Transisi energi melalui proyek Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro (PLTM) sarat persoalan. Prosesnya melahirkan petaka yang mengancam hak atas air dan ruang hidup masyarakat. Alih-alih memenuhi prinsip keadilan sosial, peralihan energi fosil menuju energi baru terbarukan itu mengakomodasi prinsip pasar bebas yang berorientasi pada laba.
Suatu hari pada senja di awal 2021. Qomaruddin (50) yang hendak ke tempat kerabat melihat dua ekskavator dan beberapa truk jungkit. Kendaraan alat berat dan pengangkut itu melintas di Jalan Way Melesom, Pekon (Desa) Bambang, Kecamatan Lemong, Kabupaten Pesisir Barat, Lampung.
Qomaruddin berhenti sejenak. Di atas sepeda motornya, ia menatap sambil bertanya dalam hati, “Mengapa alat berat lewat di kampungnya?” Sebab, iringan kendaraan tersebut mengarah ke Sungai Way Melesom. Padahal, belum ada akses jalan, apalagi untuk roda empat. Lintasan ke sana masih berupa hutan damar, duku, dan kebun kopi. Belakangan, ia mengetahui bahwa ekskavator itu guna membuka jalur pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro (PLTM) Way Melesom II.
“Kami enggak tahu-menahu itu (proyek) apa. Mereka tiba-tiba datang dan langsung membangun,” kata Qomaruddin, Kamis, 26 September 2024.
Pada 2019, Qomaruddin sempat mendengar soal proyek pembangunan di desanya. Kabar itu menyebar dari mulut ke mulut. Namun, tak pernah ada sosialisasi maupun pemberitahuan yang jelas ihwal proyek PLTM. Dua tahun berselang barulah konstruksi berjalan tanpa pembicaraan dengan masyarakat setempat.
Pembangunan PLTM berkapasitas 2×1,15 Megawatt (MW) itu membuka jalur yang membelah Pekon Bambang dan Pagar Dalam. Kalau berjalan kaki dari jalan umum, perlu waktu kira-kira 15 menit untuk sampai ke titik bendungan PLTM. Kondisi lintasan berupa tanah berbatu yang mendaki.
Sepanjang jalan, tampak beberapa bagian sungai tertimbun. Terlihat pula ratusan pipa baja dengan panjang sekitar 3-4 meter dan diameter 1-2 meter. Nantinya, pipa-pipa ini mengalirkan air sungai ke arah power house, tempat instalasi perputaran turbin untuk menghasilkan daya listrik.
Proyek PLTM Way Melesom II dikerjakan oleh PT Graha Hidro Nusantara (GHN), sebagai bagian dari portofolio PT Adimitra Hidro Nusantara (AHN). Perusahaan ini terafiliasi dengan PT TBS Energi Utama Tbk, korporasi yang didirikan Menteri Bidang Kemaritiman dan Investasi Indonesia Luhut Binsar Pandjaitan.
Total biaya proyek Way Melesom II sekitar Rp68,523 miliar. Dengan estimasi energi sebesar 12,7 GWh/tahun dan tarif Power Purchase Agreement (PPA/kontrak jual beli listrik) sebesar Rp878,90/kWh sebagaimana disetujui PLN, maka pendapatan tahunan diperkirakan Rp11,2 miliar. Sedangkan harga pokok penjualan (HPP) dan cash opex (biaya operasional) sekitar Rp2,2 miliar per tahun. Adapun skema pembiayaan proyek, yakni 70% pinjaman bank dan 30% menjadi bagian dari ekuitas.
Proyek yang disebut akan memperkuat pasokan listrik “hijau” di Lampung itu resmi dibangun pada Maret 2022. Peletakan batu pertamanya dihadiri Bupati Pesisir Barat Agus Istiqlal. Menjadi objek vital nasional, pengembangan energi listrik yang diharapkan mengurangi ketergantungan akan energi fosil itu justru mendatangkan petaka.
Aktivitas pembangunan PLTM berdampak terhadap akses air bersih di dua desa, yaitu Pekon Bambang dan Pagar Dalam. Material pembukaan jalan menuju PLTM menimpa saluran-saluran air warga. Selain itu, penimbunan beberapa bagian sungai melewati tandon air milik warga. Setidaknya, lebih dari 20 titik pipa aliran air tak berfungsi akibat tertimbun batu, kayu, dan tanah.
