Pembunuhan Sosial di Balik Banjir-Kecelakaan Bandar Lampung

  • Whatsapp
SEJUMLAH warga sedang mencuci pakaian usai banjir bandang di Kecamatan Panjang, Bandar Lampung, beberapa waktu lalu. Selain pakaian, banyak harta benda warga hancur karena banjir. | KONSENTRISID/Derri Nugraha

Bencana banjir dan kecelakaan kereta api di Bandar Lampung memperlihatkan kegagalan sistemik dalam melindungi warga. Masyarakat dipaksa hidup dalam ketidakpastian dan menjadi korban dari kebijakan yang tidak proaktif dan preventif. Kelalaian pemerintah terhadap keselamatan publik berujung pada pembunuhan sosial yang berulang.






Gemuruh hujan membangunkan Senen dari lelapnya, Senin, 21 April lalu. Jam tiga dini hari itu, air mulai masuk dari celah pintu rumah, menyebar ke beberapa sudut ruangan. Rumahnya tak jauh dari aliran sungai.

Bacaan Lainnya

Ia sontak berteriak memanggil keluarga, termasuk istri, anak perempuan, suami anaknya, dan dua cucu. Senen dan anaknya berusaha menahan aliran air dengan menutup celah pintu pakai lilin mainan. Sementara itu, istri dan menantunya menyelamatkan berkas penting.

Tak lama kemudian, petaka seperti batu beradu terdengar keras. Serentak, air bah setinggi lebih dari satu meter menerjang rumahnya. Seketika itu pula pintu rumah jebol. Bersama sang anak, Senen berupaya menutup kembali pintu tersebut. Namun, derasnya air tak terbendung.

Senen terseret keluar rumah beberapa meter, dan berpegangan pada tiang rumah tetangga. Air yang semakin tinggi nyaris merendam seluruh tubuhnya. Ia masih mencengkeram tiang dengan kuat, berusaha melawan arus. Sementara sang istri, menantu, dan cucunya menyelamatkan diri ke loteng.

“Saya tidak bisa bergerak berjam-jam,” kata Senen, Rabu, 23 April 2025.

Tangannya mulai lemas, tapi ia harus bertahan. Senen sadar bahwa dirinya bisa hanyut kalau melepaskan pegangan. Ia terus memegang erat tiang hingga air surut sekitar jam setengah enam pagi.

Senen menunjukkan loteng tempat keluarganya berlindung saat banjir melanda kampungnya, Rabu, 23/4/2025. Bencana itu merenggut nyawa sang adik yang tinggal di samping rumahnya. | KONSENTRISID/Derri Nugraha

Waktu itu, tinggi banjir sedengkul. Senen bisa masuk rumah bertemu keluarganya. Mereka semua selamat. Namun, hampir semua perabot terendam air dan lumpur, termasuk foto-foto kerabat.

Senen yang kedinginan merasa gelisah. Ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya. Ia teringat kepada sang adik, Khusnawati, yang menetap di samping rumahnya. Senen punya dua adik perempuan. Mereka tinggal bersebelahan, beda rumah. Dari keduanya, hanya Khusnawati yang belum menikah. Senen khawatir akan keadaan adiknya, apakah selamat atau tidak.

Khusnawati berusia 60 tahun, bertubuh ramping dengan rambut hitam sebahu. Sebelum air bah datang, ia sempat membangunkan kakaknya yang berada di samping kiri rumah. Suaranya yang keras dan khawatir masih terngiang di telinga Senen.

Khusnawati memberi tahu bahwa air mulai naik ke lantai. Senen tidak menyangka bahwa air akan naik begitu cepat dan menghancurkan segala yang ada di sekitar. Setelah itu, adiknya kembali ke dalam rumah, dan sejak banjir bandang merendam permukiman, suara Khusnawati tak lagi terdengar.

Senen teringat penyakit Khusnawati yang rentan terhadap shock. Ia langsung mengecek rumah adik perempuannya itu, khawatir dalam bahaya. Senen berjalan hati-hati dengan sedikit pincang. Sampai di depan rumah, pintu terbuka sedikit, seolah-olah menunggu seseorang untuk masuk. Mata Senen menyorot ke seluruh ruangan yang masih terendam air dan tertutup sampah serta perabotan, mencari tanda-tanda kehidupan atau keberadaan sang adik.

Dari bawah dipan, terlihat kaki Khusnawati. Senen segera berlutut dan mengangkat tubuh tersebut ke pahanya. Teriakan Senen pecah melihat adiknya sudah tidak bernyawa.

