Malari adalah perlawanan yang gagal. Meski gagal, aksi protes itu merupakan gerakan politik yang penting. Ia sebuah perlawanan yang mempersoalkan sesuatu mendasar, yakni kedaulatan bangsa.
Riwanto Tirtosudarmo | Bekerja di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sejak 1980-2017 | Kini Peneliti Independen
Malari, kata ini mungkin diciptakan oleh Ali Murtopo atau orang-orang sejenisnya. Pada peralihan politik yang penuh guncangan pada paruh pertama tahun 60-an itu, muncul kata-kata seperti Gestapu dan Manikebu. Sebuah kepandaian menciptakan istilah yang mudah ditangkap konotasi negatifnya.
Malari yang terdengar seperti malaria – sebuah penyakit – adalah peristiwa politik pada 15 Januari 1974. Peristiwa ini sebuah perlawanan yang gagal. Perlawanan terhadap pemerintah Orde Baru yang baru seumur jagung. Perlawanan mahasiswa dan kaum intelektual ini juga menunjukkan berakhirnya bulan madu kekuatan-kekuatan yang sama-sama menumbangkan Bung Karno pada 1966.
Selain mahasiswa, keterlibatan banyak tokoh menunjukkan aksi protes ini sebuah gerakan politik yang penting. Mungkin gerakan politik yang terpenting dalam upaya mengubah keadaan setelah 1970 hingga sekarang. Kendati gagal, perlawanan ini penting karena merupakan gerakan politik yang mempersoalkan sesuatu mendasar, yaitu kedaulatan bangsa. Perlawanan terhadap penjajahan (kolonisasi) dalam bentuknya yang baru. Penjajah yang tidak lagi perlu melakukan kolonisasi wilayah. Sebuah tema yang sebelumnya gencar dilancarkan oleh Bung Karno.
Salah satu kritik dari gerakan politik menjelang Malari adalah dominasi modal Jepang dalam ekonomi Indonesia. Gerakan politik ini terbukti gagal dan sejak itu Orde Baru praktis tak pernah menghadapi perlawanan yang berarti. Lengsernya Soeharto pada 21 Mei 1998 setelah 32 tahun berkuasa yang banyak dianggap sebagai tumbangnya Orde Baru terbukti keliru. Seperti Rahwana, Orde Baru dengan mudah bisa bersalin rupa, tetapi isinya tetap Orde Baru. Mochtar Pabottingi almarhum menggunakan istilah “Bablasan Orde-Baru” untuk menyebut rezim-rezim pasca-Orde Baru.
Hariman Siregar, Ketua Dewan Mahasiswa UI, telah melewati masa sulit karena menjadi orang yang dianggap paling bertanggung jawab dari demontrasi mahasiswa yang berujung pembakaran beberapa pusat pertokoan, terutama Pasar Senen. Kebakaran dan kerusuhan yang dilakukan oleh orang-orang Ali Murtopo, tangan kanan Soeharto, yang diberi kewenangan untuk melakukan operasi khusus (Opsus). Ali Moertopo telah bekerja sama dengan Soeharto sejak operasi Mandala merebut Irian Barat, dan otak dibalik manipulasi pemenangan Pepera di Papua pada 1969.
Ali Moertopo juga yang menjadi arsitek dileburnya partai-partai politik menjadi tiga: PPP, PDI dan Golkar; sebagai strategi untuk menunjukkan masih ada yang namanya demokrasi dalam Orde Baru, sebuah gimmicks untuk tetap bisa diterima sebagai klien dari negara-negara barat. Pada masa inilah kedaulatan rakyat dipangkas habis melalui depolitisasi yang dikenal sebagai politik massa mengambang.
Sebelum Malari, gerakan protes terhadap pemerintahan baru di bawah Soeharto sudah mulai muncul, di mana Arif Budiman dan kawan-kawannya, seperti Yulius Usman, Marsilam Simanjuntak, Julius Usman, dan Yopy Lasut, terlibat. Misalnya, dalam Komite Antikorupsi (KAK), TMII, dan Golput. Protes-protes ini umumnya mengkritik kebijakan dalam negeri Soeharto yang dianggap melenceng dari Kredo Tritura Angkatan 66 yang ikut membantu Soeharto menumbangkan Soekarno.
