Sengkarutnya pengelolaan pelintasan kereta api turut menyumbang angka kecelakaan. Dalam kurun enam tahun, sebanyak 93 orang tewas setelah mengalami kecelakaan di lintasan kereta. Sebagai pemegang otoritas, regulator kebijakan lalai atas keselamatan warga.
Tembok kedai Putri bergetar ketika kereta api menabrak kendaraan penumpang di pelintasan sebidang, Jalan Bumi Manti II, Kampung Baru, Kecamatan Kedaton, Bandar Lampung, akhir Agustus lalu. Dari dalam warung, ia melihat kepulan debu. Putri tak berani keluar karena mengira ledakan bom. Suaminya yang kemudian bergegas keluar.
Sesampainya dekat rel, sang suami menyaksikan sebuah mobil terlanggar kereta api Ekspres Rajabasa. Sepur yang mengangkut penumpang dari Palembang menuju Lampung itu menyeret mobil sekitar 30 meter. Ada dua orang di dalam kendaraan tersebut, seorang lelaki dan perempuan. Keduanya tak sadarkan diri. Perempuan yang menyetir mobil terlihat luka berat. Melihat pemandangan itu, warga setempat segera mengevakuasi korban.
Esoknya, perempuan itu meninggal. Ia sempat mendapat perawatan intensif di ICU Rumah Sakit Advent. Adapun penumpang laki-laki tertolong.
Pihak kepolisian menyebut Honda Brio B 2607 SEJ yang ditumpangi kedua korban nekat menerobos palang jalan kereta api. Bahkan, polisi bilang palang sudah menutup.
Keterangan senada disampaikan PT KAI Divisi Regional (Divre) IV Tanjungkarang. Humas instansi itu menyatakan, penjaga pelintasan kereta telah memberi peringatan untuk berhenti. Namun, pengendara tetap menyeberang, sehingga terjadi kecelakaan.
Dalam rekaman CCTV yang diperoleh Konsentris, Honda Brio muncul dari arah utara, Jalan Bumi Manti III, Kampung Baru. Sewaktu melewati pelintasan sebidang, palang jalan kereta tak terlihat menutup. Sekitar empat sepeda motor masih lewat di pelintasan, sebelum beberapa detik kemudian mobil tertabrak. Tak lama, dua orang baru keluar dari dalam pos penjaga lintasan kereta api.
Pengamatan di lapangan, palang jalan kereta di Kampung Baru itu sudah lama rusak dan tak lengkap. Hanya ada satu palang dari arah Jalan Bumi Manti III, sementara palang dari arah Jalan Bumi Manti II tampak patah dan tidak berfungsi.
Ali (40), pedagang minuman di depan pelintasan, bilang bahwa palang jalan kereta yang patah tak kunjung diperbaiki. Padahal, lalu lintas kendaraan di lokasi itu terbilang padat. Kawasan tersebut merupakan perkampungan mahasiswa.
Ia juga bilang sering terjadi kecelakaan kereta api dan pengendara. Paling sering kecelakaan terjadi menjelang azan magrib. Waktu tersebut merupakan jadwal kereta api penumpang melintas.
“Harapannya, palang pintu ini bisa diperbaiki supaya semua aman dan enggak ada lagi kecelakaan. Sudah banyak korban, hampir tiap tahun (kecelakaan di pelintasan),” kata Ali.
Penjaga Jalan Lintasan (PJL) Jeki membenarkan pernyataan Ali. Salah satu palang pintu memang rusak sejak lama. Saat ini, yang bisa berfungsi hanya satu palang yang dioperasikan secara manual. Sebelumnya, terdapat sensor otomatis di pelintasan yang memberi tahu bahwa kereta akan melintas. Namun, alat tersebut sudah tidak berfungsi. Jadi, komunikasi menggunakan handy talkie (HT).
“Belum ada perbaikan, yang penting kami sudah laporan,” ujar Jeki.
