Sebagian besar kasus kekerasan terhadap jurnalis tidak diusut tuntas. Hal itu menunjukkan praktik impunitas atas kejahatan terhadap jurnalis terus berlanjut. Hak publik memperoleh informasi pun terancam.
Ahmad Amri baru saja selesai salat subuh. Bangun pagi buta memang menjadi rutinitas pria yang bekerja sebagai jurnalis itu. Baginya, kebiasaan tersebut baik untuk kesehatan. Sebab, mandi saat subuh membuat tubuhnya lebih segar.
Di dapur, Liza Diana, istri Amri, sibuk menyiapkan sarapan. Ikan goreng menjadi menu andalan untuk suaminya memulai pekerjaan.
Terkadang, Liza merasa khawatir dengan keselamatan sang suami. Menurutnya, menjadi jurnalis penuh risiko. Meski demikian, Liza mendukung pekerjaan suaminya.
Pagi itu, Jumat, 22 Oktober 2021, Amri bersiap-siap bekerja. Ia mengenakan kemeja dipadu celana dasar dan pantofel. Selesai sarapan, Amri tancap gas menuju Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung.
Amri hendak menemui salah satu pegawai kejati untuk mengonfirmasi temuannya di lapangan. Beberapa hari sebelumnya, ia menerima informasi bahwa jaksa bernama Anton Nur Ali terindikasi menerima uang dari salah satu keluarga terpidana kasus pembalakan liar.
Sebelum menemui Anton, Amri lebih dahulu meminta konfirmasi lewat WhatsApp. Namun, tidak mendapat tanggapan. Itulah mengapa Amri memutuskan menemui Anton di Kejati Lampung. Ia paham bahwa konfirmasi adalah prinsip penting dalam jurnalisme.
Sesampai di Kejati Lampung, Amri menunggu di ruangan pers sambil minum teh. Sembari menunggu Anton, Amri juga menanyakan dugaan suap tersebut kepada I Made Agus Putra, Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Lampung, melalui WhatsApp. Pesan itu dibalas. Namun, Made minta bertemu siang hari.
Tak lama, seorang pria berambut cepak keluar dari kejati menuju halaman parkir. Orang itu adalah Anton. Amri mengenalinya karena sering meliput isu kriminal dan hukum. Itu sebabnya, ia kenal beberapa pegawai yang bekerja di sana.
Amri segera menghampiri Anton untuk mendapat konfirmasi. Namun, Anton menolak wawancara di tempat itu. Ia mengajak Amri ke ruang kerjanya di lantai dua. Ketika menuju ruangan, Anton meminta Amri untuk menitipkan semua barang, termasuk ponsel, ke pos penjagaan.
Amri sempat menolak. Sebab, handphone merupakan bagian alat kerjanya sebagai wartawan.
“Oh enggak, itu sudah aturannya. Harus disimpan semua (barang bawaan),” kata Anton.
Amri kemudian meminta agar wawancara di ruangan pers. Tetapi, Anton tetap meminta wawancara di ruangannya. Demi memperoleh konfirmasi, Amri terpaksa menaruh semua barang bawaannya ke pos, lalu mengikuti Anton.
Tatkala sampai di ruangan, Anton langsung mengintimidasi Amri. Bahkan, Amri tak sempat mengajukan pertanyaan untuk mengonfirmasi dugaan suap.
“Kamu seolah menuduh saya. Pesan kamu sudah saya screenshot, sudah saya koordinasikan dengan polda, kena kamu Undang-undang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik),” kata Anton.
Amri hanya diam.
“Saya juga dari kemarin sudah nyari kamu bawa dua orang, tapi gak ketemu saja,” lanjut Anton. Mencari dimaksud berhubungan dengan pesan WhatsApp yang dikirim Amri kepada Anton. Pesan itu terkait permintaan konfirmasi soal dugaan suap yang melibatkan Anton. Bahkan, Anton juga bilang, akan ada orang yang menghubungi Amri. Orang itu suruhan Anton.
Anton terus mengoceh. Sedangkan Amri sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk bicara. Akhirnya, Anton menyudahi pertemuan, lalu meninggalkan Kejati Lampung.
Amri bingung atas intimidasi yang dialaminya. Padahal, maksud kedatangannya hanya untuk memastikan kebenaran informasi yang ia terima.
Sebenarnya, Amri hendak melaporkan intimidasi tersebut ke polisi. Namun, niat itu diurungkan karena tidak memiliki bukti.