“Desa kami sempat tak mengalir air berbulan-bulan,” ujar Qomaruddin.
***
Mengancam Ruang Hidup
Wajah Ratna Kemala (70) tampak masam ketika bicara proyek PLTM Way Melesom II. Gara-gara proyek itu, anaknya terpaksa mencuci pakaian di aliran Sungai Way Melesom. Pernah suatu hari Ratna melihat anaknya menangis karena harus bolak-balik mencuci di kali. Ia merasa sedih dan kesal terhadap perusahaan yang merenggut air bersih mereka.
Ratna termasuk sesepuh di Pekon Pagar Dalam. Sejak 1977, ia mulai membangun sekolah di desa tersebut. Ratna pun pernah menjadi sekretaris desa. Selama puluhan tahun, desanya tak pernah kekurangan air bersih. Namun, semua berubah semenjak pembangunan proyek PLTM. Kendati tak separah pada awal pembangunan, aliran air bersih di dua kampung itu tak lagi sama. Terkadang, air hanya mengalir dua hari sekali. Itu pun terbatas debit airnya.
Seperti Qomaruddin, Ratna tidak menerima informasi terkait pembangunan PLTM. Ia bilang, pembangunan pembangkit listrik itu tanpa keterlibatan masyarakat.
Ratna tak banyak keinginan. Perempuan sepuh itu hanya ingin kehidupannya kayak dahulu: tidak susah air.
“Kami mau mereka (perusahaan) pergi, harus dihentikan (proyeknya). Enggak ada manfaatnya untuk masyarakat, malah bikin susah,” ujarnya.
Sementara itu, di tempat lain, Imron tengah mengarungi gabah. Sore itu, ia mengumpulkan butir-butir padi untuk dibawa pulang. Jumlahnya tak seberapa. Imron adalah salah satu petani padi di Pekon Pagar Dalam.
Akhir-akhir ini, ia merasa gelisah. Perasaan tak tenang itu karena pembangunan PLTM di atas sawahnya. Serupa dengan Ratna dan Qomaruddin, Imron pun menolak pembangunan proyek PLTM. Selain merusak akses air bersih, aktivitas pembangunan memberi isyarat bahwa ia bakal kehilangan ruang penghidupan.
Titik pembuangan air melalui pipa pembangkit listrik berada di bagian hilir irigasi milik warga. Bila nanti PLTM beroperasi, air tak lagi melewati irigasi tersebut. Dampaknya, lahan pertanian warga akan kering.
“Padi kan butuh air. Kalau kekeringan padinya tidak berisi,” kata Imron.
Bukan hanya Imron, banyak warga di Pekon Bambang dan Pagar Dalam menggantungkan hidup dari hasil pertanian. Paling tidak, sekitar 20 hektare sawah dan 4,17 hektare permukiman penduduk yang terancam kehilangan sumber air.
“Kami enggak ada sumber pemasukan lain. Kalau ini (sawah) kering, bingung mau makan apa. Kami berharap proyeknya bisa dihentikan,” ujar Imron.
Kondisi air yang makin mengkhawatirkan dan potensi kehilangan sumber penghidupan, memantik semangat Wawan Hendri (37), teman Qomaruddin, beserta warga desa Pekon Bambang dan Pagar Dalam untuk berjuang.
Medio 2023, guru madrasah itu memprakarsai pertemuan warga di Balai Desa Pagar Dalam. Puluhan orang yang hadir. Mereka juga mengundang PT GHN, pemerintah desa serta kecamatan. Hasil musyawarah, warga menuntut perusahaan bertanggung jawab atas dampak lingkungan dari pembangunan PLTM. Tuntutan tersebut antara lain memperbaiki saluran air hingga memastikan irigasi berjalan dengan baik.
Dalam lampiran dokumen izin lingkungan yang dimiliki perusahaan memang tertera persetujuan atas nama warga Pekon Bambang dan Pagar Dalam. Akan tetapi, Wawan dan sejumah warga setempat tak mengenal nama-nama dimaksud.
