaknya, menaruh keberpihakan sejak awal. Sebab, tak mudah bagi penyintas untuk bercerita soal kekerasan yang dialaminya,” ujar Indra.
Selain itu, Indra juga menyoroti penegakan hukum atas kasus kekerasan seksual. Sebab, hal itu turut menyumbang tingginya angka kejahatan tersebut. Dalam banyak kasus, penanganan perkara kekerasan seksual terkesan lamban.
Ia mencontohkan, selain di Unila, beberapa waktu lalu, kekerasan seksual juga terjadi di salah satu perguruan tinggi di Lampung. Rentang Maret hingga April, seorang dosen Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI Bandar Lampung melecehkan mahasiswinya beberapa kali.
Sang dosen pun mengintimidasi penyintas terkait perkuliahan. Penyintas baru berani bersuara setelah mendapat dukungan dari teman-temannya. Pelecehan seksual itu membuat penyintas trauma mendalam. Ia akhirnya memutuskan pulang ke rumahnya di Tulangbawang Barat, dan tak melanjutkan kuliah.
Kasus tersebut telah dilaporkan ke Polda Lampung dengan surat laporan LP/B/328/VIII/2023/SPKT/POLDA LAMPUNG pada 4 Agustus 2023, pukul 19.43 WIB. Namun, hingga kini, kepolisian belum menetapkan tersangka.
“Jika penegakan hukum yang terkesan tak serius itu berlanjut, maka kasus kekerasan serupa akan terus berulang dan sulit ditangani,” kata Indra.
Darurat Kekerasan Seksual
Kekhawatiran Indra bukan tanpa alasan. Data Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Lampung, selama 2019 sampai Agustus 2023, kasus kekerasan-pelecehan seksual terhadap perempuan dan anak di Lampung mencapai 2.556 kasus dengan total korban 2.862 orang.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.482 kasus terindentifikasi sebagai kasus kekerasan seksual. Sisanya, 762 kasus berupa kekerasan fisik, 713 kasus kekerasan psikis, 31 kasus ekslploitasi, 127 kasus human trafficking, 69 kasus penelantaran, dan 192 kasus lainnya. Kebanyakan korban masuk kategori usia anak, yakni 2.164 orang.
Kasus kekerasan itu pun memperlihatkan peningkatan setiap tahun. Bahkan, sejak 2019 sampai 2021, kenaikan kasus nyaris 100%, yaitu dari 386 kasus menjadi 681 kasus.
Kekerasan tersebut tersebar di 15 kabupaten/kota di Lampung. Perinciannya, Kota Bandar Lampung sebanyak 623 kasus, Lampung Selatan 346 kasus, Tanggamus 207 kasus, Pesawaran 174 kasus. Selanjutnya, Tulangbawang Barat 165 kasus, Lampung Timur 162 kasus, Tulangbawang 135 kasus, Way Kanan 141 kasus, Pringsewu 102 kasus. Kemudian, Kota Metro 87 kasus, Lampung Barat 82 kasus, Lampung Utara 108 kasus, Lampung Tengah 136 kasus, Pesisir Barat 56 kasus, dan Mesuji 32 kasus.
“Melihat fakta itu, saat ini Lampung bisa disebut darurat kekerasan seksual. Karena itu, penting bagi semua pihak untuk sama-sama berkomitmen memutus rantai kekerasan tersebut,” ujar Indra.
Ia mengingatkan satu hal yang tak boleh luput dalam penanganan kasus kekerasan seksual, yaitu pemulihan dan pemenuhan hak-hak penyintas. Semua pihak yang berwenang wajib memenuhi dan melindungi hak penyintas sesuai prinsip keadilan dan kesetaraan gender. Misalnya, pemulihan fisik dan psikis, pendampingan dan bantuan hukum, dan lain sebagainya. Sebab, penyintas kekerasan seksual kerap menerima beban berlipat.
Dalam UU 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, pengaturan tindak pidana kekerasan seksual didasarkan pada asas-asas, antara lain keadilan dan kepastian hukum. Sedangkan bentuk-bentuk kekerasan seksual meliputi pelecehan seksual nonfisik; pelecehan seksual fisik; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan sterilisasi; dan pemaksaan perkawinan. Kemudian, penyiksaan seksual; eksploitasi seksual; perbudakan seksual; dan kekerasan seksual berbasis elektronik.
Komnas Perempuan memberi pengertian pelecehan seksual berupa tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun nonfisik dengan sasaran organ seksual atau seksualitas korban. Ia termasuk menggunakan siulan, main mata, ucapan bernuansa seksual, mempertunjukan materi pornografi dan keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh, gerakan atau isyarat yang bersifat seksual. Sehingga, mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan martabatnya, dan mungkin sampai menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan.(*)
Laporan Derri Nugraha