CPF Luhulima

  • Whatsapp
Peneliti senior Luhulima | ist

Luhulima bisa dibilang pelopor peneliti bidang politik hubungan internasional. Apa pun isunya, ia akan selalu berbicara dari sudut pandang keilmuannya. Dalam konteks ilmuwan sosial, Luhulima merupakan “The Last Mohicans.”






Riwanto Tirtosudarmo | Bekerja di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sejak 1980-2017 | Kini Peneliti Independen

Bacaan Lainnya

Usianya genap 94 tahun pada 30 November 2024. Prestasinya hanya kalah oleh Mahathir Muhamad, yang beberapa tahun lalu masih menjadi Perdana Menteri Malaysia pada umur 92 tahun. Pak Luhu – sapaannya – saya kira orang yang tahu betul politik Mahathir dengan UMNO-nya. ASEAN, seperti juga Uni-Eropa, adalah bidang keahliannya.

Pak Luhu, seperti para senior lainnya di LIPI (sekarang BRIN), adalah pelopor dan pembentuk sekelompok peneliti yang mendalami bidang kajian politik hubungan internasional atau HI kalau di universitas. Kajian ini sering dibedakan dengan kajian politik domestik atau politik dalam negeri. 

Setahu saya, Pak Luhu konsisten menekuni bidang politik luar negeri ini, dan kalau melihat buku-bukunya tercermin wilayah kajiannya pada pembentukan kawasan kerja sama tingkat regional, seperti Uni-Eropa dan ASEAN. Sebagai seorang ahli, Pak Luhu membangun otoritasnya di sana. Selain LIPI, ia juga berkiprah di Center for Strategic and Internasional Studies (CSIS), sebuah “think tank” yang pernah sangat berpengaruh semasa rezim Soeharto, Orde Baru.

Dalam praktik, batas antara politik luar negeri dan politik domestik memang sangat tipis. Politik dalam negeri sangat dipengaruhi oleh politik luar negeri, atau politik luar negeri sering disebut sebagai kepanjangan politik dalam negeri. Pencaplokan Timor Timur, di mana CSIS bermain di belakangnya, adalah salah satu contoh tipisnya batas politik dalam negeri dan politik luar negeri.

Pencaplokan itu juga memperlihatkan betapa eratnya kelindan ilmu politik dengan praktik politik. Oleh karena itu, barangkali Ikrar Nusa Bhakti, salah satu “penerus” Pak Luhu, meskipun masih terasa asing ditelinga, menyebut bidang kajiannya “intermestik” – kepanjangan dari “internasional” dan “domestik”. Saya tidak tahu apakah istilah intermestik ini merupakan sebuah istilah yang sudah baku dalam ilmu politik, atau sebuah istilah baru yang diciptakan sendiri oleh Ikrar untuk menampung keahliannya yang memang mencakup kedua wilayah kajian politik itu.

Ikrar berbeda dengan Pak Luhu yang konsisten bekerja sebagai peneliti. Ia menyeberang menjadi duta besar di Tunisia bersamaan dengan naiknya Jokowi sebagai presiden pada 2016 – meskipun Ikrar termasuk yang sangat kecewa pada Jokowi menjelang akhir masa kepresidenan yang kedua. Tapi, saya kira Ikrar memang berhak mengklaim dirinya sebagai ahli intermestik. Tesis doktornya soal hubungan Papua dan Papua New Guinea (PNG) di Griffith University, Australia, dibimbing oleh Collin Brown.

Ikrar dapat menulis dengan detail tentang OPM sekaligus soal PNG. Di LIPI, tepatnya di Pusat Penelitian Politik LIPI, selain sebagai penerus Pak Luhu, Ikrar juga penerus Pak Alfian, yang ahli politik domestik atau nasional. Seperti Alfian, yang menjadi pemikir Golkar, Ikrar juga cukup dekat dengan PDIP. Alfian dan Ikrar adalah model intelektual yang masuk ke politik dan berusaha memengaruhi politik dari dalam. 

Seperti para senior lainnya di LIPI, interaksi saya dengan Pak Luhu boleh dikatakan sebatas bersua di seminar-seminar internal LIPI. Sebagaimana senior yang lain, Pak Luhu tidak menjaga jarak dengan peneliti yang lebih muda. Pun tidak menjadi anggota tim penelitiannya.

