Pengesahan UU Cipta Kerja membawa implikasi. Perubahan banyak hal terkait lingkungan akan melahirkan dampak negatif. Keberlanjutan lingkungan hidup pun makin terpinggirkan.
Budiman Oenyi dkk | Mahasiswa Magister Ilmu Lingkungan Universitas Lampung
Sejak diwacanakan, UU Cipta Kerja menuai penolakan. Bagaimana tidak, prosesnya berlangsung cepat, tertutup, dan minim partisipasi publik. Berbagai bentuk protes masyarakat pun tak menyurutkan langkah pemerintah-DPR untuk mengesahkan beleid itu.
Dikenal sebagai Omnibus Law, UU Cipta Kerja mengatur banyak hal. Mulai dari tenaga kerja, kehutanan, tata ruang, hingga yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Hal ini beririsan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Ditilik dari proses, perjalanan UU Cipta Kerja penuh dinamika. Riwayatnya mulai dari pengesahan UU 11/2020, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91 Tahun 2021, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2022 sampai dengan pengesahan UU 2/2023. Sejumlah kalangan menilai pengesahan Perpu Cipta Kerja bentuk pembangkangan terhadap konstitusi.
Secara substansial, tak ada perubahan signifikan dalam UU 11/2020, Perpu 2/2022, dan UU 2/2023. Banyak pasal memiliki makna yang sama. Khusus aspek lingkungan hidup, terjadi perubahan dalam Pasal 24 dan Pasal 25 UU 32/2009. Perubahan dimaksud pelemahan terhadap terminologi analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal).
Dalam UU 32/2009, Amdal menjadi dasar penetapan keputusan kelayakan lingkungan hidup. Sedangkan UU Cipta Kerja mengatur Amdal sebagai dasar uji kelayakan lingkungan hidup. Adapun tim uji kelayakan terbatas pada pemerintah pusat, daerah, dan ahli bersertifikat.
Kemudian, dalam Pasal 25 terdapat pembatasan hak masyarakat dalam penyusunan Amdal, yakni hanya masyarakat yang terdampak langsung. Kemudian, Pasal 26 menghapus ketentuan untuk mengajukan keberatan terhadap informasi dokumen Amdal dari masyarakat terdampak, pemerhati lingkungan hidup, atau siapa pun yang terpengaruh atas segala keputusan dalam proses Amdal. Begitu juga dengan izin lingkungan yang bersifat final dan tidak dapat digugat oleh masyarakat terdampak.
Ihwal lingkungan hidup, perubahan Pasal 88 UU 32/2009 juga menuai kritik. Pasal tersebut menghilangkan prinsip strict liability (tanggung jawab mutlak). Sebelumnya, prinsip strict liability diberlakukan pada kasus kerusakan lingkungan hidup akibat limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Prinsip ini menyatakan bahwa pihak yang menghasilkan limbah B3 bertanggung jawab secara mutlak atas segala dampak negatif yang ditimbulkan tanpa harus dibuktikan terlebih dahulu oleh pihak lain. Namun, dengan hilangnya prinsip tersebut, masyarakat harus membuktikan terlebih dahulu jika menemukan kerusakan lingkungan hidup akibat limbah B3.
Tantangan keberlanjutan lingkungan hidup lainnya yang diatur dalam UU Cipta Kerja terkait dengan perubahan Pasal 18 UU 41/1999 tentang Kehutanan. Perubahan dimaksud menghapus ketentuan minimal luas kawasan hutan 30% dari daerah aliran sungai. Padahal, pasal ini menjadi benteng perlindungan terhadap keberlanjutan lingkungan hidup. Dengan tersedianya kawasan hutan minimal 30% tentunya akan menjaga keseimbangan lingkungan, baik melalui penyediaan oksigen, penyerapan emisi, cadangan karbon maupun sumber daya air.
Salah satu permasalahan yang timbul dalam konteks Amdal adalah partisipasi dari berbagai pihak. Kemudian, perubahan dari Komisi Penilai Amdal menjadi Tim Uji Kelayakan Lingkungan.
Dalam UU 32/2009, Komisi Penilai AMDAL terdiri dari berbagai unsur. Mereka antara lain instansi lingkungan hidup, instansi teknis terkait, pakar di bidang pengetahuan terkait jenis usaha atau kegiatan yang sedang dikaji, pakar di bidang pengetahuan terkait dengan dampak yang mungkin timbul, wakil dari masyarakat yang berpotensi terkena dampak, dan organisasi lingkungan hidup. Namun, setelah adanya perubahan melalui UU Cipta Kerja, Tim Uji Kelayakan Lingkungan hanya terdiri dari unsur pemerintah pusat, pemerintah daerah, pakar bersertifikat yang kompeten di bidangnya, dan masyarakat yang terkena dampak langsung.
Perubahan ini membatasi peran serta masyarakat untuk menyampaikan pendapat dan pandangannya terhadap suatu rencana usaha dan/atau kegiatan. Kondisi ini tak menguntungkan, mengingat masyarakat di Indonesia masih banyak yang kalah secara kekuatan politik, serta lemah dalam akses pengetahuan dan hukum.
Penghilangan unsur organisasi lingkungan hidup dalam Tim Uji Kelayakan Lingkungan Hidup akan memengaruhi penyusunan Amdal dan penerbitan persetujuan lingkungan hidup. Sebab, selama ini, organisasi lingkungan hidup berperan dalam menyampaikan saran, masukan, dan pendapat. Pada akhirnya, partisipasi yang merupakan aspek penting dalam menciptakan good governance mengalami kemunduran.
Salah satu tujuan pengesahan UU Cipta Kerja adalah mempermudah dan menyederhanakan regulasi berbagai sektor, seperti investasi, perizinan tanah, ketenagakerjaan, perlindungan UMKM, kemudahan berusaha, dukungan riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengendalian lahan, kemudahan proyek pemerintah, dan Kawasan Ekonomi Khusus. Meskipun upaya penyederhanaan ini memberi kemudahan bagi investor dan pelaku usaha, namun berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, baik secara langsung maupun tidak.
Selain itu, dapat menimbulkan degradasi secara masif. Pasalnya, ruang pengawasan makin sempit. Atas nama pembangunan dan investasi, keberadaan UU Cipta Kerja berpotensi mengabaikan keberlanjutan lingkungan hidup.(*)