Keluarga dan warga yang mendengar jeritan tersebut langsung berkumpul. Senen menarik tubuh sang adik keluar rumah. Warga membantu proses evakuasi. Semua sanak saudara menangis. Sementara, Senen membisu di atas air yang belum sepenuhnya surut. 

“Saya sampai tidak bisa lagi mengeluarkan air mata,” ujarnya.

Senen masih teringat peristiwa kelam hari itu. Banjir yang merenggut nyawa adiknya meninggalkan trauma mendalam. Kampung Selirit, Kecamatan Panjang Utara, Bandar Lampung, memang pernah terkena dampak banjir ketika hujan deras, tapi tak pernah sebesar itu. Air yang biasanya hanya setinggi mata kaki, kali ini menjadi maut.

Senen takut bencana serupa terulang. Bukan hanya banjir semakin dahsyat, tapi juga karena pemerintah sepertinya belum serius menangani persoalan tersebut.

“Jangan sampai banjir terus memakan korban dan membunuh warga,” kata Senen.

Di seberang rumah Senen, tepat di bantaran kali, banjir menghancurkan gubuk semipermanen milik Diding dan Piyan. Diding, yang sehari-hari bekerja serabutan di Pelabuhan Panjang, kehilangan tempat tinggalnya. Piyan, keponakannya yang memiliki disabilitas mental, kini harus beradaptasi dengan situasi baru. Piyan, yang terbiasa mandi di sungai karena gubuknya tidak memiliki sumur, sekarang harus mencari cara baru untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.

Piyan, yang dikenal sebagai anak baik dan suka mengikuti pengajian, tidak pernah menyangka bahwa banjir dini hari itu akan menjadi akhir hidupnya. Ia yang terbiasa bekerja sebagai juru parkir dengan bantuan warga, ditemukan meninggal di kolong mobil, sekitar satu kilometer dari kediamannya.

Tempat tinggal Diding dan Piyan yang hancur diterjang banjir bandang, 21/4/2025. Mereka ditemukan tewas sekitar satu kilometer dari kediamannya. | KONSENTRISID/Derri Nugraha

Jasad Diding, pamannya, bersebelahan dengannya. Tidak ada yang tahu pasti apa yang terjadi pada mereka saat banjir datang. Beberapa warga mengatakan bahwa Piyan dan Diding telah meninggalkan rumah sebelum banjir meluas, mungkin terseret arus.

Piyan adalah anak yatim piatu. Ibunya meninggal dunia beberapa tahun lalu, sedangkan sang ayah tak diketahui rimbanya. Meskipun pamannya, Diding, masih memiliki keluarga di dekat kampung itu, kini rumah mereka telah hancur menjadi reruntuhan kayu dan seng.

Tony, warga setempat, masih bingung dengan banjir besar yang tak pernah dialaminya selama puluhan tahun. Ia berharap petaka itu tidak terjadi lagi, terutama karena banjir datang saat semua orang terlelap. Beruntung banyak warga selamat, meskipun harta benda mereka rusak parah.

Tony mengeluhkan bantuan yang tidak sampai ke kampungnya, meskipun jarak rumah dekat dengan Senen dan Piyan. Secara administratif, Tony tinggal di Kampung Cikawung, Panjang Selatan, sehingga wilayahnya terlewatkan dari perhatian. Banjir yang ramai diberitakan media hanya disebut menimpa kecamatan Panjang Utara, membuat bantuan luput dari kampungnya.

“Sekadar nasi bungkus pun kami tidak dapat,” ujarnya.

Mereka ingin menuntut pemerintah, namun tidak tahu bagaimana. Sementara itu, banyak warga tak bisa mencari nafkah karena banjir merusak tempat usaha.

Tony berharap banjir segera lenyap. Ia ingin pemerintah memiliki solusi konkret, sehingga korban jiwa bisa dicegah.

Data BPBD setempat, banjir bandang bukan hanya merenggut tiga nyawa, tetapi juga berdampak terhadap 2.371 kepala keluarga. Sebagian dari mereka kehilangan harta benda akibat terseret banjir serta rusak karena air dan lumpur.

***

Siang yang terik di pelintasan sebidang Jalan H Komarudin, Rajabasa, berubah mencekam dalam sekejap. Sebuah minibus berkelir abu-abu mendadak terdiam di atas rel kereta. Di dalamnya, ibu dan anak terperangkap dalam ketakutan. Sang anak bergegas keluar, sementara ibunya tak sempat membuka pintu mobil.

