Dari KUD ke Koperasi Merah Putih: Kegagalan yang Berulang?

  • Whatsapp
PENGURUS Credit Union Berkah Mandiri, Kecamatan Ngambur, Pesisir Barat, menggelar pelatihan keuangan bagi anggotanya, beberapa waktu lalu. Perempuan di sana sadar bahwa koperasi bukan hanya tempat menabung dan mencari modal, tetapi juga ruang belajar dan berdaya. | dok. Credit Union Berkah Mandiri

Program Koperasi Desa Merah Putih memiliki kesamaan dengan Koperasi Unit Desa. Dengan ketergantungan pada pemerintah, program ini berpotensi gagal dan menjadi alat legitimasi kekuasaan. Koperasi hanya berjalan efektif jika dikelola dengan prinsip yang tepat dan berbasis kebutuhan masyarakat, bukan ambisi penguasa.






Saryono tertegun ketika rombongan Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan muncul di lapangan depan rumahnya di Desa Bumisari, Natar, Lampung Selatan. Ia sedang sibuk menjajakan dagangan, dan tiba-tiba berhenti karena kehadiran mereka.

Bacaan Lainnya

“Ini acara apa?” pertanyaan itu muncul di benaknya tatkala melihat persiapan peresmian Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih.

Saryono penasaran. Ia melihat banyak pejabat desa dan warga berkumpul di sana. Saryono ingin tahu lebih lanjut, apa gerangan Zulkifli hadir di desanya.

Menko Bidang Pangan Zulkifli Hasan (lima dari kanan) menghadiri peresmian Koperasi Desa Merah Putih Bumisari, Natar, Lampung Selatan, Rabu, 28/5/2025. Hingga saat ini, lebih dari 2.600 desa di Lampung sudah membentuk Kopdes Merah Putih. | ist

Saat Zulkifli berbicara, Saryono mendengar bahwa hari itu menjadi momen penting bagi Desa Bumisari. Zulkifli meresmikan Kopdes Merah Putih Bumisari. Ketua Umum PAN itu dengan bangga menyatakan bahwa Kopdes Merah Putih Bumisari adalah koperasi pertama di Lampung dan Indonesia, yang memiliki unit usaha aktif dan lengkap.

“Tidak hanya simpan pinjam, kami juga memiliki agen pupuk bersubsidi dan nonsubsidi, pangkalan LPG, layanan BRILink, sembako, jasa pos, hingga puskesmas keliling,” kata Zulkifli.

Ketika peresmian berlangsung, Saryono mencoba mencari tahu acara tersebut. Ia bertanya kepada beberapa pengurus desa yang mampir membeli es di tempatnya, namun jawaban mereka tidak memuaskan.

“Enggak ada yang tahu itu koperasi buat apa,” ujarnya.

Satu bulan setelah peresmian, Saryono masih belum memahami manfaat dibentuknya koperasi. Belum ada sosialisasi, sehingga masih banyak warga desa yang tidak mengerti tujuan pembentukan Koperasi Desa Merah Putih. Bahkan, ada yang tak tahu bahwa koperasi sudah berdiri.

Kantor koperasi menumpang di rumah Ahmad Ichwan. Beberapa gudang miliknya sudah terpasang spanduk dan papan reklame yang menunjukkan jenis usaha koperasi, seperti pangkalan LPG, agen BRILink, penyediaan pupuk, dan sembako. Namun, tampaknya keberadaan koperasi ini belum cukup dikenal oleh warga setempat.

Ahmad membantah klaim Zulkifli soal unit usaha koperasi yang sudah berjalan. Di rumahnya, belum ada pasokan gas melon. Sejauh ini, hanya tersedia pupuk bantuan dari Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Rukun Santoso dan beberapa kardus minyak kemasan satu liter sumbangan Bulog. Sembako di rumah itu milik Ahmad, dari toko sembako yang ia jalankan sehari-hari.

“Jadi, cuma numpang di rumah saya, belum berjalan,” kata Ahmad.

Rumah Ahmad Ichwan yang digunakan sebagai Kantor Koperasi Desa Merah Putih Bumisari, Kecamatan Natar, Lampung Selatan. Diklaim sebagai koperasi yang sudah aktif, sejumlah unit usaha ternyata belum berjalan. | KONSENTRISID/Derri Nugraha

Tadinya, rumah Ahmad adalah kantor koperasi Gapoktan Rukun Santoso. Koperasi ini telah berjalan lebih dari sembilan tahun, beranggotakan 10 kelompok tani Desa Bumisari. Mereka menjalankan unit usaha simpan pinjam, bantuan pupuk, dan produksi keripik.

