Hibah di Atas Luka Petani: Menggugat Logika “Tanah Milik Negara” di Kotabaru

  • Whatsapp
PARA petani kotabaru membantu Sakiyo (berdiri di tengah) mengumpulkan sisa-sisa tanaman singkong yang rusak setelah digusur Pemprov Lampung, Rabu, 3/12/2026. Bagi petani, tanah adalah penopang utama kehidupan. | KONSENTRISID/Derri Nugraha.

Hak ulayat petani kotabaru dibenturkan secara sistematis dengan klaim Pemprov Lampung. Konflik tersebut merupakan kontradiksi fundamental yang timbul dari luka petani atas ruang hidupnya, dengan logika “tanah milik negara” sebagai pembenaran hukum warisan kolonial. Kesenjangan ini secara telanjang memperlihatkan ketidakadilan struktural antara janji manis politisi, UUD 1945, dan kenyataan pahit yang dihadapi ratusan keluarga petani.






Keheningan subuh di dapur kecil itu milik Sakiyo (69). Ia menyalakan api di atas tungku kayu bakar, percikan kecil terdengar renyah. Uap dari panci segera memenuhi udara. Sambil menunggu air mendidih, Sakiyo perlahan melepaskan pakaian Suratinem, istrinya, yang terbaring di kasur. Air hangat digunakannya untuk menyeka bagian-bagian tubuh Suratinem. Setelah mengganti pakaian Suratinem, barulah Sakiyo mempersiapkan sarapan.

Bacaan Lainnya

Dua tahun merupakan waktu yang panjang untuk hidup dalam keterbatasan gerak. Sejak Suratinem terserang stroke, seluruh tatanan rumah tangga beralih ke tangan Sakiyo. Keriput di wajah Sakiyo semakin dalam, dipahat oleh rutinitas tanpa henti. Hanya setelah semua pekerjaan domestik selesai – piring dicuci, pakaian dilipat – ia bisa menuju ladang singkong di kotabaru, Jatiagung, Lampung Selatan. Ladang itu adalah satu-satunya ruang hidup, sumber daya bagi pengobatan Suratinem dan garansi kelangsungan hidup mereka berdua.

Hari itu, Selasa, 2 Desember 2025, Suratinem mesti kontrol ke rumah sakit. Tepat saat hendak berangkat, Sakiyo menerima kabar buruk. Lahan garapannya akan digusur.

Sakiyo terduduk sejenak. Diam. Tatapannya terpaku pada Suratinem, sementara pikirannya melayang pada tanaman singkong yang kini berada di ujung tanduk. Prioritasnya hancur dalam hitungan detik. Ia mengabaikan jadwal kontrol, berbalik, meninggalkan rumah, dan bergegas ke ladang.

Setiba di lahan, Sakiyo mendapati bahwa kecemasannya adalah kecemasan bersama. Puluhan petani lain sudah berkumpul. Wajah mereka tegang dan penuh kekhawatiran. Ancaman penggusuran tak hanya menimpa petak kecil miliknya, melainkan sekitar sepuluh hektare lahan yang dikelola beberapa keluarga. Rencananya, area produktif itu akan beralih fungsi menjadi lokasi pembangunan Sekolah Rakyat.

Di hadapan mereka, ratusan personel Satuan Tugas (Satgas) Pengamanan Aset Daerah Pemerintah Provinsi (Pemprov) telah siaga. Di belakang barisan seragam itu, sebuah ekskavator oranye berdiri, siap menghancurkan. Perdebatan pecah. Pihak Satgas menuntut bukti izin menggarap lahan. Para petani, yang hanya mengandalkan warisan lisan dan kerja keras bertahun-tahun, dihadapkan pada tuntutan birokrasi.

Keheningan sesaat menyelimuti lokasi, sebelum mesin bajak menderu. Mulut baja ekskavator mulai melindas dan menggaruk tanaman singkong – tanaman setinggi 1,5 hingga dua meter, yang telah dirawat selama lebih dari setengah tahun.