Pada dokumen setebal 108 halaman yang dicetak pada 2016 itu tercantum 40 nama beserta tanda tangan dari dua desa. Secara kasat mata, tulisan nama dan tanda tangan mereka tampak mirip.
“Kebanyakan yang tanda tangan bukan warga terdampak proyek. Sebab, tempat tinggal mereka di atas PLTM,” kata Wawan.
Pengondisian Warga
Waktu terus berjalan. Pihak perusahaan belum memenuhi tuntutan warga. Masyarakat pun gusar. Akhirnya, empat bulan setelah pertemuan itu, sebanyak 159 kepala keluarga meneken surat penolakan. Tuntutannya, perusahaan harus menghentikan segala bentuk aktivitas pembangunan dan bertanggung jawab penuh atas kerusakan jaringan air bersih, penyempitan sungai, dan erosi. Surat tersebut ditembuskan kepada bupati Pesisir Barat, ketua DPRD Pesisir Barat, dan DPR. Namun, keluhan ratusan kepala keluarga itu nihil respons.
Tak menyerah, Wawan kemudian membuat pengaduan online melalui website SP4N Lapor. Ia mengisi keluhan sesuai tuntutan warga. Laporan itu ditujukan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Usahanya berbuah balasan. KLHK mendisposisi laporan Wawan ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan berbuntut pertemuan.
Kementerian ESDM melalui Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi mengundang jajaran Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pesisir Barat, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Lampung, Dinas ESDM Lampung, serta PT GHN. Pertemuan lewat Zoom Meeting itu membahas dampak pembangunan PLTM Way Melesom II.
Wawan satu-satunya warga yang diundang. Rapat berlangsung di Ruang Media Center, Lantai 1 Gedung A, kompleks Pemkab Pesisir Barat, Jumat, 1 Desember 2023. Dalam ruangan itu turut hadir Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Daerah (Sekda) Pesisir Barat Jon Edwar serta peratin (kepala desa) Bambang dan Pagar Dalam.
Alih-alih membicarakan dampak lingkungan, rapat itu lebih kepada “pengondisian”. Jon Edwar mengarahkan perangkat desa bisa mengondisikan masyarakat supaya mendukung program pemerintah, sehingga tidak protes.
“Proyek ini sangat penting bagi pemerintah. Jika ada yang dirugikan atau korban dari dampak lingkungan, itu lumrah. Enggak ada proyek skala nasional yang tidak menimbulkan korban,” kata Wawan menirukan ucapan Jon Edwar saat rapat.
Sepanjang rapat, Wawan cuma bisa mendengar paparan pemerintah tanpa mendapat kesempatan bicara. Dalam satu momen, salah satu peratin sempat diberi ruang. Namun, baru sepatah kata, tiba-tiba sinyal perangkat untuk tersambung ke Zoom Meeting hilang. Padahal, ia ingin menyampaikan persoalan yang dialami warga terdampak. Ketika sinyal kembali, kepala desa itu justru diceramahi oleh Jon Edward bahwa semua jajaran pemerintah, termasuk kepala desa, harus mendukung segala program pemerintah.
“Saya justru bingung. Kan proyek PLTM itu bukan program pemerintah, tapi murni swasta, bisnis. Namun, saya tak bisa berkomentar dan tidak diberi waktu untuk berbicara,” ujar Wawan.
Adapun rekomendasi Kementerian ESDM atas pertemuan itu di antaranya PT Graha Hidro Nusantara segera menindaklanjuti keluhan warga terdampak. Perusahaan itu juga diminta berkoordinasi dengan Dinas ESDM Provinsi Lampung. Kemudian, melaksanakan kajian serta turun lapangan dengan membawa ahli teknis. Selanjutnya, mengadakan musyawarah bersama masyarakat, pemerintah pekon, kecamatan, hingga pemkab setempat untuk menemukan solusi. Hal tersebut agar pembangunan PLTM dapat berjalan tanpa merugikan masyarakat dan lingkungan.
Sepuluh bulan berlalu, laporan Wawan ke kementerian yang berujung pertemuan dengan berbagai pihak pada Desember 2023 itu tak membawa perubahan berarti. Sampai sekarang, pembangunan terus berjalan. Warga tetap kesulitan memperoleh air dan dibayangi kehilangan irigasi.