Namun, pandemi Covid-19 membuat roda ekonomi koperasi melambat. Unit simpan pinjam dan penjualan keripik kini menjadi kenangan. Koperasi hanya fokus pada penyaluran bantuan pupuk dari pemerintah.

Ahmad bilang, pupuk di gudang Kopdes Merah Putih berasal dari Gapoktan Rukun Santoso. Dua kelompok tani diminta bergabung sebagai anggota koperasi untuk mendapatkan pupuk subsidi. Ini cara pemerintah menyalurkan bantuan pupuk kepada petani.

Ketua Kopdes Merah Putih Bumisari Diktri Ariansyah menyatakan bahwa koperasi sedang dalam proses revitalisasi. Lokasi masih dalam tahap perbaikan, sehingga beberapa unit usaha belum beroperasi. Namun, layanan BRILink sudah bisa diakses secara mobile, memberikan harapan baru bagi anggota koperasi.

Saat ini, Kopdes Merah Putih Bumisari memiliki 100 anggota, termasuk dua kelompok tani dan beberapa perangkat desa. Untuk meningkatkan modal usaha, koperasi menetapkan simpanan pokok sebesar Rp80 ribu dan simpanan wajib Rp20 ribu. Namun, kebutuhan modal yang besar, yaitu Rp100 juta, membuat koperasi memberlakukan simpanan penyertaan. Ini memungkinkan anggota untuk berinvestasi dalam usaha koperasi.

“Investasi dibatasi Rp5 juta per orang, supaya tidak terjadi monopoli,” kata Diktri.

Ia tak memungkiri bahwa masih banyak warga Desa Bumisari belum mengetahui program Kopdes Merah Putih. Karena itu, pihaknya telah menyusun langkah-langkah, seperti administrasi, kunjungan, dan persiapan usaha menjelang peluncuran serentak, bulan ini. Sosialisasi terhadap masyarakat dilakukan secara paralel melalui ketua RT yang sudah menjadi anggota koperasi.

Diktri menekankan bahwa penguatan kelembagaan menjadi prioritas. Tujuannya, agar masyarakat tidak hanya asal bergabung, tetapi benar-benar mengerti tujuan utama koperasi.

“Kebanyakan masih berpikir kalau koperasi hanya tempat meminjam uang,” ujarnya.

Kebingungan masyarakat Desa Bumisari terkait program Kopdes Merah Putih juga dialami warga Pematang Tahalo, Jabung, Lampung Timur. Awal Mei lalu, Sugianto yang baru pulang dari rumah sakit mendapat kabar dari istrinya soal undangan lisan dari RT setempat. Ia merasa curiga karena undangan tersebut tidak menggunakan surat resmi, dan disampaikan beberapa jam sebelum acara.

Memastikan kebenaran informasi, Sugianto segera menghubungi ketua rukun warga setempat. Orang itu membenarkan bahwa ada acara pembentukan Kopdes Merah Putih di balai desa.

Sugianto bergegas menuju lokasi. Saat tiba, ia melihat sejumlah pengurus desa dan puluhan warga berkumpul. Jumlah peserta terbatas karena hanya beberapa orang yang dipilih untuk hadir.

Sugianto sendiri diundang karena pengalamannya. Ia telah aktif di perkoperasian lebih dari satu dekade, menjabat sebagai Wakil Ketua Bidang Pendidikan Credit Union Mardi Siwi dan Ketua Umum Koperasi Pemasaran Gautama Sejahtera Lampung. Anggota koperasi ini mayoritas petani, pedagang, dan pegawai. Selain itu, Sugianto juga memelopori Koperasi Peternak Sumber Mandiri Farm di desanya.

Rapat Anggota Tahunan (RAT) Credit Union Mardi Siwi, Lampung Timur, beberapa waktu lalu. Sugianto, salah satu pengurus Credit Union, menilai pembentukan Kopdes Merah Putih di kampungnya menyalahi prinsip-prinsip dasar koperasi. | dok. Sugianto

Dalam persamuhan tersebut, pengurus desa memutuskan untuk memilih pengurus, meskipun koperasi belum terbentuk. Sugianto merasa bingung karena prosedur yang seharusnya adalah pembentukan koperasi terlebih dahulu, baru pemilihan pengurus. Ia protes, namun pengurus desa tetap bersikeras.