Sejurus kemudian, kereta api pengangkut batu bara menabrak bagian belakang mobil hingga ringsek parah. Ibu itu selamat, dengan luka kecil di wajah. Tubuhnya masih gemetar, seakan tak percaya apa yang baru dialami.

Minibus itu muncul dari arah barat, dekat kampus Politeknik Negeri Lampung. Lintasan tidak memiliki palang pintu kereta api. Di sisi lain, palang pintu manual terlihat, tapi tidak ada yang mengawasi dari arah datang mobil.

Pengendara lewat di pelintasan sebidang tanpa palang pintu di Rajabasa, Bandar Lampung, Kamis, 24/4/2025. Beberapa waktu lalu, sebuah minibus tertabrak kereta di sana. | KONSENTRISID/Derri Nugraha

Petugas yang berjaga hanya dua orang, di pos yang berada di seberang mobil. Sudah lima tahun tidak ada sirene. Akibatnya, mobil terus melaju ketika kereta api mendekat.

“Seharusnya empat petugas, jadi ada yang memberi peringatan dari arah barat,” kata Deni, salah satu penjaga pelintasan, Kamis, 24 April 2025.

Ia menggelengkan kepala, memikirkan bagaimana tragedi itu bisa dicegah. Setidaknya, palang pintu kereta otomatis yang dapat dikendalikan dari pos bisa dipasang. Dengan begitu, ketika kereta melintas, palang pintu akan tertutup secara mekanis, tanpa harus bergantung kepada petugas.

Masalah lain adalah kurangnya alat komunikasi memadai. Handy talkie yang digunakan sering tidak jelas, sehingga informasi terhambat. Keterlambatan itu berakibat pada penutupan palang pintu manual yang lambat, sehingga menambah risiko kecelakaan.

Deni telah berulang kali melaporkan masalah-masalah di pelintasan. Sirene yang mati akibat tersambar petir, kurangnya petugas jaga, ketiadaan palang pintu, hingga alat komunikasi tidak memadai – semua telah disampaikan kepada atasan, namun belum ditanggapi serius.

Kondisi ini tak hanya mengancam keselamatan masyarakat, tapi juga membuat petugas di lapangan waswas. Di lokasi itu sendiri, pernah ada petugas meregang nyawa akibat ketiadaan palang pintu kereta api, meninggalkan kesan mendalam dan ketakutan yang nyata.

Abai Keselamatan

Setiap pelintasan sebidang kereta api di bawah pengelolaan Pemkot Bandar Lampung telah mencatat sejarah kelam kecelakaan. Penyebabnya beragam, dari kurangnya petugas, ketiadaan palang pintu, alat komunikasi tidak memenuhi standar, hingga ketiadaan standardisasi pengelolaan.

Janji pemerintah setempat untuk memperbaiki sarana dan prasarana tampaknya belum ditepati. Hingga kini, perbaikan maksimal belum terlihat, dan kecelakaan tragis kembali berulang.

Demikian halnya dengan banjir. Dalam empat bulan terakhir, delapan warga dilaporkan tewas. Jumlah tersebut belum termasuk banjir pada tahun-tahun sebelumnya.

Pemerhati Kebijakan Publik Unila Dodi Faedlulloh | dok. Dodi Faedlulloh

Selama ini, pola penanganan banjir cenderung tidak berubah. Misalnya, membersihkan gorong-gorong, memberi bantuan nasi bungkus, dan mengeruk kali. Pada saat bersamaan, ruang terbuka hijau terus menyusut, bukit beralih fungsi, dan sungai-sungai makin dangkal. Kebijakan pembangunan tak sejalan dengan prinsip-prinsip berkelanjutan.

Menurut Dodi Faedlulloh, peneliti Laboratorium Administrasi dan Kebijakan Publik FISIP Universitas Lampung (Unila), minimnya respons pemerintah dalam menangani persoalan keselamatan warga yang berujung korban jiwa menunjukkan lemahnya sensitivitas kebijakan. Hal ini mencerminkan absennya manajemen risiko dan sistem kewaspadaan dini, bagian penting dari tata kelola kota untuk melindungi kehidupan publik.

Problem ini tak hanya teknis, tapi struktural. Kebijakan yang seharusnya proaktif dan preventif justru cenderung reaktif, baru bergerak setelah makan korban. Dalam studi kebijakan, fenomena ini dapat dibaca melalui teori ketidakbertindakan (theory of inaction). Perspektif tersebut menekankan bahwa tidak bertindak (policy inaction) juga bentuk keputusan yang sadar.