Rekomendasi Kementerian ESDM kepada perusahaan dan pemerintah setempat agar melakukan kajian dan musyawarah bersama warga tak kunjung terealisasi.
Menanggapi hal ini, Kepala Bidang Pemeliharaan Lingkungan Hidup dan Pertamanan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Pesisir Barat Rio Nico Fernanda mengatakan, pihaknya masih menunggu instruksi dari Dinas ESDM Provinsi Lampung.
“Sampai hari ini, kami belum dapat informasi untuk itu (turun lapang dan kajian bersama). Kami juga tidak mau melangkahi kewenangan Kementerian ESDM maupun Dinas ESDM,” ujarnya.
Ihwal penolakan warga, DLH Pesisir Barat hanya menerima dokumen yang sudah diverifikasi oleh pemerintah kecamatan setempat.
“Jadi, bukan kapasitas kami untuk mengecek apakah itu benar warga (Pekon Bambang atau Pagar Dalam). Sebab, prosesnya berjenjang dan diketahui oleh camat,” kata Rio.
Secara terpisah, Dwi Bambang Sugiri, Kepala Seksi Listrik dan Pemanfaatan Energi Dinas ESDM Lampung, tidak dapat menjawab soal tindak lanjut dari rekomendasi Kementerian ESDM. Bahkan, ia sempat menghindar diwawancarai.
“Saya belum bisa memberi keterangan karena harus koordinasi dengan kepala dinas,” ujarnya.
Selain DLH Pesisir Barat dan Dinas ESDM Lampung, konsentris juga berupaya mewawancarai Jon Edward dan Agus Istiqlal. Sejak 8-16 Oktober, kami mengirim pesan dan menghubungi via telepon untuk konfirmasi. Namun, tak ada tanggapan meski pesan terkirim.
***
Menyalahi Izin Lingkungan
Merujuk Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 4 Tahun 2021, PLTM merupakan jenis usaha yang wajib memiliki dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL).
Kemudian, Pasal 26 ayat (1) UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur, setiap orang yang melakukan usaha atau kegiatan yang wajib UKL-UPL harus memiliki izin lingkungan.
Kedua dokumen itu guna memastikan tanggung jawab perusahaan atas segala dampak lingkungan selama pembangunan proyek.
PT GHN memang sudah menyusun UKL-UPL pembangunan PLTM Way Melesom II. Mereka juga mengantongi izin lingkungan dari Pemkab Pesisir Barat. Akan tetapi, realisasi pembangunan terindikasi menyalahi izin.
Dalam UKL-UPL yang terbit pada 2016, lokasi pembanguan PLTM terletak di Dusun Talang Tinggi, Desa Bambang, Kecamatan Lemong, Pesisir Barat. Sedangkan realisasi pembangunan PLTM berjarak sekitar 2,6 km di bawah dusun tersebut.
Secara rinci, koordinat lokasi yang ditampilkan dalam dokumen UKL-UPL berada di 4°57’24.4″S 103°46’11.9″E. Faktualnya, lokasi pembangunan di koordinat 4°58’09.1″S 103°45’22.9″E.
Ketidaksesuaian lokasi pembangunan itu juga terkonfirmasi dalam izin lingkungan yang diterbitkan oleh pemerintah setempat. Izin dimaksud termaktub dalam Surat Keputusan Bupati Pesisir Barat Nomor: B/224/KPTS/HK-PSB/II.05/2016. Dalam surat, lokasi yang tercantum pada judul adalah Way Melesom I, bukan Sungai Way Melesom II. Lokasi itulah yang sesuai dengan UKL-UPL, yakni di sekitar Dusun Talang Tinggi.
Pembangunan tak sesuai lokasi itulah yang akhirnya memicu beberapa masalah di dua desa. Mulai krisis air bersih hingga ancaman kehilangan sumber air untuk pertanian.
Terlebih, dalam dokumen UKL-UPL tiada satu pun bagian menyinggung irigasi warga yang bakal terdampak pembangunan. Padahal, keberadaan irigasi itu penting karena menjadi penyuplai air untuk lahan pertanian masyarakat.