Ketua koperasi dipilih secara aklamasi melalui usulan kepala desa. Kepala desa mengajukan seseorang untuk menjadi ketua dan peserta rapat menyetujuinya. Hal serupa terjadi saat memilih pengurus. Namun, pengawas koperasi ditentukan langsung tanpa pemilihan. Kepala Desa, ketua BPD, dan salah seorang istri pegawai pemerintah desa ditunjuk sebagai pengawas.

“Biar istri saya saja yang jadi pengawas,” kata Sugianto menirukan ucapan pejabat tersebut.

Ternyata, Surat Keputusan Menteri Koperasi Nomor 1 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pembentukan Koperasi Merah Putih mendukung keputusan itu. Berdasarkan beleid ini, ketua pengawas secara otomatis dijabat oleh kepala desa.

Sugianto merasa terbatas dalam forum dan akhirnya mengikuti hasil musyawarah. Namun, ia menyesalkan pembentukan koperasi yang tidak sesuai dengan prinsip. Keputusan terkait koperasi semestinya melibatkan seluruh warga. Sebab, program tersebut bertujuan meningkatkan ekonomi masyarakat desa. Proses yang terburu-buru dan minim sosialisasi menyebabkan banyak warga tak mengetahui koperasi itu.

“Bagaimana mau sejahtera kalau masyarakatnya saja tidak ikut dalam musyawarah,” ujarnya.

Lebih parah lagi, Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) sebagai aturan tertinggi koperasi tak dibentuk melalui rapat anggota. Pascapembentukan, tidak ada undangan rapat lagi, tapi koperasi sudah memiliki akta notaris. Artinya, AD/ART ditentukan sepihak oleh pengurus.

Sugianto menilai, sebelum mendirikan koperasi, seyogianya ada sosialisasi mendalam agar warga desa paham tujuan program. Ia tak sepakat dengan pembentukan koperasi langsung dari pemerintah. Koperasi sejatinya berangkat dari kebutuhan masyarakat, inisiatif bersama, dan bersifat sukarela. Prinsip koperasi adalah mandiri dan pengelolaan demokratis, sehingga fondasinya kuat karena masyarakat bergabung secara sadar.

Biasanya, saat memprakrasai koperasi, komunitas masyarakat diberi pendidikan dan penyadaran. Tujuannya, agar tidak terjadi kebingungan. Sebab, masih banyak memandang koperasi sebagai tempat meminjam uang. Padahal, koperasi yang baik menuntut anggotanya untuk mandiri secara ekonomi.

Sugianto khawatir koperasi yang dibentuk pemerintah tidak bisa berjalan baik. Sebab, prosesnya melanggar nilai dan prinsip koperasi. Ia juga cemas karena pengetahuan masyarakat soal koperasi terbilang minim. Bila tak diawasi ketat, Kopdes Merah Putih berpotensi menjadi lahan korupsi, bukan berkembang.

“Jika itu terjadi, justru semakin menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap koperasi,” ucap Sugianto.

Ketakutan Sugianto ihwal minimnya pengetahuan soal koperasi juga menghantui Pandi, Ketua RT 010, Kelurahan Sukajawa, Bandar Lampung. Pandi masih ingat saat terpilih menjadi ketua Kopdes Merah Putih Sukajawa, satu bulan yang lalu. Rapat di kantor kelurahan itu berlangsung singkat, hanya dihadiri 25 orang, termasuk ketua RT dan Perlindungan Masyarakat (Linmas) Sukajawa.

Lurah berbicara dengan nada tegas, menyampaikan bahwa koperasi desa harus dibentuk sesuai instruksi presiden. Lalu, tanpa banyak diskusi, nama-nama ketua RT diundi untuk menentukan siapa yang akan menjadi ketua koperasi. Ketika namanya disebut, Pandi merasa terkejut.

“Saya tidak mengerti koperasi, saya tidak siap. Tapi, mau bagaimana lagi, tak ada yang mau jadi ketua,” kata Pandi.