“Alat kerja saya dititipkan, (jadi) saya tak bisa merekam kejadian itu,” ujarnya.
Kabar intimidasi itu pun beredar di kalangan jurnalis. Media beramai-ramai mewartakan. Sore hari, Kejati Lampung menggelar jumpa pers. Di hadapan wartawan, Anton membantah kronologi yang diceritakan Amri. Ia mengatakan hal tersebut hanya salah paham.
Amri ikhlas atas peristiwa yang dialaminya. Ia cuma mengingatkan agar setiap orang, termasuk penegak hukum, menghormati kerja-kerja jurnalistik.
“Dukung jurnalis dalam profesinya, jangan halang-halangi. Sebab, jurnalis merupakan wakil dari publik untuk menyampaikan informasi,” kata Amri.
***
Bias sinar mentari mengenai mata Salda Andala yang berkendara di jalan protokol Bandar Lampung. Hari itu, Senin, 24 Januari 2022, ia akan meliput ke Polda Lampung. Salda mendapat kabar bahwa Polda Lampung hendak mengekspose peredaran pupuk ilegal.
Tetapi, ia tak begitu lama di sana. Sebab, Salda memiliki proyeksi lain. Ia punya janji dengan teman sejawat, wartawan Lampung TV Dedi Kapriyanto, untuk meliput di Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Bandar Lampung.
Seminggu sebelumnya, Salda dan Dedi mulai mengikuti keluhan dari sekelompok masyarakat terkait sertifikat dalam program Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).
Kepada mereka, masyarakat mengaku bahwa sudah mendaftarkan sertifikat itu sejak 2017. Namun, hingga kini, belum ada kejelasan kapan sertifikat akan terbit. Salda dan Dedi mulai memberitakan persoalan itu. Salda coba mengonfirmasi kepada BPN ihwal mandeknya penerbitan sertifikat tersebut.
Pihak BPN melalui Kepala Seksi Penetapan Hak dan Pendaftaran Heru Setiyono mengatakan, pemberkasan yang tak sesuai prosedur antara masyarakat dan pegawai BPN yang lama. Heru menyampaikan hal itu melalui sambungan telepon, Rabu, 19 Januari 2022.
Beberapa hari setelah berita itu terbit, Salda dan Dedi kembali menerima informasi. Puluhan warga akan mendatangi kantor BPN. Mereka hendak meminta kejelasan soal sertifikat.
Berbekal informasi itulah Salda dan Dedi sepakat membuat janji bertemu di kantor BPN. Waktu itu, Dedi datang lebih dahulu. Sedangkan Salda menyusul karena masih liputan di polda. Dedi tiba di kantor BPN sekitar jam sepuluh pagi. Di sana, Dedi mengisi buku tamu elektronik.
Salda baru tiba sekitar jam sebelas. Mereka tak langsung meliput. Sebab, warga yang datang sejak pagi belum memperoleh izin untuk bertemu Kepala BPN Bandar Lampung Djudjuk Trihandayani.
Syahdan, Salda dan Dedi menunggu di kantin. Sekitar satu jam, sejumlah warga itu dipersilakan memasuki kantor BPN.
Melihat hal tersebut, naluri Salda dan Dedi sebagai jurnalis bekerja. Mereka dengan sigap mengambil gambar dengan peralatan masing-masing. Salda menggunakan ponsel, sedangkan Dedi merekam dengan handycam. Selang dua menit, tiga satpam BPN menghampiri mereka.
Salah satu dari mereka menanyakan surat izin meliput. Salda menunjukkan kartu identitas sebagai wartawan. Namun, satpam dimaksud menolak dan tetap meminta surat izin. Dalam situasi itu, anggota satpam perempuan berupaya merampas handycam sekaligus melarang Salda dan Dedi merekam. Dedi menyampaikan bahwa tujuan mereka meliput bukan untuk kepentingan pribadi, melainkan untuk publik.
“Gak bisa. Ini (meliput) untuk kepentingan publik, bukan untuk kepentingan pribadi,” kata Dedi.
Tindakan serupa dilakukan satpam lainnya. Ia berusaha merebut telepon genggam milik Salda. Namun, dengan cepat Salda mengelak, sehingga gawai itu tak berhasil dirampas. Tak hanya itu, sang satpam juga meminta salda dan Dedi menghapus foto/video.