Seminar-seminar di LIPI, meskipun diadakan oleh Pusat Penelitian Politik, hampir selalu terbuka bagi peneliti bidang lain yang berminat. Pertukaran pikiran antara peneliti dengan keahlian yang berbeda berlangsung terbuka dan dengan demikian bisa saling memperkaya wawasan.

Pak Luhu tentu akan selalu berbicara dari perspektif keahliannya, meskipun ketika membicarakan isu sosial apa pun, sisi komitmen dan kepeduliannya sering mengemuka terlepas dari latar belakang disiplin ilmu yang dimiliki. Mungkin suasana diskusi semacam ini yang sesungguhnya perlu terus dibangun di lingkungan lembaga ilmu pengetahuan ketika kita semakin menyadari tak adanya sebuah persoalan sosial-politik yang berdiri sendiri, terlepas dari persoalan sosial-politik yang lain.

Pak Luhulima, kendati bidang kajiannya dunia internasional, sebagai orang Indonesia, juga sebagai orang Ambon, tidak mungkin tak peduli dengan apa yang terjadi di dunia terdekatnya. Saya bisa membuktikan hal itu.

Suatu siang, ia turun dari ruang kerjanya di lantai 11 Gedung Widya-Graha LIPI ke lantai 10, ruang kerja saya saat itu. Kejadian tersebut sekitar akhir tahun 1997, tak lama setelah saya kembali dari Brown University. Tiba-tiba, Pak Luhu membuka pintu kamar kerja saya, setengah kaget karena baru sekali itu Pak Luhu masuk kamar kerja saya. Dengan nada setengah menghardik beliau menunjukkan jurnal CSIS, yang memuat tulisan saya yang meramalkan bahwa kota Ambon diambang konflik kalau tidak diantisipasi dengan baik oleh pemerintah. Pak Luhu sambil berdiri mengatakan kalau tulisan saya ngaco dan bilang enggak mungkin terjadi konflik di Ambon.

Terus terang, saya kehabisan kata-kata untuk menjelaskan. Pak Luhu dalam keadaan setengah marah dan rasanya tak mungkin mendengarkan penjelasan saya. Pak Luhu memang kemudian meninggalkan ruang saya seraya menggerutu, “Enggak mungkin terjadi konflik di Ambon, analisa kamu ngawur.” Sebagai orang yang salah satu kakinya di CSIS, tak mengherankan kalau Pak Luhu akan membaca tulisan saya yang dimuat di jurnal CSIS itu.

Semula, artikel dimaksud merupakan makalah Seminar ADIPPA di Kota Kinibalu Sabah, Malaysia, pada 1995. Judulnya, “The political demography of national integration and its policy implications for a sustainable development in Indonesia”, dan dimuat di Jurnal CSIS “Indonesian Quarterly” 23 (4), pp.369-81, tahun 1995.

Sejarah sampai saya presentasi di seminar itu cukup panjang. Awalnya adalah Dewi Fortuna Anwar, salah seorang “penerus” Pak Luhu yang lain yang menulis disertasi doktornya di Monash University dibawah bimbingan Herbeth Feith tentang ASEAN dari perspektif Indonesia – lagi-lagi memperlihatkan tipisnya batas politik dalam negeri dan luar negeri. Saat itu, Dewi menghubungi saya apakah saya bisa mewakilinya dalam seminar ADIPPA yang sebetulnya mengundang Adi Sasono, bosnya di Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), tapi katanya Adi Sasono berhalangan. Saya tanya kenapa saya, dan Dewi bilang sudah ditawarkan ke AS Hikam, saat itu masih menjadi peneliti di Pusat Penelitian Ekonomi LIPI, tapi enggak bersedia. Jadi, kalau dihitung, saya ban serep ketiga, dari Adi Sasono ke Dewi, AS Hikam kemudian kepada saya. Enggak tahu kenapa. Singkat cerita, saya terima tawaran Dewi, dan menulis makalah yang kemudian terbit di jurnal CSIS yang membuat Pak Luhu, bosnya Dewi di LIPI, marah-marah kepada saya.

Artikel itu saya tulis bukan berdasarkan isapan jempol, akan tetapi merujuk serangkaian wawancara dengan narasumber terpilih, baik dari pihak Islam maupun Kristen. Wawancara yang saya lakukan adalah bagian dari penelitian kerja sama Pusat Penelitian Kependudukan LIPI – tempat saya waktu itu bekerja – dengan Australian National University (ANU) ihwal penduduk dan pembangunan di Indonesia Timur.

