Gerakan sipil di Lampung berjalan mundur. Konsolidasi berujung aksi yang dimotori kelas menengah tidak membangun kesadaran kolektif. Isu yang diperjuangkan pun terfragmentasi, bahkan terkadang tidak berhubungan dengan persoalan di masyarakat. Keadaan ini tak menguntungkan bagi publik.
Puluhan orang berkumpul di halaman Gedung Anno 1990, Universitas Bandar Lampung (UBL), Kamis sore, 8 Desember 2022. Mereka duduk membentuk lingkaran. Salah seorang dari mereka mengangkat tangan kiri terkepal sambil berteriak beberapa kali, “Hidup rakyat Indonesia!”
Kumpulan itu berasal dari berbagai lembaga, seperti organisasi mahasiswa, serikat buruh, dan organisasi masyarakat sipil. Mereka tergabung dalam Aliansi Lampung Memanggil. Konsolidasi tersebut merepons pengesahan RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Dalam konsolidasi, mereka berencana menggelar aksi penolakan RUU KUHP. Semua sepakat mengadakan orasi dan panggung budaya sebagai bentuk protes. Lalu, mereka menentukan orang-orang yang menangani teknis aksi. Setelah itu, konsolidasi selesai.
Pola demikian seperti model gerakan bagi elemen masyarakat sipil di Lampung. Tujuannya, menghimpun dukungan untuk menentang kebijakan yang dipandang tidak memihak kepentingan banyak orang.
Pengamatan konsentris, gerakan sipil di Lampung cenderung melemah. Banyak yang menjadi determinan. Mulai proses konsolidasi yang minim pertukaran gagasan hingga tak memiliki strategi jangka panjang.
Dalam beberapa kasus, aksi yang dimotori elemen masyarakat sipil terkesan sporadis. Terkadang, memberi panggung elite politik yang notabene bagian dari persoalan. Hal itu setidaknya terlihat dari beberapa demonstrasi besar, tiga tahun terakhir.
Pada 23-24 September 2019, tagar #ReformasiDikorupsi bergaung di lini massa dan ruang-ruang publik. Ribuan mahasiswa dari pelbagai kampus turun ke jalan menentang revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka juga menolak sejumlah rancangan legislasi, antara lain Rancangan KUHP, RUU Mineral dan Batu Bara, RUU Pertanahan, dan RUU Pemasyarakatan. Beberapa RUU tersebut kini sah menjadi undang-undang.
Lampung turut dalam gerakan itu. Diperkirakan lebih dari 5.000 orang berkumpul di depan gedung DPRD setempat. Beberapa hari kemudian, tak terdengar lagi suara dari massa aksi.
Pada 7-9 Oktober 2020, para mahasiswa kembali ke jalan, tak terkecuali di Lampung. Kali ini, mereka memprotes pengesahan RUU Cipta Kerja atau Omnibus Law. Prosesnya dinilai kurang transparan dan minim partisipasi publik. Mosi tidak percaya pun dilayangkan kepada penguasa. Sama seperti aksi #ReformasiDikorupsi, gerakan itu tak punya napas panjang. Pun tak banyak agenda lanjutan.
Bahkan, gerakan sipil saat itu terbelah. Semula, mahasiswa se-Lampung tergabung dalam satu wadah bersama para buruh, aktivis, dan masyarakat sipil, yakni Aliansi Mahasiswa Lampung Memanggil. Belakangan, beberapa badan eksekutif mahasiswa (BEM) menarik diri dan membentuk Aliansi Lampung Bergerak.
Kecenderungan melemahnya gerakan sipil di Lampung juga terlihat menjelang pengesahan RUU KUHP. Pada aksi-aksi sebelumnya banyak demonstran, kali ini sepi. Minim pula sikap dari elemen masyarakat sipil yang pernah menolak UU itu tiga tahun silam.
Hipokrit
Aktivis mahasiswa Sultan Ali Sabana mengamini bahwa gerakan mahasiswa di Lampung mengalami kemunduran. Sebagai entitas yang kerap menjadi garda terdepan gerakan sipil, mahasiswa gagal membangun eksistensinya. Mahasiswa terkesan gagap merespons isu-isu publik. Hal tersebut karena mayoritas gerakan mahasiswa tidak berangkat dari kesadaran, tetapi lebih kepada gerakan moril.