Tepat pada momen itu, “Jangan digusur, ini sudah tinggal panen,” teriak Sakiyo. Suaranya pecah, ditelan mentah-mentah oleh deru mesin yang mematikan harapan.

Satgas Pengamanan Aset Daerah Pemprov Lampung menggusur lahan seluas 10 hektare di kotabaru, Selasa, 2/12/2025. Rencananya, lahan produktif para petani itu bakal dibangun Sekolah Rakyat. | ist

Aparat tak menghiraukannya. Deru mesin ekskavator mendominasi udara, melindas setiap protes lisan. Hanya dalam waktu kurang dari dua jam, lahan sepuluh hektare – harapan tunggal Sakiyo dan banyak keluarga petani lain – tak bersisa. Para petani bukannya tidak mau melawan; ingatan kolektif dan trauma kriminalisasi masih menyelimuti benak mereka. Beberapa tahun terakhir, sejumlah petani di kotabaru kerap dilaporkan ke polisi hanya karena mempertahankan ruang hidup.

Salah satu korbannya adalah Uun Irawati. Agar terhindar dari hukuman penjara, ia harus membayar ganti rugi Rp40 juta – angka fantastis bagi komunitas petani singkong. Untuk melunasi beban tersebut, para petani secara swadaya mengumpulkan donasi dan berutang ke kerabat. Kenyataan pahit itulah yang membungkam mereka; itulah sebabnya para petani hanya bisa menyaksikan tanaman mereka luluh lantak. Melawan berarti menerima beban berlapis: kehilangan lahan dan ancaman jerat hukum.

Sakiyo tergeming di tengah ladang yang telah rata dengan tanah. Tiada lagi tanaman singkong, yang berarti sang istri tidak bisa berobat bulan ini. Harapan finansial mereka lenyap. Hancur secara fisik dan mental, Sakiyo akhirnya pulang. Ia memeluk sang istri.

Sing sabar,” ujar Suratinem dengan suara yang terdengar cadel.

Bagi Sakiyo, lahan dua hektare itu bukan sekadar petak tanah. Sejak 1955, orang tuanya telah mengelola lahan di kotabaru, menggantungkan hidup dari hasil pertanian. Sepeninggal kedua orang tuanya, Sakiyo melanjutkan tradisi itu, mengolah tanah untuk menghidupi empat anaknya.

Hingga saat ini, tanah tersebut masih menjadi tumpuan ekonomi. Dua anak Sakiyo yang telah berumah tangga pun masih bergantung pada penghasilan dari sana. Artinya, tanah itu telah menjadi penopang hidup hingga empat generasi.

Kisah Sakiyo adalah kisah ratusan orang lainnya. Tepatnya, ada 400 kepala keluarga yang menggarap lahan di kotabaru. Dahulu, lahan garapan petani singkong di sana merupakan bagian dari bekas kawasan Register 40 Gedong Wani. Area tersebut membentang seluas 1.308 hektare. Dari total luas itu, kurang lebih 800 hektare merupakan lahan garapan masyarakat. Kehidupan petani yang tenteram mulai terusik pada 2011, ketika terbit Surat Keputusan Gubernur Lampung untuk pembangunan kotabaru. Proyek yang mangkrak lebih dari satu dasawarsa itu perlahan merampas ruang hidup masyarakat.

Masalah kian pelik ketika pemerintah memberlakukan sewa sebesar Rp300 per meter persegi per tahun pada 2022. Kebijakan itu termaktub dalam Keputusan Gubernur Lampung Nomor: G/293/VI.02/HK/2022. Petani dipaksa membayar sewa di lahan garapan sendiri. Ratusan keluarga petani bersatu melawan. Bagi mereka, aturan tersebut terasa seperti metode penjajah, memeras warga di tanahnya sendiri.