***
Mendengar suara dari handy talkie, Sudarminto bergegas mengambil peluit dan bendera merah. Suara itu sinyal bahwa kereta segera melintas. Ia cepat-cepat keluar dari pos jaga, lalu berdiri di pinggir rel kereta. Ia mulai mengibas-ngibas bendera untuk menghalau para pengendara agar tak melewati lintasan. Sudarminto berdiri dengan jarak dua meter dari gerbong kereta.
Saban hari ia melakoni hal itu. Sebab, palang jalan kereta di Jalan H Komarudin, Rajabasa, rusak. Sama seperti di pelintasan Kampung Baru, palang hanya satu. Sementara, bagian lainnya rusak.
“Itu (palang pintu yang tersisa) pun rusak hampir lima tahun,” kata Sudarminto, Minggu, 1 Desember 2024.
Kondisi itu memunculkan kekhawatiran bagi Sudarminto dan rekannya sesama penjaga. Sebab, mereka mesti ekstra hati-hati dalam mengawasi pelintasan kereta. Kecemasan itu bukan tanpa alasan. Di lokasi yang sama, seorang relawan penjaga lintasan bernama Ari Sahari bertemu ajal karena ketiadaan palang jalan kereta.
Kala itu, Ari hendak membantu pengendara yang terjatuh di tengah rel. Ia sebelumnya mengingatkan pengendara untuk berhenti. Namun, ketiadaan palang membuat pengendara bisa melintas. Akhirnya, Ari dan pengendara motor tersambar kereta api dari arah Kotabumi menuju Tanjungkarang.
Apalagi, di lokasi Sudarminto berjaga, sirene peringatan untuk pengendara juga rusak. Itu sebabnya, ia memakai peluit sebagai tanda peringatan. Tetapi, kadang pengendara, terlebih mobil, tidak dapat mendengar peluit karena padatnya lalu lintas.
Masalah lainnya, handy talkie. Perangkat komunikasi dua arah yang menggunakan gelombang radio itu terkadang kurang jelas menerima informasi.
“Jadi, ketika mereka (masinis) hendak memonitor, suaranya tertimpa suara orang lain yang lebih besar (gelombang sinyal). Jadi, kami (penjaga) enggak dengar (informasi), tahu-tahu sudah nongol (kereta),” ucap Sudarminto.
Ia bilang, kondisi di pelintasan yang dijaganya jauh dari Standar Operasional Prosedur (SOP). Sudarminto berharap ada perbaikan, sehingga tercipta keamanan bagi penjaga dan masyarakat.
“Minimal sesuai SOP dan perawatan (secara berkala),” ujarnya.
***
Sengkarut Pengelolaan
Merujuk Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 94 Tahun 2018 tentang Peningkatan Keselamatan Pelintasan Sebidang antara Jalur Kereta Api dengan Jalan, pengelolaan perlintasan sebidang menjadi tanggung jawab sesuai kewenangan jalan. Menteri untuk jalan nasional; gubernur untuk jalan provinsi; bupati/wali kota (jalan kabupaten/kota dan jalan desa); badan hukum atau Lembaga untuk jalan khusus yang digunakan oleh badan hukum atau lembaga.
Bila mengikuti perintah UU 23/2007 tentang Perkeretaapian, jalur kereta yang bersinggungan dengan jalan semestinya dibangun pelintasan tidak sebidang, dalam hal ini flyover atau underpass. Pengecualian terhadap ketentuan tersebut hanya dapat dilakukan dengan tetap menjamin keselamatan dan kelancaran perjalanan kereta api dan lalu lintas jalan. Salah satunya, mematuhi standar keselamatan perkeretaapian.
Penetapan Pelintasan Sebidang berdasarkan Permenhub 36/2011. Lintasan sebidang hanya untuk kecepatan kereta api kurang dari 60 km/jam. Lalu, jarak pelintasan satu dengan lainnya tak kurang dari 800 meter. Kemudian, jarak pandang bebas bagi masinis minimal 500 meter, dan pengendara bermotor dengan jarak minimal 150 meter. Jarak pandang dimaksud agar saling memerhatikan tanda atau rambu lalu lintas.