“Hapus… Hapus itu, silakan pergi!” ujar salah satu satpam seraya menutup gerbang kantor BPN.
Salda menyesalkan peristiwa itu. Menurutnya, akibat kejadian tersebut, hak publik untuk mendapatkan informasi menjadi terhambat.
“Kami tidak dapat berita, tentu saja itu merugikan kami dan hak publik mendapat informasi menjadi hilang,” kata Salda.
Besoknya, Salda dan Dedi melaporkan pengusiran dan upaya perampasan alat kerja itu ke Polresta Bandar Lampung. Laporan tersebut tertuang dalam surat bernomor LP/B/200/1/2022/SPKT/Polresta Bandar Lampung/Polda Lampung. Pasal yang disangkakan, yaitu Pasal 18 UU 40/1999 tentang Pers. Pasal ini mengatur soal penghalang-halangan aktivitas jurnalistik.
***
Tidak Diusut Tuntas
Kekerasan terhadap Amri, Salda, dan Dedi hanya sebagian kecil dari persoalan kebebasan pers. Catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung, selama tiga tahun terakhir, kekerasan terhadap jurnalis di Lampung meningkat. Perinciannya, lima kasus pada 2019, enam kasus pada 2020, dan tujuh kasus pada 2021.
Beberapa kekerasan yang sering terjadi, antara lain intimidasi, pengusiran, pelarangan peliputan, dan pemukulan. Dari keseluruhan kasus tersebut, tak satu pun diusut tuntas alih-alih diadili secara hukum.
Secara nasional, AJI Indonesia melaporkan, selama Januari hingga Desember 2021, sebanyak 43 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Namun, hanya satu kasus yang diproses di pengadilan dan pelakunya dihukum.
Laporan Unesco pada 2021 menyebut, jurnalis di seluruh dunia menghadapi risiko dan ancaman serius setiap hari. Mulai serangan, intimidasi, dan bahkan pembunuhan. Hal itu terjadi hanya karena menunaikan pekerjaan mereka – melaporkan berita dan menyampaikan informasi kepada publik.
Beberapa dekade terakhir, seorang jurnalis rata-rata dibunuh setiap empat hari. Selama enam belas tahun terakhir, 1.252 jurnalis di seluruh dunia terbunuh. Bahkan, hanya dalam waktu setahun, 2020-2021, sebanyak 86 jurnalis dilaporkan terbunuh. Kawasan asia dan pasifik masuk dalam kategori berbahaya dan paling berisiko pada periode itu.
Sementara, penyelesaian hukum atas kekerasan-kekerasan itu sangat minim. Dalam rentang waktu 2006-2019, dari 1.116 kasus pembunuhan, sekitar 650 kasus belum terselesaikan. Sebanyak 366 kasus tak ada kabar. Hanya 151 kasus yang terselesaikan. Hal itu menunjukkan praktik impunitas atas kejahatan terhadap jurnalis terus berlanjut.
Di Lampung, kekerasan terhadap Salda dan Dedi menjadi perhatian komunitas pers. Beberapa organisasi jurnalis merasa resah. Sebab, banyak kasus kekerasan terhadap pewarta berujung tak jelas.
Mereka kemudian bersepakat membentuk Koalisi Pembela Kebebasan Pers Lampung. Koalisi ini terdiri dari AJI Bandar Lampung, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Pengurus Daerah (Pengda) Lampung, Pewarta Foto Indonesia (PFI) Lampung, dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Lampung. Mereka berharap, kekerasan terhadap Salda dan Dedi adalah kasus terakhir.
“Ada beberapa kasus kekerasan terhadap jurnalis yang dilaporkan ke polisi. Namun, penyelesaiannya cenderung tidak jelas dan tak ada produk hukum yang dikeluarkan,” kata Direktur LBH Pers Lampung Chandra Bangkit.
Ihwal kasus pengusiran dan upaya perampasan alat kerja jurnalis di kantor BPN, Chandra mendorong penegakan hukum yang bersih. Sebab, kasus tersebut bisa menjadi momentum dalam penegakan UU Pers dan komitmen aparat menjamin kebebasan pers.
Tanggung Jawab Perusahaan Pers
Awal Februari lalu, koalisi menggelar diskusi publik bertajuk “Memutus Rantai Kekerasan Terhadap Jurnalis” di sekretariat IJTI Lampung, Kelurahan Gulak Galik, Telukbetung Utara, Bandar Lampung. Diskusi ini berangkat dari kasus-kasus kekerasan yang tidak diusut serius, lalu pelaporan Salda dan Dedi ke polisi dengan UU Pers.
