Gerakan masyarakat sipil cenderung stagnan karena lemahnya pengorganisasian dan fragmentasi perjuangan. Kegagalan ini menunjukkan ketiadaan kekuatan progresif untuk mendorong perubahan. Gagasan membangun alternatif kekuasaan melalui partai rakyat menjadi signifikan bagi gerakan.
Pada Sabtu sore, 15 Februari 2025, suasana Universitas Lampung (Unila) terlihat tidak biasa. Bintang Ramadhan, mahasiswa Fakultas Hukum, melihat sejumlah anggota TNI berjaga di dekat pos Satuan Pengamanan (Satpam). Mereka berdiri tegak, memandang setiap orang yang masuk.
Ia melanjutkan langkahnya menuju Balai Rektorat, tempat konsolidasi akbar #IndonesiaGelap yang diprakarsai Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Mahkamah Fakultas Hukum (FH) Unila. Namun, ketika tiba di lokasi, kehadiran aparat keamanan membuatnya curiga.
“Jika menjawab ingin konsolidasi, maka disuruh putar balik,” katanya, mengutip perintah satpam. Bintang dan teman-temannya memutuskan mencari alternatif lain. Mereka ingin mengikuti konsolidasi tersebut.
Beberapa mahasiswa dari Institut Teknologi Sumatera (Itera) bergabung dengan rombongan Bintang. Mereka berhasil masuk ke sekitar Balai Rektorat, tempat yang seharusnya menjadi lokasi konsolidasi. Namun, sejumlah satpam datang dan melarang pertemuan tersebut. Alasan mereka sederhana: tidak ada izin. Menurut Bintang, pelarangan itu langsung dari petinggi kampus.
Bintang berdebat dengan satpam. “Konsolidasi ini bagian dari kebebasan berekspresi,” katanya. Satpam tidak terpengaruh. Mereka melarang konsolidasi.
Seorang dosen muncul, memperkuat larangan itu. “Tidak ada izin,” ujarnya.
“Konsolidasi tidak memerlukan izin,” jawab Bintang. “Kebebasan berekspresi dan berpendapat adalah hak fundamental dalam kehidupan berdemokrasi.” Ia penasaran, mengapa pihak kampus membatasi hak tersebut.
Perdebatan panjang antara Bintang dan pihak rektorat berakhir tanpa kesepakatan. Akhirnya, Bintang membatalkan konsolidasi karena khawatir ricuh. Kehadiran satpam dan anggota TNI di lokasi memperkuat keputusan tersebut.
“Kami tidak ingin ada kericuhan yang mengacaukan gerakan,” ujar Bintang, menjelaskan alasan di balik keputusannya.
Shadiq Daffa, Ketua UKM-F Mahkamah Unila, tiba di lokasi dengan wajah serius. Ia terlambat, tapi segera menuju lokasi setelah mendengar kabar pelarangan konsolidasi.
Shadiq bergabung dengan Bintang dan mahasiswa lainnya, yang masih terkejut dengan keputusan kampus. Dengan nada tegas, Shadiq menyampaikan pernyataan terbuka.
“Kami mengecam tindakan kampus,” ucapnya. “Kami hanya ingin berdiskusi, tapi dilarang.”
Shadiq menyebut pelarangan konsolidasi mahasiswa oleh Unila sebagai bentuk represi terhadap kebebasan akademik. Tindakan ini, menurutnya, bertentangan dengan UUD 1945 yang menjamin hak berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Ia juga mengkritik kehadiran anggota TNI di kampus, yang menimbulkan ketakutan di kalangan mahasiswa.
“Mahasiswa harus bisa berdiskusi dan berbagi ide tanpa rasa takut,” kata Shadiq.
Kegelisahan mahasiswa terhadap kondisi sosial dan hukum yang memburuk menjadi pemicu konsolidasi. Isu penggusuran warga Sabahbalau, Lampung Selatan, yang mengalami kekerasan oleh aparat dan kehilangan tempat tinggal, menjadi salah satu sorotan.
Masih banyak lagi isu yang menjadi perhatian, seperti pembabatan hutan, krisis iklim, korupsi, dan kebijakan yang memperburuk nasib rakyat. PHK, perampasan lahan, krisis pendidikan, ketidakadilan, dan kesejahteraan buruh juga menjadi sorotan. Kampus sepatutnya mendukung upaya mereka, bukan malah menghambat.