Dalam hal pengelolaan, Permenhub 24/2015 tentang Standar Keselamatan Perkeretaapian mengatur pelintasan sebidang harus dilengkapi rambu, marka, dan alat pemberi isyarat lalu lintas. Diberi pula palang dan penjaga pintu pelintasan.
Lebih jauh, otoritas berwenang wajib memenuhi peralatan keselamatan pelintasan sebidang, sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Permenhub 94/2018, di antaranya portal pengaman pengguna jalan; isyarat lampu peringatan/larangan; isyarat suara; isyarat tulisan berjalan/variable message sign (VMS); alat pendeteksi kereta api; pengendali utama peralatan keselamatan pelintasan sebidang (main controller); dan catu daya.
Kalau mengikuti peraturan-peraturan tersebut, sarana dan prasarana pelintasan sebidang di Bandar Lampung tampak sengkarut. Tak hanya di Jalan H Komarudin dan Kampung Baru, beberapa lintasan juga punya masalah yang sama: kerusakan palang pintu. Bahkan, di salah satu pelintasan, ada yang kekurangan penjaga. Akibatnya, dalam waktu tertentu, pelintasan tersebut kosong penjagaan. Belum lagi, sejumlah pelintasan banyak bangunan yang menghalangi jarak pandang bebas masinis dan pengendara.
Setidaknya ada empat titik pelintasan sebidang di wilayah Bandar Lampung yang tidak sesuai standar. Perinciannya, lintasan sebidang Jalan H Komarudin, Rajabasa; pelintasan Kampung Baru; pelintasan Sonokeling, Kedamaian; dan pelintasan Ketapang, Panjang.
Lintasan kereta di Jalan H Komarudin mengalami kerusakan kedua palang. Satu palang patah, lainnya tidak berfungsi. Di Kampung baru, hanya satu palang yang berfungsi. Kemudian, di Sonokeling hanya terdapat satu palang, sedangkan kondisi di Ketapang sama seperti di Rajabasa. Khusus pelintasan Ketapang, minim petugas jaga.
Di semua titik itu pernah terjadi kecelakaan, baik sepeda motor maupun mobil. Pada 2020, Honda Brio berwarna kuning rusak berat dihantam kereta api batu bara rangkaian panjang (Babaranjang). Mobil berbasis sedan itu terseret sekitar 300 meter.
Peristiwa tersebut di antaranya ketiadaan palang dari arah Jalan Sonokeling menuju Jalan Perintis Kemerdekaan. Terlebih, di sekitar lokasi terdapat tembok dan beberapa bangunan yang menutupi pandangan pengemudi terhadap kereta. Hingga 2024, palang pintu dari arah kecelakaan tersebut belum juga terpasang.
Syahdan, di lintasan sebidang Ketapang, Toyota Hiace tertabrak kereta Babaranjang. Mobil travel yang mengangkut delapan penumpang itu kecelakaan sekitar pukul enam pagi. Selain rusak palang, pada jam tersebut tidak ada penjaga. Petugas jaga mulai beroperasi pada jam 08.00-22.00 WIB. Selebihnya, pelintasan kosong tanpa penjaga. Situasi tersebut sudah beberapa tahun terakhir.
Kacaunya pengelolaan pelintasan sebidang turut menyumbang tingginya angka kecelakaan di jalur kereta api dan lintasan. PT KAI Divre IV Tanjungkarang mencatat, selama enam tahun terakhir terdapat 298 kejadian dengan rata-rata lebih dari 40 insiden per tahun. Kejadian itu di jalur kereta api dan pelintasan sebidang yang menjadi wilayah kerja Divre IV Tanjungkarang, yaitu mulai Stasiun Tarahan hingga Stasiun Tanjung Rambang, Sumatra Selatan.
Perinciannya, 2018 tercatat 45 kecelakaan; 2019 (32 kecelakaan); 2020 (39 kecelakaan); dan 2021 sebanyak 48 kecelakaan. Berikutnya, pada 2022 sebanyak 50 kecelakaan; 2023 (44 kecelakaan); dan 2024 (40 kecelakaan). Total korban dari kecelakaan, 93 orang meninggal, 147 orang luka-luka, dan 59 kendaraan rusak tanpa korban.