Selain itu, izin lingkungan dari bupati mewajibkan perusahaan membangun sesuai dengan dokumen UKL-UPL. Kalaupun ada perubahan lokasi atau perluasan area, maka perusahaan wajib membuat dokumen UKL-UPL yang baru. Jika tak dilakukan, perusahaan bisa kena sanksi.
DLH Pesisir Barat mengonfirmasi bahwa sampai hari ini belum menerima laporan dari perusahaan terkait status perubahan lahan, kegiatan, ataupun lainnya. Artinya, pembangunan berjalan tanpa dokumen UKL-UPL yang baru.
Dokumen UKL-UPL adalah syarat mendapat izin lingkungan. Mengacu Pasal 109 UU 32/2009, setiap orang yang melakukan usaha tanpa memiliki izin lingkungan dipidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama tiga tahun. Tak hanya itu, mereka juga dibebankan denda paling sedikit Rp1 miliar dan paling banyak Rp3 miliar.
Konsentris berupaya mengonfirmasi beberapa temuan soal pembangunan PLTM Way Melesom II kepada PT Graha Hidro Nusantara. Pertama, menghubungi Direktur PT GHN Niko Robbel. Niko mengarahkan untuk wawancara Dodi Djauhari, perwakilan PT GHN.
Ketika dihubungi, Dodi lagi di Bandung dan kurang fit. Ia kemudian meminta untuk mewawancarai Ifwan, orang yang dipercaya perusahaan untuk berurusan dengan wartawan. Selama lima hari berturut-turut kami mengirim pesan dan menelepon untuk wawancara. Namun, Ifwan tidak memberi tanggapan.
Dilain pihak, Humas Pemkab Pesisir Barat Suryadi bilang, izin pembangunan PLTM Way Melesom II sudah lengkap. Namun, ia tak tahu soal pembangunan di luar titik koordinat UKL-UPL.
***
Banyak Persoalan
Suatu siang di pertengahan Agustus 2024, enam orang menutup jalan menuju PLTM Sumber Jaya, Lampung Barat. Mereka memalangkan bambu, kayu, dan seng di jalan selebar kira-kira empat meter. Bahkan, dua dari mereka mengecor palang tersebut.
Mereka memblokade jalan karena ganti rugi atas lahan untuk pembangunan PLTM Sumber Jaya belum tuntas. Nyaris satu tahun, perusahaan belum melunasi ganti rugi lahan warga.
“Kami melakukan aksi (blokir jalan) itu karena tuntutan ganti rugi sudah lama belum ada tanggapan dari pihak perusahaan,” kata Heri, salah satu warga yang menutup jalan.
Aksi warga yang menutup jalan menjadi pemberitaan media nasional. Tiga hari kemudian, warga dan pihak perusahaan menggelar musyawarah di balai desa. Hasilnya, pihak perusahaan segera menyelesaikan ganti rugi lahan milik warga.
“Alhamdulillah, sekarang sudah selesai,” ujar Heri.
PLTM Sumber Jaya dibangun oleh PT Adimitra Energi Hidro (AEH). Perusahaan ini terhubung dengan PT TBS Energi Utama Tbk. Artinya, pembangunan proyek PLTM Way Melesom II dan PLTM Sumber Jaya oleh korporasi yang sama.
Total biaya proyek PLTM Sumber Jaya mencapai Rp186,1 miliar. Dengan estimasi energi sebesar 39,6 GWh/tahun dan tingkat tarif PPA Rp878,90/kWh (kesepakatan perusahaan dengan PLN), maka pendapatan tahunan diperkirakan Rp33,8 miliar. Sedangkan HPP dan biaya operasional tunai sekitar Rp5,2 miliar per tahun. Adapun rancangan pembiayaan, yaitu 70% pinjaman bank dan 30% didanai oleh ekuitas.
Berbeda dengan PLTM Way Melesom II, PLTM Sumber Jaya dibangun di antara lahan perkebunan warga. Mereka yang punya lahan masih bisa beraktivitas seperti biasa. Namun demikian, terdapat larangan yang perlu diperhatikan.
Seorang penjaga keamanan bilang, tidak ada yang boleh masuk kawasan PLTM selain pekerja dan petani setempat. Pihak luar yang hendak masuk harus mendapat izin dari “pemegang keamanan”. Penjaga keamanan itu memanggilnya sebagai komandan. Orang yang dimaksud adalah An, aparat militer.