Para petani melancarkan unjuk rasa di berbagai ruang publik, termasuk audiensi dengan wakil rakyat dan kepala daerah. Berbagai upaya perlawanan itu berujung pemeriksaan sejumlah petani pada medio 2023. Mereka dituduh menyerobot lahan. Namun, kasus itu menguap begitu saja, meninggalkan residu ketakutan dan ketidakpastian.

Pada Maret 2024, ketakutan menjadi kenyataan. Satgas Pengamanan Aset Daerah Pemprov Lampung merusak ladang warga yang lantang menolak penggusuran. Tiga petani gigih yang mempertahankan lahannya dilaporkan ke polisi. Petani juga melaporkan balik satgas yang menggusur lahan mereka, namun hukum terasa berjalan pincang. Hanya laporan terhadap petani yang diproses; laporan soal penggusuran dihentikan polisi.

Upaya kriminalisasi yang berulang kali membuat sebagian masyarakat gentar. Beberapa akhirnya menyerahkan lahan yang mereka garap kepada Pemprov Lampung. Akan tetapi, ratusan warga, termasuk Sakiyo, masih bertahan. Mereka menolak perampasan ruang hidup.

“Cuma tanah ini harta keluarga saya. Kami hanya bertahan hidup,” ucap Sakiyo.

Sakiyo sedang mempersiapkan bibit singkong untuk ditanam di lahannya yang digusur Pemprov Lampung, Rabu, 3/12/2025. Tanah yang menjadi tumpuan ekonomi keluarganya selama empat generasi itu bakal dibangun Sekolah Rakyat. | KONSENTRISID/Derri Nugraha

Sesaat setelah satgas meninggalkan lokasi penggusuran, para petani lain kembali berkumpul. Kali ini bukan berdebat, melainkan untuk membantu Sakiyo mengumpulkan sisa-sisa singkong yang rusak. Di antara mereka adalah Ngatemi, salah satu perempuan petani di kotabaru. Ia datang untuk bersimpati pada warga yang tergusur. Baginya, setiap petani di sana adalah keluarga – mereka yang paling dekat dan bisa saling menolong saat kesulitan.

Ngatemi sendiri mengelola lahan seluas satu hektare. Sementara ini, lahannya belum menjadi target penggusuran. Namun, melihat apa yang terjadi pada Sakiyo, Ngatemi disergap kekhawatiran: ia takut lahan garapan miliknya bernasib sama. Apalagi, satu tahun terakhir, ia melihat Pemprov Lampung kerap menghibahkan tanah kotabaru kepada pihak lain, seolah-olah lahan itu tidak berpenghuni.

Penggusuran sepuluh hektare untuk Sekolah Rakyat hanyalah bagian dari pola yang lebih besar. Sebelumnya, Pemprov Lampung beberapa kali mengalokasikan lahan kepada sejumlah lembaga atau organisasi masyarakat tanpa sepengetahuan petani.

Menjelang akhir Desember 2024, hanya sebulan setelah pemilihan gubernur Lampung, pemerintah setempat memulai proyek ambisius: pembangunan Taman Keanekaragaman Hayati (Kehati) di atas lahan kotabaru seluas 25 hektare. Program ini diklaim dapat menjaga ekosistem dan keberlanjutan lingkungan. Inisiator program ini salah satunya adalah Anshori Djausal, paman Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal.

Di balik klaim mulia tentang ekosistem, terselip kenyataan pahit. Sekitar lima hektare yang masuk dalam rencana pembangunan Kehati merupakan lahan garapan aktif petani. Mereka masih menanam singkong dan jagung, berjuang untuk hidup di atas lahan yang secara administratif sudah dialokasikan untuk “keberlanjutan lingkungan.”