“Salah satu yang kami perjuangkan juga merupakan hak mereka,” katanya, mengacu pada tunjangan kinerja dosen yang belum dibayarkan. “Mengapa mereka tidak mendukung kami?”
Shadiq berharap, pelarangan konsolidasi tidak terulang lagi. Menurutnya, tindakan represif seperti itu bukan hanya mencoreng nama baik kampus, tetapi juga mengancam kehidupan berdemokrasi.
Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Alumni Fakultas Hukum Unila Rudi Natamiharja memiliki pandangan berbeda. Ia menyebutkan bahwa pelarangan konsolidasi hanya masalah komunikasi. Pandangannya terkesan santai, namun bagi Shadiq dan mahasiswa lainnya, masalahnya jauh lebih kompleks daripada sekadar persoalan komunikasi.
Rudi bilang, Unila tidak menerima informasi tentang rencana konsolidasi mahasiswa. Kegagalan komunikasi ini membuat mereka enggan mengambil risiko. Jika mahasiswa telah mengajukan izin, Unila siap menyediakan ruang untuk kegiatan tersebut. Kendati demikian, ia menyatakan tak tahu soal penyetopan mahasiswa oleh satpam saat konsolidasi.
Sehari sebelumnya, pihak rektorat mengadakan pertemuan untuk membahas kebijakan baru. Kebijakan tersebut mensyaratkan setiap orang yang masuk ke Unila harus memiliki tujuan jelas.
“Kami tidak menerima informasi yang jelas tentang konsolidasi tersebut, termasuk penanggungjawabnya,” kata Rudi.
Meskipun mahasiswa telah menjelaskan maksud dan tujuan konsolidasi, Rudi masih memerlukan informasi formal mengenai penyelenggara dan penanggung jawab kegiatan tersebut. Ia membutuhkan kejelasan tentang siapa yang bertanggung jawab. Namun, ia mengaku belum mengetahui informasi soal kehadiran aparat TNI saat konsolidasi, yang telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan mahasiswa.
***
Senin, 17 Februari 2025, kantor DPRD Provinsi Lampung menjadi saksi aksi demonstrasi. Ratusan mahasiswa berkumpul di depan pintu masuk, mengangkat suara dengan slogan-slogan yang penuh semangat. Wajah serius dan penuh tekad terlihat di antara kawat berduri. Teriakan mereka bergema di udara, menuntut perubahan yang lebih baik.
Aksi demonstrasi ini merupakan bagian dari protes mahasiswa terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap melanggar hak-hak publik dan memengaruhi kualitas hidup. Mahasiswa dari berbagai kampus di Lampung, tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Lampung, memadati jalan di depan gedung parlemen, menunjukkan kesatuan dan kekuatan.
Sehari setelah pelarangan konsolidasi akbar, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unila mengeluarkan seruan konsolidasi baru. Kali ini, konsolidasi tersebut bertajuk “Konsolidasi Internal” dan dikhususkan untuk mahasiswa Unila saja. Berbeda dengan konsolidasi sebelumnya yang mengundang seluruh lapisan masyarakat, konsolidasi ini lebih tertutup dan fokus pada internal kampus.
Lokasi konsolidasi juga memiliki makna mendalam, yaitu di Balai Rektorat, tempat Bintang, Shadiq, dan kawan-kawannya dibubarkan sebelumnya. Dalam konsolidasi tersebut, mahasiswa sepakat untuk menggelar aksi di kantor DPRD Provinsi Lampung, Senin, 17 Februari 2025, sebagai bentuk protes dan penegasan hak-hak warga.
Saat yang sama, Aliansi Mahasiswa Lampung, yang terdiri dari BEM dan organisasi mahasiswa lain dari beberapa kampus, juga menggelar konsolidasi. Mereka kemudian bergabung dalam aksi besar pada hari yang sama, membentuk gelombang protes yang lebih luas. Peserta aksi tak hanya mahasiswa, tapi juga kelompok masyarakat sipil, seperti organisasi nonpemerintah (NGO).
Tuntutan-tuntutan yang disampaikan dalam aksi tersebut mencakup pencabutan Inpres Nomor 1 Tahun 2025 dan Program Makan Siang Gratis. Kemudian, penempatan pendidikan dan kesehatan sebagai prioritas utama pemerintah.
Setelah lebih dari lima jam berteriak dan mendesak untuk bertemu dengan anggota dewan, massa aksi akhirnya ditemui oleh seorang legislator. Ia menyampaikan bahwa seluruh anggota DPRD tidak berada di kantor karena sedang mengikuti diklat di Jakarta.