Saat dihubungi, An tak dapat menjelaskan secara gamblang ihwal posisinya sebagai pengaman dalam proyek. Ia menyatakan dirinya hanya penengah jika ada masalah atau konflik antara perusahaan dan masyakarat.
“PLTM Sumber Jaya kan proyek negara, jadi semua unsur terlibat,” ujarnya.
Keterangan berbeda datang dari Samril, Humas PT AEH. Ia mengatakan, proyek PLTM Sumber Jaya tidak menggunakan dana negara alias swasta. Samril membantah An bagian dari keamanan perusahaan.
“Kami cuma minta bantu untuk menengahi supaya enggak terjadi hal-hal yang tak diinginkan,” kata Samril.
Pendataan konsentris, sebanyak enam pembangkit listrik tenaga minihidro di Lampung. Selain Lemong dan Sumber Jaya, empat PLTM lainnya, yaitu PLTM Sukarame dan PLTM Batu Brak di Lampung Barat, PLTM Besai Kemu (Way Kanan), dan PLTM Kukusan II (Tanggamus).
Masalah tak hanya di Lemong dan Sumber Jaya. Aktivitas pembangunan PLTM Sukarame ditengarai menjadi penyebab pendangkalan dan penyempitan sungai yang berujung banjir bandang.
Kemudian, PLTM Batu Brak pernah dikeluhkan warga Pekon Bedudu. Kegiatan pembangunan yang membuang material ke Kali Semangka membuat kedalaman sungai tidak rata. Lahan di sekitar pembangunan cenderung miring ke arah perkebunan warga, sehingga memicu longsor. Kondisi tanah di permukiman warga sekitar PLTM juga retak.
Lalu, pembangunan PLTM Besai Kemu menuai protes. Sejumlah lahan perkebunan warga terkena galian proyek. Akan tetapi, belum ada ganti rugi dari pihak perusahaan.
Enam PLTM di Lampung dikerjakan oleh perusahaan-perusahaan yang terhubung dengan korporasi besar di Indonesia. Pengembang PLTM Way Melesom II dan PLTM Sumber Jaya terafiliasi dengan PT TBS Energi Utama Tbk, produsen batu bara termal.
PLTM Sukarame dibangun oleh PT Lampung Hidro Energi, anak perusahaan Tamaris Hidro milik Salim Group. Perusahaan milik Anthoni Salim itu menerima kucuran dana dari tiga bank besar di Indonesia sebesar Rp3,96 triliun. Hingga kini, korporasi itu mengoperasikan sekitar 16 PLTM dan satu PLTA.
Syahdan, PLTM Besai Kemu dan PLTM Kukusan II dikerjakan oleh PT Arkora Hydro Tbk dan PT Bina Pertiwi Energi, anak PT Energia Prima Nusantara (EPN) di bawah kendali PT United Tractors Tbk. Perusahaan ini merupakan anak usaha PT Astra International Tbk atau “Astra”. Tak hanya di Lampung, perusahaan-perusahan itu juga mengerjakan beberapa PLTM dan PLTA di Indonesia.
Beberapa perusahaan yang terafiliasi dengan Salim Group dan Astra menerima subsidi dari Kementerian ESDM pada 2017. Perlu diketahui, pemerintah pusat mengucurkan subsidi sebesar Rp520 miliar untuk pembangunan 84 PLTM di Indonesia. Saat itu, Pelaksana Tugas Menteri ESDM adalah Luhut Binsar Pandjaitan.
Selain Lampung, pembangunan proyek PLTM di sejumlah daerah pun memetik masalah. Misalnya, pembangunan proyek PLTM Ma’dong, Kecamatan Denpina, Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan, dilaporkan melanggar kesesuaian tata ruang dan merampas tanah rakyat. Sumber penghidupan di sana juga hilang. Kajian lingkungan, pembangunan PLTM menimbulkan sedimentasi dan penyempitan lahan yang memicu penurunan kualitas air. Menurunnya debit dan kualitas air dapat menyebabkan ancaman kekeringan.