Jakarta saat itu dipimpin Ali Sadikin, gubernur visioner, membangun Taman Ismail Marzuki di mana berbagai bentuk kesenian ditampilkan dengan bebas. Awal tahun 1970-an itu juga ditandai dengan terbitnya Majalah Tempo yang dipimpin oleh oleh Goenawan Mohamad dan Fikri Jufri dan kawan-kawannya yang juga ikut andil dalam menentang Bung Karno melalui Manifesto Kebudayaan (Manikebu). Pada saat yang sama berdiri Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) oleh Nono Anwar Makarim, Dawam Raharjo yang di antara kegiatannya menerbitkan Jurnal Prisma.
Jika ada yang perlu diingat dari Malari untuk masa kini barangkali adalah pesan utamanya tentang kedaulatan bangsa Indonesia yang harus dijaga dari dominasi kepentingan negara lain. Sebuah pesan yang berkali-kali digelorakan oleh Bung Karno tentang nekolim, neokolonialime dan imperialisme.
Selain Hariman Siregar, Syahrir (Ciil) dan Aini Chalid dari Universitas Gadjah Mada (UGM); yang diajukan ke pengadilan, setidaknya ada dua akademisi-intelektual muda yang ikut diinterogasi, yaitu Juwono Sudarsono, seorang ilmuwan dpolitik, dan Dorojatun Kuntjorojakti, seorang ahli ekonomi. Keduanya merupakan dosen di Universitas Indonesia (UI). Mereka juga mentor sebuah kelompok diskusi yang bernama Grup Diskusi Universitas Indonesia (GDUI).
GDUI adalah sebuah kelompok yang memiliki keanggotaan terbatas dan secara rutin melakukan diskusi secara kritis tentang masalah-masalah sosial-politik. Kemenangan Hariman Siregar sebagai Ketua Dewan Mahasiswa UI memberikan kesempatan pada GDUI untuk mendorong dilakukannya road show diskusi dari satu fakultas ke fakultas lain yang berujung pada kesepakatan untuk membuat pernyataan keprihatinan tentang situasi politik sekaligus memperingati Sumpah Pemuda 28 Oktober 1973. Malari terjadi hanya tiga bulan setelah petisi itu.
Teks lengkap Petisi Keprihatinan adalah sebagai berikut:
Kami, pemuda-pemudi Indonesia, milik dan pemilik nusa dan bangsa tercinta, dari tempat terbaringnya kusuma-kusuma bangsa yang telah memberikan milik mereka yang paling berharga bagi kemerdekaan dan kekayaan bangsa Indonesia menyatakan kecemasan kami atas kecenderungan keadaan yang menjurus pada keadaan yang makin jauh dari apa yang menjadi harapan dan cita- cita seluruh bangsa. Bahwa dengan kesadaran penuh akan tanggung jawab di hari depan, yang keadaannya akan ditentukan oleh masa kini, di mana kami, sebagian daripadanya, merasa berkewajiban mengingatkan pemerintah, militer, intelektual, teknokrat, politisi untuk hal-hal sebagai berikut:
- Meninjau kembali strategi pembangunan dan menyusun suatu strategi yang di dalamnya terdapat keseimbangan di bidang-bidang sosial, politik, dan ekonomi yang antikemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan;
- Segera membebaskan rakyat dari cekaman ketidakpastian dan pemerkosaan hukum, merajalelanya korupsi dan penyelewengan kekuasaan, kenaikan harga, dan pengangguran;
- Lembaga-lembaga penyalur pendapat rakyat harus kuat dan berfungsi serta pendapat masyarakat luas mendapatkan kesempatan dan tempat yang seluas-luasnya;
- Yang paling berkepentingan akan masa depan adalah kami. Oleh karena itu, penentuan masa depan yang tidak terlepas dari keadaan kini adalah juga hak dan kewajiban kami. Kiranya Tuhan yang Maha Esa menyertai perjalanan Bangsa Indonesia.
Kalibata, Peringatan Sumpah Pemuda tahun 1973.
Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia
Dilihat dari konteks diskursus politik saat itu, teori ketergantungan (dependency theory) yang digagas oleh Paul Baran, seorang ahli ekonomi yang beraliran Marxis, sedang bergaung di dunia akademik. Malari adalah sebuah gerakan politik yang menginginkan Indonesia tidak menjadi negara komprador bagi kepentingan negara lain. Indonesia awal tahun 1970-an terlihat nyata dengan banjirnya produk Jepang dan investasi modal Jepang. Sebelum Malari, protes mahasiswa sudah terlihat ketika menyambut kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakue Tanaka di bandara. Saat itu, perwakilan mahasiswa tanpa diduga berhasil memberikan bunga kepada Tanaka.
Indonesia awal tahun 1970-an merupakan era eksperimen sosial-politik yang menarik. Soeharto yang menggantikan Soekarno dengan dukungan barat dengan Widjojo Nitisastro sebagai arsitek ekonomi segera berpaling ke barat untuk mendapatkan bantuan ekonomi. Disertasi Jeffrey A. Winters di Yale University yang kemudian dibukukan Power in Motion: Capital Mobility and the Indonesian State (Cornell University Press, 1996) menggambarkan dengan rinci bagaimana proses Indonesia masuk dalam pelukan kapitalisme barat. Winters yang saat ini menjadi profesor ilmu politik di Northwestern University dalam buku menggambarkan bagaimana delegasi Indonesia yang dipimpin oleh Sultan Hamengkubuwono IX bertemu dengan para CEO perusahaan-perusuhaan multinasional di Eropa untuk menarik investasi. Dalam buku itu juga menarik bagaimana proses pembuatan Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UUPMA tahun 1967 yang dipimpin Selo Sumarjan, sekretaris pribadi Sultan.
Almarhum Gunawan Wiradi bercerita kalau pada zaman Soekarno tidak ada sebatang pohon pun ditebang. Sejak Orde Baru, selain minyak, kayu merupakan kekayaan alam yang terus dijual hingga sekarang. Setelah Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi; barangkali sekarang tinggal Papua yang masih memiliki kayu. Tapi, kita tahu, ini hanya soal waktu. Sebentar lagi, Papua akan gundul. Selain minyak dan kayu, kekayaan alam yang lain akan terkuras habis; batu bara, tembaga, emas, nikel. Jika hutan gundul, kita tahu keanekaragaman hayati yang hidup dalam ekosistem juga punah. Begitu juga dengan kekayaan laut kita; terkuras keluar, belum memberi kemakmuran bagi mayoritas bangsa Indonesia.
Mengingat Malari sesungguhnya mengingat anak-anak muda yang menyadari akan ancaman yang bakal dihadapi bangsanya; sebuah kecemasan yang diungkapkan dalam keprihatinan yang jujur, meskipun semua itu harus diakui gagal dalam membendung pelbagai kerusakan lingkungan dan ketimpangan sosial yang kemudian terjadi.
Belum lama ini, secara kebetulan saya membuka YouTube yang berisi wawancara Gita Wiryawan dengan Jeffrey A. Winters (Indonesia’s Path through Uncertain Future – 10 February 2021). Dari wawancara yang cukup mengulas sejarah dan masa depan Indonesia itu ada bagian yang menarik. Bagian yang menarik itu adalah pengamatan Winters bahwa Indonesia kurang terbuka dengan dunia luar. Berbeda dengan Vietnam, misalnya, yang tidak memiliki rasa takut terhadap dunia luar.
Meskipun saya tidak sepenuhnya setuju dengan pendapat Winters, namun pengamatannya perlu disimak. Seperti ada semacam paradoks di sini, Indonesia yang proses membuka dirinya terhadap dunia luar sejak 1967 dikupas dengan rinci oleh Winters; ternyata terbukti saat ini kalah dengan Vietnam yang lebih belakangan membuka diri. Yang buat saya lebih meresahkan adalah sudah begitu banyak kekayaan alam yang terkuras habis, tapi siapa yang diuntungkan? Yang pasti bukan mayoritas bangsa Indonesia.
Malari, lima puluh satu tahun yang lalu, telah mengingatkan bencana itu.(*)