Wakil rakyat itu berdiri di depan mahasiswa dengan wajah tenang. Ia meminta mahasiswa untuk menyampaikan tuntutan mereka. Tuntutan tersebut mencakup evaluasi kinerja aparat dalam penanganan kasus HAM di Provinsi Lampung serta penyelesaian masalah sampah, banjir, dan infrastruktur di Kota Bandar Lampung.
Mahasiswa awalnya tidak puas karena hanya diwakili oleh satu orang. Mereka menginginkan seluruh anggota DPRD dapat menerima tuntutan secara langsung. Namun, di tengah hujan deras, mereka terpaksa menyerahkan tuntutan tersebut kepada perwakilan.
Legislator tersebut berjanji akan menjadi penghubung antara mahasiswa dan para anggota parlemen, serta menyampaikan tuntutan mereka ke pemerintah pusat. Setelah itu, mahasiswa membubarkan diri, meninggalkan kantor DPRD yang basah oleh hujan.
Aksi tersebut berakhir dengan damai, namun pola yang sama terulang kembali. Gerakan masyarakat sipil masih belum menunjukkan perubahan signifikan dalam strategi dan taktik. Konsolidasi dan aksi di depan institusi-institusi negara masih menjadi langkah-langkah yang sama, tanpa ada kemajuan yang berarti. Jarang ada aksi lanjutan, dan kehidupan kembali berjalan seperti biasa, seolah-olah tidak ada yang berubah.
Stagnasi Gerakan Masyarakat Sipil
Di mata Robertus Robet, seorang sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta, pola gerakan masyarakat sipil di Lampung terlihat terjebak dalam stagnasi. Meskipun mahasiswa, petani, dan cendekiawan selalu sigap merespons ancaman-ancaman terhadap demokrasi, gerakan ini masih belum mampu menghasilkan perubahan yang berarti.
Selama enam tahun terakhir, gelombang aksi massa telah bergulir, namun hasilnya tidak signifikan. Gerakan masyarakat sipil yang dimotori kelas menengah, terutama mahasiswa dan NGO, belum mampu memengaruhi kebijakan secara mendasar.
Aksi-aksi besar, mulai #ReformasiDikorupsi, #MosiTidakPercaya, #PeringatanDarurat, hingga #IndonesiaGelap, tidak mampu menghentikan kebijakan kontroversial seperti revisi UU KPK, Omnibus Law, dan UU Minerba. Meskipun aksi-aksi itu berhasil memobilisasi massa di berbagai daerah, namun kebijakan tersebut tetap berjalan.
Robertus melihat stagnasi gerakan masyarakat sipil sebagai akibat dari beberapa kelemahan mendasar. Pengorganisasian yang sederhana membuat gerakan kekurangan daya tahan untuk menghadapi kompleksitas politik. Para penggerak gerakan juga cenderung terlalu normatif, sehingga sering terlambat membangun aliansi strategis dengan aktor lain.
“Untuk membangun kekuatan masyarakat sipil yang kuat, dibutuhkan organisasi yang mampu merangkul dan membesarkan gerakan,” katanya.
Menurut Robertus, pegiat HAM yang telah lama mengamati dinamika gerakan masyarakat sipil, saatnya kembali ke cara-cara klasik. Membangun gerakan yang kuat membutuhkan fondasi yang kokoh, dan itu berarti memfokuskan prioritas pada pengorganisasian serta memperkuat basis.
“Dari sana, segala hal seperti taktik, strategi, akomodasi, dan konfrontasi dapat dikembangkan,” ujar Robertus.
Aktivis senior Donny Ardyanto melihat stagnasi gerakan tersebut sebagai akibat dari dua faktor utama: lemahnya pengorganisasian dan fragmentasi perjuangan. Gerakan masyarakat sipil yang didominasi oleh kelas menengah dari kalangan NGO dan mahasiswa belum solid dan terpecah menjadi kelompok-kelompok kecil yang masing-masing fokus pada isu spesifik.
Ia mengingat masa lalu ketika petani berdemo, organisasi nonpemerintah akan memberikan dukungan. Namun, saat ini, situasinya berbeda. Fragmentasi dan pergerakan berdasarkan isu masing-masing telah menjadi ciri khas gerakan sipil yang terpecah dan lemah.