“Artinya, kebanyakan masih sekadar bersolidaritas atau ikut-ikutan. Bergerak hanya karena mereka ikut organisasi atau lembaga tertentu. Jadi, bukan kesadaran organik dari setiap individu,” kata Sultan.
Kemudian, pola gerakan juga masih tersekat dengan ideologis atau isu yang diperjuangkan masing-masing lembaga. Sehingga, ketika bergabung dalam suatu koalisi, sulit untuk membangun kepercayaan antarorganisasi. Itu sebabnya, tidak terbangun strategi jangka panjang dan agenda lanjutan.
“Terbelahnya massa pada aksi #MosiTidakPercaya merupakan bentuk krisis kepercayaan tersebut,” ujarnya.
Selain itu, Sultan menilai gerakan mahasiswa memperlihatkan kemunafikan. Hal tersebut berkaca pada beberapa kali aksi massa di Lampung. Contohnya, pada 2019, beredar foto yang memperlihatkan sejumlah mahasiswa dan anggota organisasi kemasyarakatan dan pemuda (OKP) makan bareng gubernur dan kapolda Lampung di sebuah rumah makan. Padahal, seminggu sebelumnya, mereka ikut mendemo kantor pemerintah dan legislatif pada aksi #ReformasiDikorupsi.
Selanjutnya, pada aksi #MosiTidakPercaya, petinggi BEM dari sejumlah kampus menandatangani Piagam Adipura bersama kapolres dan dandim 0410 Bandar Lampung. Padahal, aksi yang berujung kaos itu mengakibatkan puluhan demonstran terluka dan terjaring sweeping.
Data Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung, sebanyak 262 peserta demo ditangkap kepolisian. Lalu, terdapat 16 mahasiswa mengalami luka-luka akibat pukulan, pentungan, dan gas air mata. Kemudian, satu warga sipil yang tak terlibat dalam aksi turut menerima represi.
“Kondisi itu jelas menunjukkan sikap hipokrit. Sebab, mereka sudah menyatakan mosi tidak percaya, tapi malah membuat perjanjian dengan aparat yang sebelumnya menangkap dan bertindak represif terhadap kawan-kawannya,” ucap Sultan.
Terbaru, BEM salah satu universitas melarang anggotanya ikut demonstrasi menolak RUU KUHP. Larangan disertai ancaman akan memanggil siapa saja anggota BEM yang terlibat dalam aksi. Akibatnya, sejumlah anggota BEM takut untuk turut dalam gerakan.
“Hal itu semakin menebalkan tendensi kemunafikan mahasiswa. Sebab, mereka berteriak menjaga demokrasi, kebebasan berekspresi, dan berpendapat. Namun, melarang mahasiswa lain yang hendak menyampaikan aspirasi,” kata Sultan.
Persoalan lain yang menerpa gerakan mahasiswa, yakni maraknya represi. Dalam kurun waktu tak berjauhan, para mahasiswa dari sejumlah kampus mengalami represi setelah menyampaikan ekspresi, seperti intimidasi, teror, pelaporan ke polisi, skors, hingga drop out (DO).
Pada 11 Juni 2020, dua jurnalis mahasiswa Teknokra Universitas Lampung (Unila) menjadi korban teror dan peretasan ketika hendak menggelar diskusi soal Papua. Lalu, Februari 2021, sembilan mahasiswa Teknik Sipil Universitas Teknokrat menerima sanksi skors dan DO setelah mendirikan sekretariat organisasi di luar kampus. Pihak kampus menyematkan berbagai tuduhan, mulai dari meresahkan warga, membangun jiwa ekstremisme dan radikalisme, hingga tak memenuhi standar akademik.
Pada bulan yang sama, tiga mahasiswa Universitas Bandar Lampung dilaporkan ke polisi setelah menuntut keringanan uang kuliah tunggal (UKT). Pihak kampus menuduh ketiga mahasiswa itu melakukan penghasutan dan melanggar kekarantinaan kesehatan.