Berbagai kalangan menghadiri diskusi, mulai dari jurnalis, pers mahasiswa, kelompok masyarakat sipil, hingga pejabat publik. Hadir pula dua ahli pers Dewan Pers, yaitu Iskandar Zulkarnain dan Donald Harris Sihotang.
Saat berdiskusi, Donald tidak spesifik menyoroti soal banyaknya kasus kekerasan terhadap jurnalis yang tak diusut tuntas. Ia menyampaikan bahwa penting mensosialisasikan UU Pers. Sehingga, semua pihak memahami aktivitas jurnalisme dan Kode Etik Jurnalistik.
“Harapannya, kekerasan terhadap jurnalis bisa diminimalkan,” kata Donald.
Demikian pula dengan koleganya, Iskandar. Ia bilang, seorang jurnalis dalam aktivitasnya harus merujuk Kode Etik Jurnalistik. Itu sebagai langkah menjalankan profesi jurnalis yang baik dan benar. Hal penting lainnya adalah jurnalis perlu mengantongi sertifikat uji kompetensi.
Pemimpin Redaksi Lampung Post itu juga menanggapi kekerasan yang menimpa anak buahnya, Salda. Dia mendorong pelaporan terhadap kasus tersebut. Sebab, dalam bertugas, jurnalis dilindungi oleh undang-undang.
Perwakilan koalisi, Hendry Sihaloho berpendapat, ketika terjadi kekerasan terhadap jurnalis, maka yang terdepan adalah perusahaan pers, bukan organisasi jurnalis. Sebab, perusahaan pers bertanggung jawab atas keselamatan jurnalisnya.
Menurutnya, jarang terdengar sikap resmi dari perusahaan pers ketika jurnalisnya mengalami kekerasan. Alih-alih mendorong penegakan hukum, justru sikap perusahaan pers cenderung permisif terkait kekerasan terhadap jurnalis.
“Justru saya bertanya tentang komitmen perusahaan pers yang permisif. Sebenarnya, Anda berdiri di mana?” kata Hendry.
Sementara itu, Polresta Bandar Lampung telah memeriksa 10 orang dalam perkara Salda dan Dedi. Sejauh ini, kepolisian belum menetapkan tersangka. Polresta perlu waktu untuk menyelidiki karena banyak saksi yang diperiksa.
“Ada pemeriksaan tambahan untuk kelengkapan administrasi. Untuk perkembangannya akan disampaikan secara transparan,” ujar Kasat Reskrim Polresta Bandar Lampung Kompol Devi Sujana, Selasa, 8 Februari 2022.
Berdampak Negatif Bagi Publik
Salah satu ciri penting dari negara demokrasi adalah keterbukaan informasi. Selain fungsi kontrol sosial, aktivitas jurnalisme para wartawan juga memenuhi hak publik atas informasi. Jika kekerasan terhadap jurnalis terus berlanjut, maka akan membawa dampak negatif bagi masyarakat.
“Sebagai bagian dari hak asasi manusia, hak atas informasi dijamin dalam Pasal 28 F Undang-undang Dasar 1945,” kata Ketua Komisi Informasi Lampung Ahmad Alwi Siregar.
Alwi mengatakan, pelaksanaan keterbukaan informasi publik itu ditopang oleh keberadaan pers sebagai salah satu pilar demokrasi. Sebab, jurnalis bertugas mengabarkan dan menjamin informasi untuk publik.
“Maka, ketika wartawan yang melakukan kerja jurnalistik secara profesional dan sesuai prosedur mendapat kekerasan, hal itu telah mencederai hak publik atas informasi,” ujarnya.
Soal pengusiran dan upaya perampasan alat kerja jurnalis di kantor BPN, Alwi menilai hal itu seyogianya tak terjadi. Dalam UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik sudah dirumuskan hak dan kewajiban warga dalam memperoleh informasi. Demikian juga dengan badan publik, dalam hal ini BPN sebagai penyedia informasi.
“Tentunya jurnalis dengan UU Pers memiliki kewajiban menyampaikan informasi kepada publik. Pada sisi lain, badan publik juga memiliki kewajiban menyediakan informasi,” kata Alwi.(*)
Laporan Derri Nugraha dan M Yoga Nugroho