Pandi, Ketua RT 010, Kelurahan Sukajawa, Bandar Lampung, sedang menjual bubur kacang hijau di Pasar Tamin, beberapa waktu lalu. Terpilih menjadi Ketua Kopdes Merah Putih Sukajawa, Pandi merasa takut karena tidak punya pengalaman. | KONSENTRISID/Derri Nugraha

Setelah rapat itu, Pandi masih bingung apa yang harus dilakukan. Ia merasa seperti dipaksa menjadi ketua koperasi tanpa tahu apa yang harus dikerjakan. Sampai saat ini, selain ketua RT dan Linmas, belum ada warga Sukajawa yang bergabung sebagai anggota koperasi.

Pada pertemuan terakhir di Kecamatan Tanjungkarang Barat, ia mendengar langsung dari Dinas Koperasi dan UMKM bahwa masih menunggu instruksi pemerintah pusat. Koperasi yang dipimpinnya belum menjalankan agenda apa pun selain pengumpulan simpanan wajib dan simpanan pokok anggota, membuat Pandi merasa tidak ada kemajuan.

Penjual bubur kacang hijau itu mengaku takut dan cemas jika tidak ada skema yang jelas tentang koperasi, baik sistem maupun pendanaannya. Ia khawatir karena mengelola uang koperasi penuh risiko. Apalagi, tidak punya pengalaman mengurus koperasi dan pengetahuan manajemen keuangan.

“Kalau sudah jelas, baru nanti kami rekrut masyarakat menjadi anggota,” ujarnya.

***

Mati Sebelum Terbentuk

Pembentukan Koperasi Desa Merah Putih merupakan salah satu instruksi Presiden Prabowo Subianto untuk memperkuat ekonomi kerakyatan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Dengan prinsip gotong royong, kekeluargaan, dan saling bantu, program ini diharapkan dapat memajukan ketahanan pangan dan membawa perubahan positif bagi masyarakat desa.

Dalam rapat terbatas di Istana Negara pada 3 Maret 2025, Prabowo mengumumkan pembentukan 80.000 Koperasi Desa Merah Putih. Program itu akan diluncurkan pada Hari Koperasi Nasional, 12 Juli mendatang.

Lampung menjadi provinsi dengan rekor pembentukan Kopdes Merah Putih tertinggi di Indonesia, di mana realisasi hampir 100 persen. Artinya, lebih dari 2.600 desa di Lampung sudah membentuk Kopdes Merah Putih.

Setelah Prabowo mengumumkan pembentukan 80.000 Koperasi Desa Merah Putih, pemerintah mulai menggarap skema pendanaan. Dana yang dibutuhkan tidak sedikit, mencapai Rp400 triliun.

Pemerintah berharap dapat memenuhi kebutuhan modal ini melalui berbagai sumber, termasuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, dan pinjaman dari himpunan bank milik negara (Himbara). Setiap koperasi akan menerima kucuran dana sekitar Rp4-Rp5 miliar, yang akan digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat desa.

Di tengah harapan besar akan program Koperasi Desa Merah Putih, penunjukan Zulkifli Hasan sebagai Ketua Satuan Tugas memicu perdebatan. Ia mendapat mandat langsung untuk memimpin program ini, sementara Menteri Koperasi dan Menteri Desa menjadi pelaksana utama.

Penunjukan ini bertentangan dengan Peraturan Presiden Nomor 146 Tahun 2024. Menurut peraturan tersebut, koperasi dan pembangunan desa menjadi tanggung jawab Kementerian Koordinator Pemberdayaan Masyarakat yang dipimpin Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Melihat realitas tersebut, pemerhati koperasi Suroto menilai bahwa Kopdes Merah Putih berpotensi menjadi alat politik praktis dan ladang mencari keuntungan para makelar proyek. Semestinya, koperasi tumbuh sebagai organisasi otonom, mandiri, dan demokratis yang lahir dari inisiatif warga. Namun, pembentukan Kopdes Merah Putih justru dikooptasi oleh pemerintah dengan pelbagai keistimewaan, seperti kucuran modal dan kemudahan izin.

Hal ini merupakan upaya pengendalian koperasi yang berimplikasi pada ketergantungan. Koperasi yang dibangun secara top down tanpa penguatan kapasitas masyarakat cenderung menjadi alat kekuasaan, bukan kekuatan ekonomi kerakyatan. Prinsip koperasi dan partisipasi masyarakat desa pun terpinggirkan.