Kemudian, 17 Maret 2021, lima gubernur mahasiswa Politeknik Negeri Lampung (Polinela) mendapat surat peringatan karena berencana menggelar aksi lanjutan mengawal penurunan UKT. Mereka dituduh memprovokasi para mahasiswa lainnya. Sebelum menerima surat peringatan itu, mahasiswa Polinela lebih dahulu demo di halaman gerbang kampus setempat, Kamis siang, 11 Februari 2021. Sama seperti keresahan mahasiswa di berbagai daerah, mereka menuntut penurunan UKT. Sebab, pandemi berdampak buruk pada penghasilan orang tua.
Alih-alih bersikap, tak banyak organisasi mahasiswa yang bersuara atas kasus-kasus represi tersebut. Padahal, semua korban adalah mahasiswa.
Pengorganisasian Lemah
LBH Bandar Lampung juga menyoroti situasi gerakan di Lampung. Organisasi yang concern pada isu demokrasi itu memandang gerakan sipil mengarah pada kemunduran. LBH berpendapat, gerakan sipil di Lampung cenderung tersentralisasi. Maksudnya, orientasi gerakan masih mengekor dengan gerakan di Ibu Kota.
“Apakah dari kelompok-kelompok menengah, seperti aktivis dan mahasiswa, sudah melakukan gerakan yang memang benar secara prinsip? Jadi, tidak hanya melakukan tugasnya di organisasi masing-masing. Namun, dapat turun ke masyarakat melakukan penyadaran dan lain sebagainya. Sebab, hari ini, kami melihat para aktivis dan mahasiswa lebih menunggu dan melihat gerakan di Jawa dan lainnya,” kata Direktur LBH Bandar Lampung Sumaindra Jarwadi.
Pria yang akrab disapa Indra itu bilang, aksi-aksi yang dipelopori gerakan sipil relatif jarang melibatkan masyarakat. Padahal, dalam setiap gerakan sering mengatasnamakan kepentingan rakyat. Bahkan, terkadang isu yang disuarakan tidak related dengan persoalan di masyarakat.
Kemudian, isu-isu yang diperjuangkan kaum gerakan sipil cenderung berputar di kalangan tertentu. Maksudnya, sirkulasi isu di internal mereka saja. Jadi, muncul kesan bahwa melakukan gerakan sekadar menjalankan tanggung jawab.
Pun demikian dengan organisasi masyarakat sipil, seperti non-government organization (NGO). Perjuangan yang dilakukan terkesan sektoral. Padahal, dalam konteks hari ini, beberapa rancangan undang-undang dapat berdampak multisektor, dan semua pihak yang akan merasakan.
Aktivis senior Penta Peturun menilai, gerakan sipil belakangan ini belum kuat dalam pengorganisasian berbasis kelas. Jika dibandingkan dengan sekarang, gerakan di Lampung pada 1965- 1996, 1978 sampai 1998 melibatkan masyarakat untuk berjuang bersama. Kelas pekerja dan petani mendukung gerakan sipil waktu itu.
“Dahulu, ketika mahasiswa turun ke jalan, meski tak ikut demo, di pinggir-pinggir jalan itu masyarakat turut membantu dengan menyediakan minum atau makanan,” kata Penta. “Hal itu bisa terbentuk karena saat konsolidasi dan memulai gerakan, selalu mengorganisasi dan membangun basis yang kuat di masyarakat.”
Kondisi tersebut juga menjelaskan mengapa gerakan sipil di Lampung cenderung melemah, akhir-akhir ini. Sebab, jarang melibatkan masyarakat dalam setiap aksi.
Selain itu, perbedaan mendasar gerakan pada masa sebelum reformasi dengan sekarang adalah kehadiran internet dan media sosial. Setiap orang dimungkinkan mengakses informasi melalui berbagai saluran media dengan cepat. Celakanya, tak semua informasi yang tersebar di dunia maya, benar. Sebaliknya, saluran itu kerap digunakan oleh rezim berkuasa untuk membangun citra positif.
“Itu sangat mungkin mereka (penguasa) lakukan. Sebab, mereka memiliki sumber daya dan orang-orang terlatih untuk memanipulasi informasi,” ujar Penta.
Saat bersamaan, gerakan sipil minim kajian. Sebab, semua informasi bisa diperoleh secara instan. Pun ketika konsolidasi gerakan, jarang adu gagasan sehingga tidak membangun dialektika. Jadi, ketika bergerak kurang memiliki dasar yang kuat.
