Program makan siang gratis bersifat sesaat karena bukan kebijakan yang struktural. Program charity itu seyogianya tak menjadi pilihan jika negara ini setia pada cita-cita awal kemerdekaan, yakni menegakkan keadilan sosial.
Riwanto Tirtosudarmo | Bekerja di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sejak 1980-2017 | Kini Peneliti Independen
Dimulainya program makan siang gratis pada 6 Januari lalu menandai secara resmi gagalnya negara yang didirikan dengan cita-cita menghadirkan keadilan sosial bagi rakyatnya. Makan siang gratis, seperti program bantuan sosial dan berbagai subsidi yang dijelaskan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani menanggapi simpang siur kenaikan pajak menjadi 12 persen adalah program-program safety net, yang sejatinya adalah program caritas.
Caritas atau charity adalah kegiatan yang biasanya dilakukan oleh lembaga-lembaga filantropi atau lembaga-lembaga keagamaan (faith-based organisation); tujuannya untuk menolong mereka yang miskin dan berkekurangan. Lembaga-lembaga caritas ini ada di mana-mana, namun biasanya tumbuh besar di negara-negara yang menganut kapitalisme.
Kapitalisme yang sering beriring dengan liberalisme, seperti di Amerika Serikat, mendorong individu untuk bebas bersaing, antara lain untuk menjadi kaya raya. Mereka yang miskin dan tidak mampu bersaing diberi berbagai santunan (social security) oleh negara. Namun, biasanya masih banyak yang belum terjangkau, sehingga membuka peluang bagi berkembangnya lembaga-lembaga caritas. Di negara industri yang kapitalistis, berbagai yayasan (foundation) dibentuk oleh korporasi-korporasi besar untuk menyalurkan santunan untuk masyarakat, semacam Corporate Social Responsibility (CSR).
Makan Siang Gratis yang digagas oleh pemerintahan Prabowo, meskipun terlihat bertujuan mulia karena akan menyantuni jutaan anak sekolah dan diharapkan bisa meningkatkan kesehatan dan asupan gizi anak-anak; hanya akan memberi dampak yang bersifat sesaat karena tidak menjadi pilihan kebijakan yang bersifat langgeng dan struktural. Sebagai santunan, seperti program bansos dan berbagai program subsidi lainnya; hanyalah program tempelan yang seharusnya tidak menjadi pilihan seandainya negara ini setia pada cita-cita awal mendirikan negara, yaitu menegakkan keadilan sosial. Dalam bentuk yang umumnya diketahui, wujud keadilan sosial adalah kebijakan yang menjamin adanya pemerataan pendapatan, tidak terjadinya akumulasi kapital hanya pada segelintir orang, sementara mayoritas warga negara berada dalam keadaan tidak berkecukupan.
Bukan rahasia lagi kalau negara ini sesungguhnya semakin dikendalikan para oligark, segelintir warga negara yang menguasai kapital dan mengendalikan korporasi-korporasi bisnis yang bisa mengatur undang-undang dan regulasi yang menguntungkan mereka. Dalam sepuluh tahun terakhir ini kita menyaksikan bagaimana berbagai perundangan diciptakan untuk memudahkan para investor asing menanamkan modalnya di Indonesia.
Kita juga menyaksikan bagaimana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dikebiri karena bisa menghambat para pejabat yang aktif dalam melancarkan program-program pembangunan di daerah kekuasaannya. Dalam payung Program Strategis Nasional (PSN), misalnya, kita menyaksikan proyek-proyek yang menggusur penduduk setempat, seperti terjadi di Pulau Rempang, Riau. Begitu juga dengan apa yang sekarang sedang ramai, Food Estate, memiliki karakter yang sama; menguntungkan segelintir orang dan merusak lingkungan.
Apa yang dilakukan pemerintah tidak berubah sejak awal Orde Baru, pembangunan nasional yang bertumpu pada paradigma pertumbuhan ekonomi. Ketika pembangunan sumber daya manusia gagal menunjang sektor industri, Indonesia hanya bisa menjual kekayaan alamnya. Sri Mulyani dalam acara peluncuran buku Widjojo Nitisastro beberapa tahun yang lalu di Hotel Darmawangsa, mengaku sebagai cucu-murid Widjojo.
Saya kira itu yang terjadi. Apa yang diawali oleh Widjojo Nitisastro, yaitu paradigma pembangunan yang menjadikan pertumbuhan sebagai panglima diteruskan oleh cucu-muridnya yang barangkali terpandai, hingga hari ini. Meskipun Widjojo menyebutkan apa yang saat itu disebut sebagai namanya Trilogi Pembangunan (Pertumbuhan, Stabilitas dan Pemerataan); hanya pertumbuhan dan stabilitas yang menjadi prioritas, sementara pemerataan praktis ditinggalkan. Setelah lebih dari setengah abad paradigma ini dijalankan, tingkat kesenjangan antara segelintir orang yang super kaya dan mayoritas warga bangsa semakin menganga; keadilan sosial memang sejak itu menghilang.
Bangsa Indonesia yang lahir dari revolusi kemerdekaan mengusir penjajah dilandasi oleh semangat keadilan sosial yang kuat. Indonesia lahir dengan cita-cita menentukan nasib sendiri (self-determination) dan menghapuskan penindasan satu bangsa atas bangsa lain. Dalam konteks ini, apa yang terjadi di Papua dan sebelumnya di Timor Timur telah bertentangan dengan semangat pendirian negara Indonesia yang lahir dengan niat menentang semua penindasan dan menjamin hak menentukan nasib sendiri bagi setiap bangsa.
Keadilan sosial adalah kredo para nasionalis pendiri republik ini yang menjadi pendorong utama perlawanan terhadap penjajahan. Saya kira, kita perlu membaca sejarah dengan lebih baik dan kritis untuk memahami betapa sentralnya ide keadilan sosial yang tak terpisahkan dari lahirnya republik ini.