Di Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat, pembangunan pembangkit listrik tenaga minihidro memicu konflik dengan masyarakat adat. Pada 2022, puluhan warga yang mengatasnamakan masyarakat adat Kampung Pinaga berunjuk rasa di lokasi proyek.
Di Sorong Selatan, Papua Barat, PLTM senilai Rp14,6 miliar yang dikerjakan oleh Kementerian ESDM mangkrak. Sementara, di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, sebanyak tujuh PLTM yang menelan uang rakyat sekitar Rp15 miliar diwarnai banyak persoalan, mulai dari mangkrak, tanggul jebol, dan tak sesuai bestek.
Mendulang Laba dari Transisi Energi
Isu energi bersih menjadi perhatian dunia seiring dampak krisis iklim. Pemerintah melakukan berbagai upaya dalam mendukung pencapaian target transisi energi menuju Net Zero Emission 2060. Salah satu upaya yang dilakukan adalah perdagangan karbon di subsektor pembangkit tenaga listrik, serta peningkatan kuantitas bauran energi baru terbarukan (EBT).
Terdapat beberapa mekanisme pembiayaan transisi energi yang diterapkan di Indonesia. Indonesia terlibat dalam Just Energy Transition Program (JETP) yang akan memobilisasi dana sebesar 20 miliar USD. Uang sebanyak itu merupakan pinjaman untuk membiayai upaya dekarbonisasi ekonomi berbasis batu bara. Mekanisme lain yang serupa, yakni Energy Transition Mechanism yang diprakarsai oleh Asian Development Bank.
Selain kedua mekanisme tersebut, terdapat platform multipihak RE Invest Indonesia yang diprakarsai Pusat Studi Tenggara Strategics bekerja sama dengan Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Ini semacam forum dialog investasi yang melibatkan pemerintah dan investor dari Indonesia, Cina, Jepang, dan Korea Selatan. Forum ini berperan sebagai arena untuk mempertemukan investor dan pelaksana proyek EBT. Forum RE Invest berperan dalam mendukung partisipasi Independent Power Producers (IPP) dan Public Private Utilities (PPU) di dalam pasar ketenagalistrikan Indonesia.
Investor swasta berperan signifikan dalam pembangunan EBT. Sejak 2022 hingga 2023, kontribusi IPP untuk EBT telah meningkatkan kapasitas energi listrik dari 12,616 MW menjadi 13,1 MW. Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, PLN merencanakan 51,6% pembangkit merupakan pembangkit EBT, di mana 56,3% pembangkit EBT akan dikembangkan oleh pihak swasta.
Tenaga air merupakan sumber EBT kedua terbesar setelah sinar surya. Dalam RUPTL 2021-2030, pembangkit listrik tenaga air mini dan mikro berpotensi menghasilkan 19,385 MW. Menurut kapasitasnya (MW), investasi swasta dalam pembangkit listrik berbasis air (IPP) hampir setara dengan yang dimiliki PLN.
Regulasi investasi EBT melalui platform RE Invest Indonesia diatur oleh Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal. Sedangkan Kementerian ESDM berperan dalam mengatur harga jual beli listrik, sebagaimana disepakati dalam Power Purchase Agreement antara IPP dan PLN.
Dua proyek yang diketahui terlaksana melalui platform RE Invest Indonesia, yakni proyek PLTM Way Melesom II dan PLTM Sumber Jaya. Dokumen proyek yang dilansir dari RE Invest Indonesia menerangkan kedua proyek dilaksanakan melalui modal pembiayaan Joint Crediting Mechanism (JCM).
Skema pembiayaan Joint Crediting Mechanism diprakarsai oleh pemerintah Jepang sebagai bagian dari komitmen mereka untuk mengurangi emisi gas rumah kaca melalui difusi teknologi dekarbonasi, infrastruktur, dan implementasi aksi mitigasi di negara-negara berkembang. Melalui skema JCM, Jepang telah menandatangani kesepakatan bilateral dengan 29 negara (sampai dengan Agustus 2024). Indonesia adalah salah satunya. Di Indonesia, sejak 2013, tercatat jumlah proyek di bawah skema JCM sebanyak 51.