Pemprov Lampung memasang pemberitahuan pengosongan lahan kotabaru seluas 10 hektare untuk pembangunan Sekolah Rakyat. Sebelumnya, pemerintah kerap menghibahkan tanah-tanah di kotabaru kepada sejumlah lembaga. | KONSENTRISID/Derri Nugraha

Pola alokasi lahan berlanjut. Pada Maret 2025, Pemprov Lampung menghibahkan sembilan hektare lahan kotabaru kepada Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Lampung. Rahmat bilang, hibah ini bagian dari upaya membangun peradaban serta memperkuat sinergi antara pemerintah daerah dan organisasi kemasyarakatan, khususnya NU. Bagi para petani seperti Sakiyo dan Ngatemi, narasi “pembangunan peradaban” itu terasa kontras dengan kenyataan pahit: perampasan ruang hidup.

Bulan berikutnya, April 2025, giliran Pimpinan Wilayah (PW) Muhammadiyah Lampung yang menerima hibah lahan kotabaru dengan luas yang sama dengan PWNU: sembilan hektare.

Pada Mei 2025, pemprov menyerahkan lahan seluas 40 hektare kepada Komando Resor Militer (Korem) 043/Garuda Hitam (Gatam). Tanah itu, menurut rencana, akan digunakan untuk pembangunan serta pembentukan Kodam dan batalion baru di Lampung.

Dua bulan berselang, Juli 2025, UIN Radin Intan Lampung dan Politeknik Negeri Lampung (Polinela) menerima hibah masing-masing 50 hektare untuk pengembangan kawasan pendidikan di kotabaru. Dua tahun sebelumnya, Universitas Lampung (Unila) telah menerima hibah sebesar 150 hektare.

Akhir September 2025, Pemprov Lampung, yang berambisi menjadikan kotabaru sebagai ikon peradaban, menghibahkan lahan seluas 15 hektare kepada Mahkamah Agung dan Pengadilan Tinggi Tanjungkarang.

Di tengah rentetan bagi-bagi lahan itu, Ngatemi tidak bisa tenang. Ia takut tanah yang menjadi sumber utama pencahariannya juga dirampas dengan dalih pembangunan.

Ngatemi menyimpan keheranan mendalam. Bila Pemprov Lampung bisa dengan mudah memberikan hibah kepada berbagai organisasi dan lembaga, mengapa petani seperti dirinya, yang secara nyata menggantungkan hidup pada tanah, justru tidak mendapat perhatian? Ia menjadi skeptis, merasa bahwa hibah-hibah tersebut adalah cara sistematis pemerintah untuk perlahan menyingkirkan petani kotabaru.

Apa pun yang terjadi, Ngatemi bertekad memperjuangkan haknya. Ia mengajak seluruh masyarakat bersatu melawan perampasan ruang hidup. Baginya, tanah merupakan anugerah Tuhan yang semestinya digunakan untuk kemakmuran rakyat, bukan untuk proyek-proyek birokrasi. Tanah tak hanya sekadar hamparan luas; ia adalah harapan, pengorbanan, dan penopang kehidupan itu sendiri.

“Hidupnya petani ya tanah, tanpa tanah petani mau tanam apa?” kata Ngatemi.

Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal usai membuka Rakorda BAZNAS se-Provinsi Lampung di Hotel Emersia, Bandar Lampung, Kamis, 4/12/2025. Dalam kesempatan itu, Rahmat menegaskan akan menyelesaikan persoalan kotabaru. | KONSENTRISID/Derri Nugraha

Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal memang berkomitmen melanjutkan pengembangan kotabaru dengan menjadikannya prioritas pembangunan dalam RPJMD 2025-2029. Oktober kemarin, pihaknya telah memulai kajian batas wilayah kotabaru, sebuah langkah administratif yang terasa mengancam bagi ratusan keluarga petani.

Beberapa hari lalu, dalam sebuah acara di Hotel Emersia, Rahmat menyampaikan pernyataan tegas. Ia mengatakan lahan kotabaru adalah sepenuhnya milik pemerintah provinsi dan mengklaim masyarakat sudah mengetahuinya. Ihwal petani yang menolak digusur, ia bilang akan tetap diselesaikan. Lalu, bila ada warga terdampak penggusuran yang mengalami kesulitan seperti putus sekolah, Rahmat mengimbau untuk melapor. Pihaknya akan memfasilitasi pendidikan mereka.