Pemerhati koperasi Suroto | KONSENTRISID/Derri Nugraha

Kondisi serupa pernah terjadi pada rezim Orde Baru. Pada 1973, Soeharto memerintahkan pembentukan lebih dari 9.000 unit Koperasi Unit Desa (KUD) di seluruh Indonesia. Sama seperti program Kopdes Merah Putih, KUD digadang-gadang sebagai kekuatan ekonomi masyarakat desa. Namun, keduanya memiliki prinsip yang sama, yaitu didirikan bukan untuk menjawab kebutuhan masyarakat, melainkan dibangun dengan keistimewaan yang diciptakan pemerintah lewat iming-iming permodalan, subsidi, dan berbagai kemudahan program.

Majalah Tempo pada 1989 melaporkan bahwa sejumlah KUD tersangkut kredit macet ratusan miliar. Hal ini terjadi setelah pemerintah mengucurkan dana melalui Bank Rakyat Indonesia kepada petani. Namun, pengembalian kredit tersendat setelah satu tahun program berjalan. Skema serupa tampaknya akan diulang pemerintah pada Kopdes Merah Putih, yang menggunakan dana miliaran lewat pinjaman Himbara.

Pascareformasi, KUD kehilangan peran strategisnya setelah Inpres 18/1998 menghentikan bantuan negara. Sebelumnya, KUD bergantung pada program-program negara dan subsidi sebagai unit distribusi benih, pupuk, dan pengadaan gabah. Dengan hilangnya subsidi, KUD kesulitan bertahan dan banyak yang gulung tikar.

Kerangka pembangunan Orde Baru memang memberi banyak keistimewaan bagi KUD, menjadikannya mitra pemerintah dalam menggerakkan sektor pertanian dan perdesaan. Namun, keistimewaan itu bukanlah hasil perjuangan mandiri masyarakat, melainkan hasil rekayasa sistem dari atas. Ketika rezim tumbang, banyak KUD tidak siap menjalani peran otonom, sehingga lebih dari 5.400 KUD di Indonesia mengalami penurunan kinerja yang signifikan. Bahkan, ada yang hanya menjadi nama tanpa substansi.

“Kopdes Merah Putih juga memiliki akar masalah yang sama, yaitu tidak berangkat dari kebutuhan riil masyarakat, melainkan ambisi penguasa,” kata Suroto.

Pada 2008, ratusan KUD di Mimika, Papua, gulung tikar karena pengelolaan yang buruk. Banyak KUD tak pernah menggelar rapat anggota tahunan yang seharusnya menjadi jantung koperasi.

Empat tahun setelah ratusan KUD di Mimika gulung tikar, sekitar 70% KUD di Klaten, Jawa Tengah, mati suri karena tidak memiliki program kerja yang efektif. Enam tahun kemudian, tiga KUD di Bali harus tutup akibat kesalahan manajemen.

Di Sumatra Selatan, ketua KUD menggelapkan dana Rp11 miliar pada 2024. Kasus serupa pernah terjadi di beberapa KUD pada era 1970-an, di mana bantuan pemerintah menghilang dari pembukuan koperasi dan sejumlah pengurus KUD diseret ke pengadilan.

Suroto melihat bahwa Kopdes Merah Putih merupakan masa depan suram koperasi di Indonesia. Menurutnya, program ini sudah mati sebelum terbentuk karena mengulang skema gagal dari program-program sebelumnya.

Keberadaan Kopdes Merah Putih hanya akan menambah “sampah” entitas koperasi di Indonesia. Data Kementerian Koperasi dan UKM (2023) menunjukkan bahwa dari 127 ribu koperasi aktif, hanya 34% yang sehat secara manajerial dan finansial. Sisanya, stagnan, mati suri, atau menjadi “koperasi zombie” yang hidup dari suntikan dana pemerintah.

Kebijakan Diskriminatif

Di sisi lain, Suroto berpandangan bahwa tidak berkembangnya pengetahuan masyarakat terkait koperasi merupakan dampak dari berbagai kebijakan diskriminatif. Paradigma masyarakat saat ini adalah koperasi hanya sebatas kegiatan simpan-pinjam dan dikaitkan dengan usaha lemah dan kecil.

Pandangan buruk itu disebabkan oleh banyaknya kasus korupsi dan penggelapan yang melibatkan koperasi, serta minimnya pengetahuan tentang keuangan di tingkat masyarakat. Data BPS, indeks literasi keuangan di wilayah perdesaan masih di bawah 60%.