Menurutnya, NGO dan buruh tidak lagi bersatu dalam aksi demonstrasi. Mereka lebih memilih untuk fokus pada isu masing-masing, sehingga tidak ada kesatuan dalam perjuangan. Keadaan ini membuat gerakan masyarakat sipil menjadi tidak solid dan kurang dalam bersolidaritas
“Tidak ada lagi tujuan bersama yang dapat mempersatukan dan memotivasi perjuangan,” kata Donny.
Bangun Kekuatan Politik Alternatif
Pendapat Donny ihwal kurangnya solidaritas dalam gerakan masyarakat sipil terlihat jelas dalam kasus Bintang, Shadiq, dan kawan-kawannya. Ketika mereka mengalami pembungkaman, tidak ada solidaritas kolektif dari kalangan mahasiswa dan masyarakat sipil. Kasus mereka dianggap personal, bukan sebagai ancaman terhadap kehidupan berdemokrasi.
Di Lampung, catatan tentang represi terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat terus bertambah. Beberapa mahasiswa mengalami intimidasi, teror, dan bahkan pelaporan ke polisi hanya karena menyampaikan pendapat mereka. Skorsing dan drop out menjadi konsekuensi yang harus mereka hadapi.
Kasus terbaru yang mencerminkan represi terhadap kebebasan berekspresi di Lampung adalah pelaporan dua mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Metro ke polisi. Tuduhan pencemaran nama baik melalui UU ITE menjadi alasan dekan fakultas mereka sendiri untuk melaporkan mahasiswa tersebut.
Semuanya bermula ketika mahasiswa tersebut membentangkan spanduk kritis tentang fasilitas kampus saat menyambut mahasiswa baru. Tindakan ini dianggap terlalu berani oleh pihak kampus, sehingga Senat Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Metro pun dibekukan sepihak oleh dekan. Meskipun penyelidikan masih berlanjut dan kedua mahasiswa tersebut sudah dipanggil ke kantor polisi, reaksi dari masyarakat sipil dan kalangan mahasiswa terhadap peristiwa ini relatif minim.
Menurut Donny, gerakan masyarakat sipil saat ini telah kehilangan fokusnya. Mereka lebih sibuk dengan gerakan moral melalui mobilisasi massa, daripada membangun kesadaran politik yang kuat. Banyak aktivis masih memiliki pandangan antipolitik, padahal setiap gerakan perjuangan di negara demokrasi melalui ruang politik.
“Kebijakan lahir dari keputusan politik, sehingga jalur yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan adalah melalui kekuatan politik,” ujarnya.
Donny menekankan bahwa membangun kekuatan politik alternatif adalah langkah penting untuk memperkuat demokrasi. Dengan demikian, gerakan tersebut dapat memiliki posisi tawar yang kuat dalam pengambilan keputusan. Perubahan kebijakan hanya dapat terwujud jika didukung oleh kekuatan politik yang kuat dan berakar pada kepentingan masyarakat.
Ia juga mengkritik partai politik yang korup dan menyarankan pembangunan kekuatan partai politik rakyat yang sesuai dengan visi dan tujuan bersama. Ini adalah langkah yang diperlukan untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil mencerminkan kepentingan masyarakat secara keseluruhan, bukan hanya kepentingan elite politik.
Donny mencontohkan kehadiran partai-partai politik yang berhasil mengubah dinamika politik di negara-negara tertentu. Misalnya, Podemos di Spanyol dan Move Forward Party di Thailand. Meskipun mereka menghadapi tantangan yang berat, partai-partai tersebut berhasil memengaruhi keputusan politik di negara masing-masing.
“Di Thailand, Move Forward Party mampu mewarnai keputusan politik yang masih kental dengan feodalisme, meskipun akhirnya mereka dihalangi oleh kekuatan militer dan kerajaan,” kata Donny.
Peneliti Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D) itu menekankan pentingnya partai rakyat dalam memperkuat demokrasi. Melalui partai rakyat, pengorganisasian di masyarakat, penyadaran politik, dan penguatan perspektif dapat dilakukan secara efektif. Hal ini memungkinkan gerakan memiliki akar dan konsep yang kuat, sehingga dapat mencapai tujuannya dengan lebih baik.
Dengan demikian, partai rakyat dapat berperan sebagai katalisator perubahan sosial dan politik yang lebih besar. Membuka peluang untuk perubahan yang signifikan dalam tatanan politik suatu negara, seperti peningkatan partisipasi politik dan perubahan dalam tatanan kekuasaan.(*)
Laporan Derri Nugraha
Liputan ini mendapat dukungan dari Yayasan Kurawal sebagai upaya memperkuat demokrasi melalui jurnalisme independen.