Sebagai akademisi, Adam Seligman memilih melawan arus. Tak hanya mengkritik konsep masyarakat sipil, ia juga menentang pandangan dominan ihwal universalitas pengetahuan. Kegelisahannya akan perkembangan ilmu sosial mendorong Adam terus bergerak.
Riwanto Tirtosudarmo | Bekerja di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sejak 1980-2017 | Kini Peneliti Independen
Hari menjelang malam ketika kami selesai berdialog dengan tetua dan warga Desa Tli’u, sebuah desa terpencil di Timor Barat. Dialog dengan warga desa yang mayoritas penduduknya muslim ini bagian dari rangkaian acara Summer School CEDAR di Indonesia pada 2019. Pemrakarsanya adalah Adam Seligman bekerja sama dengan Institute of Resource Governance and Social Change (IRGSC), Kupang.
Saat itu, tinggal kami bertiga duduk di bawah pohon asam yang rimbun, yaitu saya, Adam, dan Emil (peserta dari Kyrgistan). Adam mengatakan, terdengar seperti sebuah pengakuan dosa, bahwa ia telah merasa cukup bekerja sebagai akademisi, mengajar, menulis buku dan artikel ilmiah.
Menurut Adam, rasanya sudah tidak ada lagi yang perlu dilakukan dan saatnya meninggalkan dunia akademik dan melakukan sesuatu yang bermanfaat untuk masyarakat. CEDAR singkatan dari Community Engaging Difference and Religion, persis dibuatnya untuk itu. Summer School yang diselenggarakannya hampir setiap tahun adalah semacam pelatihan atau workshop. Pesertanya dipilih dari latar belakang yang berbeda untuk selama dua minggu hidup bersama mengikuti rangkaian acara yang berisi tiga komponen pokok: belajar di kelas, mengasah afeksi, dan belajar dari pengalaman langsung dengan komunitas.
Desa Tli’u tipikal seperti desa-desa di Timor, kering dan terbatas jenis tanaman yang bisa tumbuh. Kambing dan babi sering terlihat berkeliaran, meskipun mayoritas penduduknya beragama Islam. Desa ini sangat bagus sebagai tempat para peserta Summer School untuk “live in”. Di sini, kita bisa menemukan sebuah komunitas lokal yang beragama minoritas, Islam, ditengah agama Kristen yang dianut mayoritas penduduk Timor. Keprihatinan utama Adam Seligman, seorang profesor di Department of Religion, School of Arts and Social Sciences di Boston University, Amerika Serikat; adalah bagaimana bisa hidup bersama dengan yang lain.
Dengan keprihatinannya yang mendalam tentang problem hidup bersama, tak mengherankan jika Adam Seligman memilih menyelenggarakan Summer School yang pertama di Bosnia, Herzegovina dan Croatia pada 2003; dengan fokus peran agama dalam konflik yang berlangsung di bekas negara Cekoslovakia. Sejak itu, dengan isu utama yang sama, Summer School diadakan di Israel, Turki, UK, Ciprus, Israel, Bulgaria, Indonesia, Cina, Jepang, Amerika Serikat, Uganda, Kenya, dan Kyrgistan.
Saya berkenalan dengan Adam Seligman dalam sebuah seminar yang diadakan oleh Pusat Penelitian Politik LIPI, tahun 2016. Waktu itu, saya masih belum pensiun dan LIPI belum menjadi BRIN. Seingat saya, seminar tersebut mengenai toleransi dalam masyarakat yang multiagama, seperti Indonesia. Adam datang bersama Elcid Li dari IGRSC Kupang dan Irene Gayatri, peneliti dari Pusat Penelitian Politik LIPI. Selain Adam Seligman, pembicara dalam seminar kecil ini adalah Dr. Najib Burhani – saat itu masih menjadi peneliti di Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan, LIPI. Usai seminar, saya sempat mengobrol dengan Adam tentang penelitian yang sedang saya lakukan pada sebuah agama lokal di Banyumas, Jawa Tengah.
Yang saya ingat, Adam terlihat tertarik dengan penelitian itu dan mengatakan pentingnya komunitas dan tradisinya. Pertemuan dengan Adam Seligman ternyata berlanjut karena CEDAR dan IRGSC menyelenggarakan Summer School di Indonesia pada 2019.
Saya juga mulai mengenal Adam dari buku-bukunya yang cukup banyak. Saya melihat Adam sebagai akademisi yang memiliki sudut pandang berbeda dengan umumnya akademisi barat yang mengagung-agungkan masyarakat sipil. Adam justru mengkritik konsep masyarakat sipil yang dalam perspektifnya telah tercerabut dari komunitas dengan tradisinya. Tatkala mengikuti Summer School-nya, saya semakin menyadari posisi yang diambil Adam yang meyakini pentingnya pengetahuan yang harus diperoleh dari pengalaman langsung di masyarakat. Adam Seligman seperti mengikuti apa yang diyakini di Jawa masa lalu “ngelmu kelakone kanti laku”, berilmu mewujud dalam tindakan.
Saya dua kali mengikuti Summer School di Indonesia, 2019 dan 2023. Pada Summer School yang kedua, saya terlibat dalam persiapan dan pelaksanaannya. CEDAR tidak mungkin dipisahkan dari Adam Seligman, penggagasnya.