Buruknya penilaian terhadap koperasi dan minimnya literasi keuangan salah satunya dibentuk oleh sistem pendidikan yang tidak memasukkan pengetahuan soal koperasi dalam kurikulum pendidikan nasional. Padahal, membangun demokratisasi ekonomi melalui koperasi merupakan amanah konstitusi yang tertuang dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. Pasal itu menyatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan, dengan prinsip demokrasi ekonomi yang mengutamakan kemakmuran masyarakat, bukan individu. Koperasi adalah salah satu bentuk perusahaan yang sesuai dengan prinsip tersebut.

“Koperasi memang sudah disingkirkan, bahkan sebelum masuk ke dalam pikiran generasi muda,” kata Suroto.

Penulis buku “Koperasi Lawan Tanding Kapitalisme” itu juga mencontohkan beberapa kebijakan yang menganaktirikan koperasi. Misalnya, UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Pasal 9 menyebutkan bahwa BUMN terdiri dari Persero dan Perum, yang berarti seluruh BUMN hanya berbadan hukum perseroan dan perusahaan umum. Koperasi sebagai badan hukum sah dan diakui oleh negara tidak diberikan peluang untuk menjadi badan hukum BUMN.

Hal ini menyebabkan rakyat kehilangan kendali atas aset negara, termasuk alat produksi. Banyak BUMN yang bertentangan dengan tujuan pencapaian kesejahteraan masyarakat, bahkan memicu konflik agraria.

Bentuk diskriminasi lain terhadap koperasi adalah UU Penanaman Modal yang mewajibkan investasi asing berbadan hukum PT. Pun UU Rumah Sakit yang hanya membolehkan entitas berbadan hukum PT. Kebijakan ini mengeliminasi koperasi dari sektor bisnis modern, sehingga koperasi terkesan hanya sebagai wadah pembinaan dan charity bagi kaum marginal.

Namun, realitasnya berbeda di berbagai belahan dunia. Koperasi justru menjadi pemain utama dalam bisnis modern, termasuk supermarket, manufaktur, ritel, agrikultur, dan keuangan, dengan aset yang mencapai ratusan triliun dan jutaan anggota.

Misalnya, Zen-Noh (Federasi Nasional Asosiasi Koperasi Pertanian Jepang) adalah koperasi pertanian terbesar di dunia dengan omzet sekitar USD 55 miliar, atau setara Rp800 triliun. Zen-Noh berperan penting dalam mendukung petani Jepang dalam produksi dan distribusi pangan, serta memiliki jaringan bisnis ke berbagai negara.

“Pelbagai kebijakan diskriminatif itulah yang semakin membinasakan koperasi di Indonesia,” ujar Suroto.

Seorang pengendara melintas di depan kantor Kelurahan Sukajawa, Bandar Lampung, Rabu, 25/6/2025. Kelurahan tersebut telah membentuk Kopdes Merah Putih, akan tetapi banyak warga tidak mengetahui. | KONSENTRISID/Derri Nugraha

Menurutnya, pemerintah seperti tak ingin koperasi berkembang dengan baik karena dapat menjadi ancaman bagi para pemilik modal. Koperasi secara inheren berfungsi untuk meredistribusikan kekayaan dan pendapatan, sedangkan ekonomi neoliberal justru mendukung pemusatan modal. Ketika koperasi mendorong demokrasi ekonomi dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam sektor ekonomi, maka kekayaan akan dinikmati oleh masyarakat luas, bukan hanya individu tertentu. Kemandirian ekonomi ini dapat menjadi kekuatan politik yang berpotensi menumbangkan kapitalisme yang telah lama terbukti menindas dan mengeksploitasi rakyat.

Pandangan ini sejalan dengan pendapat Revrisond Baswir, pengamat ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM). Ia menilai bahwa cita-cita Kopdes Merah Putih untuk meningkatkan ekonomi rakyat hanya omong kosong.

Revrisond bilang, negara belum menunjukkan keberpihakan terhadap koperasi. Hal itu terlihat dari belum diperbaruinya UU Koperasi.