Pada 2023, terbit buku yang ditulis oleh Lin Hongxuan, saat ini pengajar di National University of Singapore; semula merupakan disertasi doktornya di Jurusan Sejarah University of Washington, di Seattle, Amerika Serikat. Buku ini berjudul Ummah Yet Proletariat: Islam, Marxism, and the Making of the Indonesian Republic. Seperti teraba dari judulnya, buku ini melacak sejarah pergerakan politik umat Islam yang bertaut erat dengan Marxisme sejak awal abad 20 hingga Dekrit Presiden Soekarno tahun 1959.
Berbeda dengan buku-buku yang memusatkan diri pada PKI, seperti yang ditulis oleh Ruth McVey (The Rise of Indonesian Communism – Cornell University Press 1965) dan Rex Mortimer (Indonesian Communism Under Sukarno: Ideology and Politics, 1959-1965 – Cornell University Press 1974); buku ini dengan menggunakan bahan-bahan tertulis (print culture) seperti pamflet, koran, buku, jurnal, naskah pidato, memoir, novel, naskah drama dan kumpulan puisi; menunjukkan bervariasinya bentuk ekspresi politik lain yang memperlihatkan kuatnya hubungan antara Islam dan Marxisme yang ditemukan pada tokoh-tokoh pergerakan nasional Indonesia.

Dalam kaitan ini, sangat menarik membaca buku almarhum Mochtar Pabottingi (Nasionalisme dan Egalitarianisme di Indonesia, 1908-1980: Menelaah Masalah-Masalah Diskontinuitas dalam Diskursus dan Praktik Politik – Pustaka Obor, 2023) yang memilih istilah egalitarianisme, ketika menjelaskan tentang berbagai kelompok politik sebelum dan setelah kemerdekaan yang pada dasarnya semuanya bersifat nasionalis dan sosialis. Mochtar Pabottingi yang menerjemahkan sendiri disertasi yang diselesaikannya di Jurusan Ilmu Politik Universitas Hawaii tahun 1991 (Nationalism and Egalitarianism in Indonesia, 1908-1980) menunjukkan bahwa semangat egalitarianisme itu sesungguhnya tetap hidup meskipun mengalami tekanan, baik pada masa Soekarno maupun Soeharto.

Sebuah buku lain juga semula adalah disertasi (Media of Resistance: A Communication History of the Communist Movement in the Dutch Indies, 1920-1926) di Jurusan Komunikasi Universitas Colorado (2016) menunjukkan sentralnya ide kesetaraan, emansipasi dan keadilan sosial dari bangsa Indonesia di awal abad 20. Disertasi yang baru diterbitkan menjadi buku awal 2025 oleh Cornell University Press (Communication against Capital: Red Enlightenment at the Dawn of Indonesia) ditulis oleh Rianne Subijanto, sekarang pengajar di City University New York, menunjukkan strategi komunikasi dari orang-orang kebanyakan, melalui berbagai asosiasi politik, perkumpulan-perkumpulan, pamflet, surat kabar dan lain-lain; memperjuangkan kesetaraan dan emansipasi. Penulis buku ini memusatkan analisisnya hanya antara tahun 1920-1926 dan membuktikan bahwa ide pencerahan dari barat yang berpusat pada ilmu pengetahuan telah mampu dipakai oleh orang-orang Indonesia saat itu untuk melawan penindasan Belanda dan memperjuangkan kemerdekaan.
Melalui buku Lin Hongxuan, Mochtar Pabottingi, dan Rianne Subijanto; dan saya kira ada banyak buku lain yang serupa, kita bisa melihat betapa kuat sesungguhnya ide keadilan sosial sebagai pilar utama dari didirikannya republik ini. Prinsip keadilan sosial mulai ditinggalkan sejak awal Orde Baru dan kita melihat mulai matinya prinsip ini sekarang.
Hilang dan matinya prinsip keadilan sosial di negeri ini dimulai bersamaan dibunuhnya mereka yang dianggap beraliran kiri yang diasosiasikan oleh Orde Baru sebagai PKI dan Komunisme. Padahal, kalau membaca sejarah asosiasi kiri dan PKI tidak selamanya benar karena pergerakan nasional yang meliputi berbagai bentuk perkumpulan dan asosiasi politik pada awal abad ke-20 pada umumnya menganut prinsip yang sama, egalitarianisme, emansipasi dan keadilan sosial.
Naiknya Orde-Baru di bawah Jenderal Soeharto selain mulai dijadikannya pertumbuhan ekonomi sebagai panglima juga mulai diterapkannya apa yang dikenal sebagai massa mengambang yang tidak lain adalah depolitisasi massa demi stabilitas politik. Sejak saat itu hingga hari ini, Indonesia tumbuh dengan politik tanpa oposisi, kelas menengah yang lemah dan masyarakat sipil yang tidak punya akar di masyarakat.(*)