Kecelakaan itu banyak terjadi di pelintasan sebidang. Periode Januari-November 2024, dari 40 kejadian, terdapat 28 kasus kecelakaan yang merenggut nyawa lima orang, 18 orang luka berat, dan dua orang luka ringan. Sisanya, terjadi di jalur kereta api.
Di wilayah kerja Divre IV Tanjungkarang terdapat 228 titik perlintasan. Perinciannya, 211 titik pelintasan sebidang dan 17 titik lintasan tidak sebidang. Untuk pelintasan sebidang, sebanyak 31 titik tidak dijaga dan 41 titik dijaga. Uraiannya, 20 titik dijaga oleh PT KAI, 18 dijaga pemerintah daerah, dan tiga titik oleh swadaya masyarakat, di mana sebanyak 139 titik merupakan pelintasan liar. Sementara, pelintasan tak sebidang tercatat delapan titik flyover dan sembilan titik underpass.
Wali Kota Bandar Lampung Eva Dwiana menyatakan belum mendengar ihwal kecelakaan di pelintasan kereta. Ia bilang segera mengecek.
Saat ditanya lebih lanjut, Eva menyampaikan bahwa pihaknya memperbaiki palang yang rusak, hari itu juga. Di hadapan jurnalis, ia langsung berkoordinasi dengan Dinas Perhubungan dan Pekerjaan Umum.
“Semua palang pintu (yang rusak) di Bandar Lampung, hari ini langsung kami kerjakan (perbaiki),” kata Eva seraya memberi perintah kepada stafnya, Senin, 2 Desember 2024.
Setelah itu, Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Bandar Lampung mendatangi PT KAI Divre IV Tanjungkarang. Bahkan, sejumlah pejabat Dishub mengecek langsung beberapa lintasan yang palang pintunya rusak, di antaranya pelintasan H Komarudin dan Sonokeling. Pemerintah setempat menganggarkan Rp100 juta untuk perbaikan palang pintu.
Kepala Bidang Sarana Prasarana dan Pembinaan Keselamatan Dishub Bandar Lampung Nirma Thano mengatakan, perbaikan palang pintu jalan kereta api mulai tahun depan. Nantinya, beberapa pelintasan mendapat bantuan dari Kementerian Perhubungan.
“Jadi, yang boleh memperbaiki adalah kementerian. Ibarat rumah kamu (kementerian), masa kami (Dishub) yang memperbaiki. Tapi, sudah dianggarkan untuk tahun depan,” kata Nirma.
Mengenai palang yang hanya ada satu bagian, ia bilang, akan dipasang pada 2025. Selain itu, Dishub juga bakal menambah petugas jaga lintasan.
“Sebelumnya ada 18 orang, tahun depan kami tambah jadi 40 orang. Mereka akan berjaga secara bergantian selama 24 jam,” ujarnya.
Akademisi Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera Asfinawati memandang ketiadaan atau rusaknya palang pintu kereta api yang berujung kecelakaan merupakan kelalaian pemegang otoritas. Dalam hal ini, regulator kebijakan gagal menjamin hak hidup seseorang.
“Benar ini (rusaknya palang pintu) adalah kelalaian. Kan tidak mungkin warga yang membuat palang pelintasan kereta api,” kata Asfin-sapaan Asfinawati.
Menurutnya, terdapat dua kelalaian pemegang otoritas dalam persoalan tersebut. Pertama, lalai dalam membuat atau memperbaiki pintu pelintasan. Kedua, tidak memantau masalah yang terus berulang.
Mantan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) itu berpendapat, pemegang otoritas dapat diminta pertanggungjawaban atas kecelakaan akibat ketiadaan atau rusaknya palang pintu kereta api. Bahkan, dalam hukum, apabila ada kecelakaan karena jalan berlubang, maka pemerintah bisa digugat.(*)
Laporan Derri Nugraha
Liputan ini mendapat dukungan dari Yayasan Kurawal sebagai upaya memperkuat demokrasi melalui jurnalisme independen.