Pemerintah pernah menerbitkan UU 17/2012 tentang Perkoperasian untuk menggantikan UU 25/1992. Namun, Mahkamah Konstitusi membatalkan karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945, khususnya mengkorporatisasi koperasi. Beberapa pasal yang mengatur tentang badan hukum koperasi, modal penyertaan dari luar anggota, kewenangan pengawas dan dewan koperasi dianggap menggerus prinsip kedaulatan rakyat, demokrasi ekonomi, asas kekeluargaan, serta kebersamaan yang dijamin oleh konstitusi.

Setelah pembatalan UU 17/2012, pemerintah belum menerbitkan UU khusus tentang koperasi dan kembali menggunakan UU 25/1992 yang sudah tak relevan. UU tersebut dinilai tidak mampu mengatasi masalah-masalah yang terjadi dalam koperasi, seperti penyalahgunaan badan hukum, pengelolaan yang tidak profesional, dan pengawasan yang lemah. Jika pemerintah serius mendukung pertumbuhan koperasi, maka harus membenahi UU Koperasi.

“Jadi, kuatkan dahulu dasarnya melalui undang-undang, barulah menyusun kebijakan yang lebih teknis,” ujarnya.

***

Perlawanan

Pagi itu, Andreas Muhi Pukai berdiri di atas panggung, mengenakan jas biru dongker dan sarung Tapis, dengan semangat bergelora. Di hadapan ratusan orang, ia menyerukan pesan perjuangan dan persatuan melalui koperasi. Ia mengajak semua anggota untuk merasakan bahwa koperasi adalah rumah bersama, tempat membangun manusia secara utuh.

“Koperasi adalah jalan menuju dunia yang lebih baik,” ucapnya.

Pada Kamis, 26 Juni 2025, Induk Koperasi Kredit Indonesia (Inkopdit) menggelar Lokakarya Nasional dan Rapat Anggota Tahunan Nasional di Hotel Grand Mercure, Bandar Lampung. Acara yang berlangsung selama lima hari itu bukan hanya ritual tahunan, melainkan sebuah perhelatan besar yang memadukan seminar nasional, workshop tematik, diskusi terfokus, dan kunjungan lapangan ke delapan koperasi primer di Lampung.

Ketua Kopdit Mekar Sai Andreas Muhi Pukai dalam Lokakarya Nasional Inkopdit di Hotel Grand Mercure, Bandar Lampung, Kamis, 26/6/2025. Puluhan tahun berkoperasi mengajarkannya bahwa koperasi bukan hanya tempat pinjam-meminjam uang, namun juga wadah bagi orang-orang yang memiliki tujuan sama: kesejahteraan dan kemandirian ekonomi. | KONSENTRISID/Derri Nugraha

Sebagai jantung keuangan koperasi, Inkopdit telah berdiri sejak 1970 dan kini berkembang menjadi raksasa ekonomi dengan lebih dari 3,9 juta anggota. Mereka tersebar di lebih dari 800 koperasi primer dan 34 Puskopdit di seluruh Indonesia. Total aset yang dikelola mencapai Rp43 triliun, sebuah angka yang menggambarkan kekuatan dan potensi koperasi di Indonesia.

Andreas, yang juga bagian dari Inkopdit, menjabat sebagai Ketua Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Mekar Sai. Koperasi kredit ini lahir dari keprihatinan akan kesejahteraan para guru dan karyawan Yayasan Xaverius Lampung. Pada 27 Januari 1992, dalam sebuah rapat kepala sekolah, mereka sepakat memilih koperasi sebagai ikhtiar meningkatkan kesejahteraan.

Atas dasar sukarela dan tujuan yang sama, Kopdit Mekar Sai berkembang menjadi salah satu koperasi terbesar di Lampung, dengan 22.407 anggota dan aset lebih dari Rp500 miliar. Kini, keanggotaan Mekar Sai terbuka untuk semua jenis pekerjaan dan latar belakang.

Bagi Andreas, koperasi bukan hanya tempat pinjam-meminjam uang. Ia melihat koperasi sebagai wadah bagi orang-orang yang memiliki tujuan sama: kesejahteraan dan kemandirian ekonomi. Mereka berkumpul secara sukarela dengan aspirasi yang beragam, mulai dari ekonomi, budaya, pendidikan, hingga politik. Dengan prinsip keterbukaan, demokrasi, dan pendidikan, koperasi menjadi kendaraan menuju kemandirian, kemakmuran, dan kebebasan finansial.