Pernyataan tersebut tampak berjarak dengan memori satu tahun lalu. Pada hari pendaftaran Pilgub Lampung, Rahmat bersama wakilnya Jihan Nurlela berjanji akan menjaga hak-hak petani kotabaru.

“Terkait penggusuran (kotabaru), kami ini adalah anak petani. Saya akan menguatkan Rahmat untuk mempertahankan hak-hak para petani,” ujar Jihan di depan awak media saat itu.

Kini, klaim bahwa tanah kotabaru adalah sepenuhnya milik Pemprov Lampung menjadi dasar tindakan penggusuran.

Direktur LBH Bandar Lampung Prabowo Pamungkas | ist

Direktur LBH Bandar Lampung Prabowo Pamungkas melihat cara pandang itu keliru. Menurutnya, pemahaman tersebut berkaitan erat dengan domein verklaring, sebuah prinsip hukum warisan kolonial. Prinsip itu, secara simplistis, menyatakan bahwa tanah yang tidak memiliki bukti kepemilikan resmi (eigendom) secara otomatis milik negara (domain negara).

Dalam banyak kasus di lapangan, asas domein verklaring justru memfasilitasi pengambilalihan tanah rakyat untuk kepentingan swasta atau pemerintah, dan secara tragis mengabaikan masyarakat yang sudah mengelola tanah selama bertahun-tahun. Cara pandang inilah yang memengaruhi pengambil kebijakan dalam menggusur lahan hanya berdasarkan selembar sertifikat administratif.

Bila merujuk Pasal 33 UUD 1945, posisi negara terhadap tanah adalah mengelola (menguasai), bukan memiliki. Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam konteks petani kotabaru, pemerintah seharusnya mempertimbangkan masyarakat yang sudah menggarap lahan dari generasi ke generasi, bukan menggusur mereka atas nama pembangunan. 

Prabowo juga melihat cara Pemprov Lampung yang bagi-bagi lahan merupakan bentuk pelepasan tanggung jawab untuk pengelolaan tanah yang dilekatkan hak pakai. Secara tersirat, proses itu dapat dibaca sebagai ketidakmampuan pemerintah dalam menuntaskan ambisi pembangunan kotabaru. Sementara itu, Pemprov Lampung yang terlanjur mengubah status Kawasan Hutan Gedong Wani dibebankan tugas pengelolaan. Jadi, melalui mekanisme hibah lahan, aset itu dialihkan kepada instansi atau organisasi agar bisa dimanfaatkan dan dikelola. Masalah fundamentalnya: proses tersebut sama sekali tidak melibatkan atau menganggap keberadaan petani yang telah bergantung hidup puluhan tahun di lahan kotabaru.

Kepada petani, Prabowo berpesan, kunci keluar dari penindasan adalah bersatu. Masyarakat sudah menghadapi ancaman penggusuran selama bertahun-tahun. Hanya dengan kekuatan kolektif, masyarakat dapat mempertahankan haknya. Perjuangan bersama itu dapat memperkuat posisi tawar petani di hadapan kekuasaan.

Tiga hari setelah penggusuran yang menyisakan luka, Sakiyo kembali ke lahan garapan pagi-pagi sekali. Ia membawa ratusan bibit singkong. Dengan goloknya, ia menggali tanah yang baru saja diratakan buldoser, lalu menanam tunas baru. Tindakan itu adalah simbol perlawanan senyap. Sakiyo menolak menyerah dan tunduk pada otoritas yang merampas tanah, harapan, dan ruang hidupnya.(*)

Laporan Derri Nugraha

Liputan ini mendapat dukungan dari Yayasan Kurawal sebagai upaya memperkuat demokrasi.

DukungKami.png.png

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

61 − = 59