Penta bilang, perlu menumbuhkan kembali kesadaran sosial dan politik melalui ruang-ruang diskusi. Lalu, membuat kajian mendalam terhadap suatu persoalan serta meningkatkan pelibatan masyarakat. Sehingga, gerakan yang dibangun tak sekadar reaksioner, tetapi berangkat dari kesadaran kolektif.
Bergantung Pendanaan
Pengajar sosiologi Universitas Lampung Fuad Abdulgani berpendapat, kondisi yang terjadi dipengaruhi faktor struktural. Hal tersebut berkaitan dengan sistem yang diterapkan oleh rezim oligarki. Nyaris semua akses kritik terhadap para penguasa ditutup celahnya melalui berbagai produk legislasi.
Di sektor pendidikan, pola yang diterapkan adalah lebih mendekatkan kurikulumnya dengan industri. Hal itu terlihat melalui program Kampus Merdeka. Lewat program itu, mahasiswa dimungkinkan untuk magang di perusahaan lebih lama dari biasanya.
“Jadi, tak ada lagi waktu bagi mahasiswa untuk memikirkan hal-hal lain di luar mata kuliahnya, apalagi memikirkan persoalan publik. Sebab, sistem yang diterapkan memaksa mereka fokus dengan kuliah dan memenuhi kebutuhan industri,” kata Fuad.
Kemudian, biaya kuliah yang samakin tinggi membuat mahasiswa semakin hati-hati dan enggan bersinggungan dengan hal di luar kampus. Apalagi, melihat tren skors-DO di berbagai kampus ketika mahasiswa mencoba membuka ruang diskusi dan kritis terhadap suatu persoalan.
Kondisi yang sama juga terjadi pada sektor ketenagakerjaan. Rezim saat ini yang bercorak kapitalistik menerapkan jam kerja lebih panjang. Sehingga, kelas pekerja akan sulit untuk turut andil dalam gerakan-gerakan sosial. Sebab, waktu dan tenaganya telah diisap oleh perusahaan.
Itulah mengapa, gerakan sipil belakangan ini didominasi oleh aktivis kelas menengah. Mereka adalah orang-orang yang bekerja di lembaga atau organisasi nonpemerintah yang bergerak di isu tertentu, seperti aktivis lingkungan, hak asasi manusia, dan perburuhan. Problemnya, operasional lembaga-lembaga itu masih bergantung pada basis pendanaan melalui donor.
Penulis teori sosial kritis itu bilang, konsolidasi demokrasi di tengah kelompok gerakan sipil pada akhirnya berubah. Semata-mata hanya sebagai bagian dari kerja-kerja berorientasi proyek ekonomi yang sangat tergantung dengan donor. Hal ini kemudian ikut membentuk wajah gerakan masyarakat sipil yang cenderung elitis dan saling berkompetisi guna mengamankan sumber-sumber pendanaan dari donor.
Atas kondisi itu, publik yang akan dirugikan. Publik di sini dibagi menjadi dua kategori. Pertama, publik secara umum, terutama kelompok sosial yang terpinggirkan secara ekonomi-politik dan sosial. Apabila bersuara kritis, maka mereka akan semakin rentan. Misal, kelas pekerja, kaum miskin kota, agama/kepercayaan minoritas, dan masyarakat adat. Kedua, publik secara khusus, dalam arti individu/kelompok aktivis prodemokrasi yang aspirasi kritisnya terhadap pemerintah semakin direpresi dan rentan kriminalisasi.
“Jika ditarik benang merah, yang akan dirugikan itu ringkasnya adalah setiap kelompok sosial yang kritis dan resisten terhadap kebijakan pemerintah,” kata Fuad.
Menurutnya, perlu mendefinisikan ulang makna gerakan sipil. Sebab, sipil memiliki arti luas. Hal itu penting agar gerakan yang dibangun lebih spesifik: kepentingan siapa yang diperjuangkan.
“Karena, di dalam ketegori gerakan sipil, kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan sosial, ekonomi, dan politik yang bertentangan dimungkinkan masuk dalam satu wadah. Misal, kepentingan pengusaha, pekerja, atau petani sudah jelas berbeda. Sehingga, perlu gerakan dengan basis indentitas sosial yang jelas,” ujarnya.(*)
Laporan Derri Nugraha
Liputan ini didukung Google News Initiative News Equity Fund