Ketidakbertindakan bukan sekadar kelalaian administratif, tapi bisa jadi karena lemahnya kapasitas kelembagaan atau kurangnya tekanan politik. Ironisnya, pemerintah daerah secara tidak langsung mengomunikasikan bahwa keselamatan warga bukan prioritas.

Inaction pemerintah bersifat berulang dan sistemik. Banjir sudah lama dikenal sebagai ancaman serius bagi publik. Ketika kebijakan tidak bergerak meskipun risiko terus ada, masyarakat dipaksa hidup berdampingan dengan bahaya. Ini menunjukkan kegagalan pemerintah dalam memenuhi fungsi dasarnya untuk melindungi warga negara.

“Pemerintah tidak bisa lagi berdalih tak tahu karena inaction adalah pilihan yang mengandung tanggung jawab moral dan politik,” kata Dodi.

Pembunuhan Sosial

Kegagalan sistemik ini menimbulkan pertanyaan: bagaimana memahami kecelakaan atau kematian dalam pelayanan publik, seperti keamanan jalur kereta api dan antisipasi banjir?

Dosen Sosiologi FISIP Unila Fuad Abdulgani melihat bahwa konsep “pembunuhan sosial” yang diperkenalkan oleh Friedrich Engels dapat menjadi kacamata untuk memahami fenomena itu. Dalam perspektif ini, kematian bukan sekadar angka statistik, tetapi potret tragis dari struktur ekonomi, kondisi permukiman, penghidupan, sanitasi, dan kebijakan kota yang gagal melindungi nyawa manusia.

Untuk konteks Bandar Lampung, pemerintah kota adalah penanggung jawab tertinggi penyelenggaraan layanan kepentingan publik. Mereka memperoleh mandat itu dari warga kota melalui pemilihan umum, dan memiliki kekuasaan, wewenang, serta dana guna memenuhi tanggung jawabnya. Ketika penyelenggaraan urusan publik seperti pembangunan kota atau operasional palang rel kereta terus-menerus menimbulkan korban di antara warga, maka tanggung jawab pemerintah kota.

“Dalam kasus Engels, kaum borjuis dan pemerintah tahu tentang wabah dan kematian di permukiman buruh, tapi tidak melakukan apa pun untuk mengubahnya. Engels menyebutnya sebagai pembunuhan sosial,” ucap Fuad.

Dosen Sosiologi Unila Fuad Abdulgani | dok. Fuad Abdulgani

Pemerintah kota sering menggunakan alasan pembangunan dan investasi sebagai pembenaran untuk mengorbankan ruang terbuka hijau. Fuad menilai logika tersebut keliru. Pembangunan seyogianya mengutamakan kepentingan publik dan memprioritaskan manfaat bagi banyak orang, bukan hanya segelintir pihak.

Sebagai contoh, pemerintah seharusnya memprioritaskan perlindungan daerah resapan air daripada memberikan izin pembangunan mal di atasnya. Fungsi ekologis resapan air dan manfaat sosialnya jauh lebih luas dan berjangka panjang ketimbang pusat perbelanjaan.

“Apakah membangun mal di atas hutan kota benar-benar bermanfaat bagi publik atau hanya menguntungkan segelintir golongan?” tanya Fuad.

Ia mengingatkan pemerintah untuk berani mengevaluasi ulang paradigma dan kebijakannya jika menimbulkan kerugian publik, bahkan korban jiwa. Untuk itu, perlu perspektif tepat dan konsep yang jelas, dimulai dengan memahami akar persoalan.

Dalam kasus banjir, pemerintah sebaiknya melakukan evaluasi total atas tata ruang dan menyusun rencana jangka pendek, menengah, dan panjang yang berbasis sains, bukan kepentingan politik. Pendekatan interdisiplin yang melibatkan berbagai bidang ilmu seperti tata kelola kota, hidrologi, ekologi, sosiologi, dan teknik sipil perlu diterapkan. Lebih penting lagi, pelibatan komunitas terdampak karena mereka yang paling memahami pengalaman korban banjir.

“Tanpa partisipasi publik yang bermakna, kebijakan tidak akan menyentuh akar masalah,” ujarnya.(*)

Laporan Derri Nugraha

Liputan ini mendapat dukungan dari Yayasan Kurawal sebagai upaya memperkuat demokrasi melalui jurnalisme independen.

DukungKami.png.png

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

80 + = 82