Melalui forum pertemuan antarpemerintah seperti RE Invest Indonesia, kementerian terkait berperan dalam memfasilitasi hubungan antarperusahaan yang akan terlibat dalam proyek EBT. Di sisi pemerintah Jepang yang berperan adalah Kementerian Lingkungan, sedangkan di sisi Indonesia adalah Kementerian Investasi/BKPM dan Kementerian ESDM. Agensi pelaksana dari JCM sebagai perwakilan dari pemerintah Jepang adalah The Global Environment Centre Foundation (GEC).
GEC telah melaksanakan banyak proyek kerja sama internasional mencakup layanan asistensi teknis bagi negara-negara berkembang. Sementara itu, yang berperan dalam penyediaan teknologinya adalah perusahaan manufaktur. Dalam kasus PLTM Way Melesom II dan Way Besai, yakni Perusahaan WWS-Japan Co. anak Perusahaan dari Wasserkraft GmbH & Co KG (WWS) di Austria, yakni perusahaan penyedia teknologi turbin. Di kedua proyek itu, turbin yang digunakan berjenis horizontal axis Francis yang diproduksi WWS.
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Lampung menilai, pembangunan PLTM merupakan salah satu cara bertransformasi dari energi fosil ke energi ramah lingkungan. Namun, pola kebijakan pembangunan di Indonesia, khususnya energi hijau, cenderung dijadikan ruang untuk mendulang laba. Implementasi energi baru terbarukan dianggap baik karena pemerintah hanya melihat dari kacamata emisi, tanpa memerhatikan aspek sosial, masyarakat, dan lingkungan yang lain.
“Dalam banyak proyek, entah itu PLTM, PLTA, atau proyek strategis nasional lainnya, terkadang hanya memerhatikan aspek bisnis dan ekonomi ketimbang dampak sosial dan lingkungan,” kata Direktur Walhi Lampung Irfan Tri Musri.
Selain PLTM di Lampung, Irfan mencontohkan beberapa proyek seperti Bendungan Bener di Wadas, PLTA Poso di Sulawesi, dan pengembangan Eco-City di Rempang. Proyek-proyek itu disebut sebagai solusi untuk transisi energi, kawasan perdagangan, industri, dan pariwisata. Akan tetapi, prosesnya mengabaikan hak-hak masyarakat. Muncul kerusakan lingkungan, pencemaran, eksploitasi sumber daya alam, hilangnya biodiversitas, dan perampasan tanah rakyat. Keadaan ini berujung pada konflik sosial dan kerusakan ekosistem berkepanjangan.
Ia juga menyoroti minimnya keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan sebuah kebijakan. Kerap kali dalam pembangunan, suara masyarakat, apalagi yang terdampak, jarang menjadi prioritas pemerintah atau perusahaan. Padahal, kebijakan pemerintah seyogianya berangkat dari kebutuhan masyarakat.
“Hasilnya, masyarakat dipaksa menerima pembangunan yang belum tentu baik untuk kehidupannya. Lebih parah, pembangunan justru memihak pemilik modal ketimbang kesejahteraan masyarakat,” ujarnya.
Akademisi Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera Asfinawati menyatakan, segala pembangunan yang berdampak buruk pada lingkungan dan masyarakat bisa dipandang sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Pasal 28A UUD 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk hidup dan mempertahankan hidupnya. Kemudian, Pasal 28H ayat (1) menyebut setiap orang berhak sejahtera lahir-batin dan memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Mantan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) itu berpendapat, kewajiban untuk melindungi kehidupan juga menyiratkan bahwa negara harus mengambil langkah-langkah yang sesuai untuk mengatasi kondisi umum di masyarakat. Langkah-langkah dimaksud, yakni yang dapat menimbulkan ancaman langsung kehidupan, atau mencegah individu menikmati hak mereka untuk hidup bermartabat.
“Jadi, negara bisa diminta pertanggungjawaban apabila terjadi pembiaran ketika ada pembangunan yang merusak lingkungan dan mengancam hak hidup warga negara. Sebab, hak untuk hidup merupakan hak mutlak dan tidak bisa dikurangi (non-derogable right),” kata Asfinawati.(*)
Laporan Tim
Liputan ini mendapat dukungan dari Trend Asia sebagai upaya memperkuat pemberitaan isu infrastruktur terkait energi bersih.