Di Ambon, fokus penelitian saya tentang Keluarga Berencana (KB). Riset tersebut mengenai praktik KB di kota Ambon, di mana secara statistik jumlah penduduk beragama Kristen dan Islam berimbang. Temuan menarik adalah pandangan saling tuduh antara tokoh Islam dan tokoh Kristen. Orang Kristen bilang, meningkatnya jumlah penduduk karena orang Islam tidak mau ikut KB. Tatkala saya bertanya kepada pihak Islam, jawaban yang sama akan kita dengar, orang Kristen yang tidak mau ikut KB. Saling tuduh semacam ini memperlihatkan rasa curiga dan tidak adanya trust antara dua komunitas itu. Saya mengatakan, tinggal tunggu waktu saja untuk mengubah rasa saling curiga itu menjadi sebuah konflik.

Pada 1996-1997, selama enam bulan saya menjadi Fulbright Visting Scholars di Population Studies and Training Center, Department of Sociology, Brown University di Providence USA. Sebuah artikel sempat saya tulis dan terbit di jurnal Soujourn (Vol 12, No.2, 1997), ISEAS, berjudul “Economic Development, Migration, and Ethnic Conflict in Indonesia: A Preliminary Observation”. Apa yang kemudian terjadi? Kita semua tahu, pascalengesernya Soeharto pada Mei 1998, serangkaian konflik komunal terjadi sepanjang 1999-2000 di Ambon, Sampit, dan Poso.

Apa yang sebelumnya saya ramalkan ternyata benar-benar terjadi. Saya tidak tahu bagaimana reaksi Pak Luhu melihat kenyataan itu. Saya belum sempat menanyakan, mudah-mudahan ia sudah lupa pernah marah-marah kepada saya.

Dari kiri ke kanan: Riwanto Tirtosudarmo, Luhulima, dan Thung Julan. | dok. Riwanto Tirtosudarmo

Dua bulan yang lalu, saya dan Thung Julan, peneliti senior di Pusat Penelitian Kemasyarakatan LIPI (sekarang BRIN), mengajak Pak Luhulima makan siang di sebuah restoran di kawasan Setiabudi, Kuningan, Jakarta Selatan. Dalam usianya yang telah melewati 90 tahun itu, Pak Luhu tidak memiliki pantangan makan. Kami mengobrol tentang masa lalunya dengan ingatan yang masih sangat jernih. Antara lain diceritakannya bagaimana ia menjadi satu-satunya anak Ambon yang ketika pemerintahan RI pindah ke Yogyakarta harus masuk sekolah di lingkungan kraton yang berbahasa Jawa.

Mengikuti penggolongan sederhana, Pak Luhulima tergolong generasi ilmuwan sosial, bisa dikatakan kedua setelah kemerdekaan. Jika generasi pertama adalah yang senenuhnya dididik di Belanda seperti Supomo, Sumitro Djojohadikusumo dan Purbocaroko; generasi kedua adalah mereka yang dididik di luar Belanda, terutama dari Amerika seperti Harya Bachtiar dan Li Tek Tjeng (Harvard), Widjojo Nitisastro, Emil Salim dan Melly G. Tan (Berkeley), Selo Sumardjan dan Taufik Abdullah (Cornell), Thee Kian Wie dan Alfian (Wisconscin), serta Ong Hok Ham (Yale).

Pak Luhulima memperoleh gelar doktornya di Jerman, seperti juga BJ. Habibie dan Hadi Susastro, koleganya di CSIS. Generasi kedua ilmuwan sosial ini berkiprah bersamaan dengan naiknya Orde Baru. Ketika Orde Baru tumbang akhir 1990-an, boleh dikatakan mulai muncul generasi ketiga ilmuwan sosial yang merupakan campuran didikan luar negeri dan dalam negeri. Pak Luhulima, mungkin tinggal bersama Pak Taufik Abdullah (3 Januari nanti berusia 90 tahun), dalam konteks ilmuwan sosial di LIPI yang bisa dikatakan sebagai “The Last Mohicans.”(*)

DukungKami.png.png

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

29 − 25 =