Adam tinggal di Israel selama kurang lebih 20 tahun dan pada 1970-an menjadi anggota kibbutz Kerem Shalom. Beberapa judul buku yang ditulisnya antara lain The Idea of Civil Society; Inner-Worldly Individualism (1994); The Problem of Trust (1997); Modernity’s Wager: Authority, the Self and Transcendence (2000); Market and Community: The Bases of Social Order, Revolution, and Relegitimation, ditulis bersama Mark Lichbach (2000); Modest Claims: Dialogues and Essays on Tolerance and Tradition (2004); Ritual and its Consequences: An Essay on the Limits of Sincerity, ditulis bersama Robert Weller, Michael Puett, and Bennett Simon (2008); Rethinking Pluralism: Ritual, Experience, and Ambiguity, ditulis bersama Robert Weller (2012); Religious Education and the Challenge of Pluralism (2014); Living with Difference: How to Build Community in a Divided World, ditulis bersama Rahel Wasserfall and David Montgomery (2015); How Things Count as the Same: Memory, Mimesis and Metaphor, ditulis bersama Robert Weller (2019). Buku barunya berjudul Oaths and Vows: Words as Genesis terbit pada Agustus 2024, ditulis bersama Maria Schnitter dari Bulgaria.
Saya telah mengikuti tiga Summer School yang diselenggarakan oleh CEDAR, dua di Indonesia dan satu di Kyrgistan (2022). Tak mudah bagi saya membaca buku-bukunya karena begitu padat kalimat-kalimatnya. Pelbagai referensi dari berbagai buku yang dikutipnya dirangkai sedemikian rupa dan perlu saya baca berulang-ulang untuk memahami isinya.
Adam Seligman yang menulis disertasi doktornya di Hebrew University (1988) di Jerusalem dengan pembimbing sosiolog terkenal S.N. Eisenstadt, yang menantangnya dengan pertanyaan-pertanyaan, dalam pengakuannya telah dijawabnya dalam disertasinya yang ditulis selama empat tahun. Namun, dalam pengantar bukunya, menurut hemat saya sangat penting, Modernity’s Wager: Authority, the Self and Transcendence, Adam mengaku bahwa pertanyaan gurunya itu belum sepenuhnya terjawab, dan terus menghantuinya. Buku-buku yang ditulisnya adalah keping-keping jawaban terhadap pertanyaan gurunya itu.
Adam Seligman, meskipun menurut pengakuannya kepada saya dan Emil di Desa Tli’u, Timor Barat, itu merasa sudah cukup bekerja di akademia, namun terbukti terus menulis buku dan artikel ilmiah. Saya kira, Adam Seligman bisa dikatakan sebagai ilmuwan sosial yang selalu bergerak di antara memproduksi knowledge of dan knowledge for. Keprihatinannya terhadap perkembangan ilmu sosial mendorongnya untuk terus menguji berbagai konsep yang menurutnya krusial bagi masyarakat yang semakin modern ini. Konsep-konsep dasar seperti authority, the self, human agency, trust, tradisi, rituals, civil society dan human rights; terus digulatinya tanpa henti.
Kota Boston memiliki ekosistem akademik yang menarik. Di kota yang terletak di pantai timur Amerika dan menjadi permukiman pertama orang-orang dari Inggris, awal abad 16, sehingga dinamakan New England ini; terdapat empat universitas besar: Harvard, MIT, TUFTS, dan Boston University. Produktivitas pengetahuan dimungkinkan melalui jaringan ilmuwan yang hidup berdekatan, perpustakaan yang lengkap, dan kegiatan seminar dan workshop yang rutin.
Pada 13 Juli 2023, Adam Seligman memberikan public lecture di Pusat Penelitian Kemasyarakatan BRIN dengan tema The Challenge of Difference: On Categories and Group Belonging. Indonesia bukanlah negara yang ia riset secara mendalam seperti yang dilakukannya di Israel, Eropa Timur, dan Amerika Serikat. Namun, baginya, Indonesia memiliki arti penting karena perbedaan latar belakang penduduknya, sehingga memberikan tantangan tersendiri dalam mengelola hidup bersama.
Dalam dua kali Summer School di Indonesia, para peserta dari berbagai latar belakang negara, agama, orientasi seksual maupun profesi itu, antara lain diajak mengunjungi berbagai komunitas. Misal, komunitas Siah dan LGBT di Bandung; komunitas Ahmadiah di Manis Lor, Kuningan; komunitas Adat Sunda Wiwitan di Cigugur; komunitas miskin kota di Cipinang; komunitas Adat Tengger di Bromo; komunitas Tionghoa di Malang; komunitas eks tahanan politik korban Peristiwa 65 di Solo; dan komunitas seni di Tutup Ngisor Magelang. Selain itu, mengunjungi gereja, masjid, kelenteng dan melakukan dialog dengan mereka.
Di Indonesia, IRGSC yang dipimpin oleh Dr. Elcid Li, seorang mantan aktivis gerakan mahasiswa 1998; selalu menjadi tuan rumah penyelenggara Summer School CEDAR. Perjalanan Adam Seligman sebagai ilmuwan sosial dan aktivis sosial telah sangat panjang di usianya yang telah melewati 70 tahun.
Tampaknya, Adam Seligman masih akan terus berjalan tanpa kenal lelah, ke berbagai belahan dan pelosok dunia; disamping kegiatan pokoknya sebagai profesor di Department of Religion, Boston University. Dari kamar kerjanya yang luas dengan buku-buku di rak maupun di mejanya; kita bisa memandang keindahan Sungai Charles yang melintasi kota Boston. Adam Seligman masih mengajar setiap hari Selasa dan Kamis, membimbing mahasiswa doktoralnya, dan terus membaca dan menulis. Adam Seligman selalu naik sepeda dari rumahnya ke kampus.(*)