Namun, yang lebih penting adalah memberdayakan dan membangun manusia, bukan hanya mengumpulkan modal. Dengan pendidikan dan literasi keuangan yang baik, anggota koperasi dapat meningkatkan kemampuan mereka untuk mengatur hidupnya sendiri dan mencapai kesejahteraan.

Sebagai koperasi kredit, Mekar Sai membantu anggotanya mengembangkan kebiasaan menabung dan mengelola keuangan. Banyak yang kesulitan merencanakan masa depan anak-anak mereka, memulai usaha, atau bahkan bertahan hidup karena kurang tabungan. Melalui koperasi, mereka didorong untuk mempersiapkan diri menghadapi masa depan, pendidikan, dan investasi jangka panjang.

Bagi Andreas, koperasi bukan cuma lembaga keuangan, melainkan alat perjuangan melawan sistem ekonomi pasar bebas. Berbeda dengan kapitalisme yang memusatkan modal pada segelintir orang, koperasi menekankan demokratisasi dan distribusi ekonomi yang adil bagi semua anggota. Setiap anggota memiliki akses yang sama untuk menentukan arah kebijakan koperasi. Sistem ini dapat menjadi solusi bagi masyarakat untuk keluar dari kemiskinan struktural.

Ketua Puskopdit Caraka Utama itu yakin bahwa koperasi yang tumbuh dari inisiatif masyarakat dan memegang prinsip dasar yang akan berkembang. Bukan sebaliknya, koperasi yang dibentuk untuk kepentingan golongan tertentu yang hanya akan memperlebar kesenjangan.

Anggota KSU Srikandi sedang memasukkan kopi ke mesin penggilingan, beberapa waktu lalu. Petani kopi di sana mendirikan koperasi untuk melawan dominasi korporasi kopi. | dok. KSU Srikandi

Tak hanya Mekar Sai, perlawanan melalui koperasi juga tumbuh di kalangan petani kopi di Tanggamus. Pada 2015, 18 perempuan petani kopi mendirikan Kelompok Simpan Usaha (KSU) Srikandi Maju Bersama. Mereka ingin mengambil alih kendali atas usaha kopi dan meningkatkan pendapatan keluarga. Kini, koperasi yang memiliki 308 anggota itu menjadi simbol perlawanan terhadap dominasi korporasi kopi yang telah menjerat mereka dalam kesulitan ekonomi.

Sebelumnya, petani kopi di sana terpaksa menjual hasil panen kepada tengkulak dengan harga rendah. Mereka hidup dalam jerat utang yang tak berkesudahan. Dengan koperasi, para petani mampu mengelola usaha kopi sendiri dan memutus rantai kemiskinan.

Kini, koperasi “Kopi Srikandi” berdiri kokoh, memproduksi kopi berkualitas tinggi dengan harga yang adil. Awalnya, modal mereka hanya 5 kg kopi per orang, tetapi dengan kerja sama dan dedikasi, mereka berhasil membangun usaha yang sukses.

Di tempat lain, sekelompok ibu-ibu petani di Desa Sukabanjar, Ngambur, Pesisir Barat, mengikuti jejak petani kopi Tanggamus. Pada Desember 2024, mereka membentuk Credit Union Berkah Mandiri.

Mereka memulai dengan keinginan sederhana: meningkatkan penghasilan keluarga melalui usaha sampingan. Namun, keterbatasan modal menjadi hambatan. Ibu-ibu desa berkumpul, berbagi cerita, dan menemukan solusi bersama.

Koperasi menjadi jawaban, bukan hanya sebagai tempat menabung dan mencari modal, tetapi juga sebagai ruang belajar dan berdaya. Di sini, mereka menemukan kekuatan untuk melawan ketidakadilan dan membangun masa depan yang lebih baik.

Sekretaris Koperasi Desi Wiyanti bilang, setiap bulan, pihaknya menggelar diskusi kritis dan pendidikan keuangan bagi anggota. Tema-tema yang dibahas tak hanya pengelolaan keuangan, tetapi juga hak kesehatan seksual dan reproduksi. Ia berharap semakin banyak perempuan di desa yang bergabung dalam koperasi, sehingga masyarakat bisa tumbuh bersama dan saling mendukung.(*)

Laporan Derri Nugraha

Liputan ini mendapat dukungan dari Yayasan Kurawal sebagai upaya memperkuat demokrasi.

DukungKami.png.png

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

11 − 9 =