Mafia LPG Subsidi: Permainan di Balik Kesusahan Masyarakat

  • Whatsapp
PULUHAN warga mengantre di salah satu pangkalan LPG 3 kg di Kotabumi, Lampung Utara, Sabtu, 5/4/2025. Beberapa bulan terkahir, gas bersubsidi itu sulit dicari, bahkan harganya melebihi harga eceran tertinggi, yakni Rp35 ribu-Rp50 ribu. | KONSENTRISID/Derri Nugraha

Penyelewengan distribusi LPG subsidi di Lampung menunjukkan kegagalan sistem. Spekulasi harga dan ketersediaan yang terbatas merugikan masyarakat. Perlu tindakan tegas guna memperbaiki struktur distribusi dan memastikan keadilan akses terhadap gas subsidi.






Terik mentari terasa menyengat di Jalan Kapten Mustofa, Kelurahan Tanjungharapan, Kotabumi Selatan, Lampung Utara. Puluhan ibu-ibu berbaris di depan pangkalan LPG 3 kg. Mereka meninggalkan pekerjaan rumah demi mendapatkan gas minyak cair.

Bacaan Lainnya

Bobby, pemilik pangkalan, memanggil warga satu per satu. Suaranya seperti denting jam yang terus berdetak. Setiap orang hanya dapat satu tabung gas melon dengan menunjukkan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Warga menunggu dengan sabar.

Dalam waktu singkat, 80 tabung gas subsidi ludes terjual. Warga yang tak kebagian harus puas dengan tangan hampa. Wajah mereka murung.

“Bingung kalau begini terus,” kata salah satu warga.

 “Susah sekali cari gas sekarang ini,” gerutu ibu-ibu lain.

Kesulitan mencari LPG subsidi menjadi kenyataan bagi warga Lampung Utara. Mereka menanti kedatangan gas selanjutnya. Pangkalan hanya mendapat pasokan dua kali seminggu. Warga harus rela menunggu dengan tangan kosong.

Beberapa pangkalan yang beruntung mungkin mendapat tambahan pasokan pada hari Minggu. Namun, itu tidak menjamin ketersediaan gas yang cukup. Warga yang tidak mendapat gas di pangkalan membeli LPG di warung eceran. Harganya mencapai Rp45 ribu, hampir dua kali lipat dari harga resmi Rp20 ribu.

Sulis sedang menyaring bakwan di kedainya, Kotabumi, Lampung Utara, Jumat, 4/4/2025. Beberapa bulan terakhir, ia mengeluhkan sulitnya mendapat LPG 3 kg. | KONSENTRISID/Derri Nugraha

Sulis, penjual gorengan, merasakan kesulitan ini. Setiap hari, ia berjuang mencari gas subsidi untuk menjalankan usahanya. Harga bahan pokok yang tinggi juga membebani biaya produksinya.

“Bagaimana saya bisa untung?” keluh Sulis sambil menyaring bakwan yang sudah matang. “Harga cabai Rp100 ribu, minyak goreng mahal, dan gas langka,” ujarnya.

Sulis terjebak dalam lingkaran kesulitan. Stok LPG di pangkalan sangat terbatas, membuatnya kerap tidak kebagian saat mengantre. Ia terpaksa membeli di warung eceran dengan harga lebih mahal.

Krisis gas subsidi mencapai puncaknya pada awal Februari lalu, ketika Kementerian ESDM melarang pengecer menjual LPG 3 kg. Kebijakan itu dicabut setelah protes masyarakat, namun dampaknya masih terasa. Stok LPG di Lampung seperti lenyap dari peredaran, meninggalkan warga dengan wajah cemas dan putus asa.

Sulis masih terjebak dalam dampak kelangkaan LPG 3 kg. Stok di warung eceran pun hampir kosong. Suatu hari, saat semua pangkalan dan eceran di sekitar tempat tinggalnya kehabisan persediaan, ia terpaksa menggunakan gas nonsubsidi 5,5 kg. Harganya sangat mahal – sekitar Rp100 ribu, jumlah yang besar bagi pedagang kecil itu.

Namun, ia tak punya pilihan lain. Usaha kecilnya harus tetap berjalan untuk menanggung kebutuhan sehari-hari dan sekolah anak-anaknya. Sulis dihadapkan pada pilihan sulit: bertahan hidup atau menutup usahanya.

Sulis berjualan 24 jam nonstop di depan rumah sakit, bergantian dengan adik dan suaminya. Pagi sampai sore, adiknya berjaga bersamanya. Malam hari, giliran suaminya.

Di lapak kecilnya, ia menawarkan gorengan, kopi, dan mi instan. Namun, usaha mikro tersebut terjepit oleh kondisi ekonomi Indonesia yang melemah. Harga bahan pokok melonjak, daya beli masyarakat menurun drastis.

Sulis berharap keadaan kembali normal. Gas melon tidak sulit dicari, dan harganya terjangkau.

“Tolong diperhatikan kami sebagai rakyat kecil,” ujarnya. “Jangan buat kebijakan yang menyengsarakan rakyat.”

***

Mafia Gas Subsidi

Hari ketiga Idulfitri, Arif, seorang pedagang asongan berusia 52 tahun, kembali berjualan. Ia berjalan kaki dari satu mobil ke mobil lain di sekitar Gerbang Tol Terbanggi Besar, Lampung Tengah. Tas besar yang berisi dagangannya terayun-ayun di pundaknya. Arif menawarkan tahu pong, telur puyuh, kacang goreng, air mineral kemasan, dan aneka keripik kepada pengunjung yang mudik atau liburan.

Setelah satu bulan sepi pembeli, Arif menanti-nantikan kedatangan pengunjung. Jalan tol yang biasanya lengang kini dipenuhi kendaraan yang bergerak lambat.

Pagi itu, Arif dan istrinya, Reda, menyiapkan jualan dengan semangat. Mereka membawa stok lebih banyak dari biasanya. Reda menggoreng tahu dan merebus telur puyuh, lalu memasukkannya ke plastik kecil dan menggantungnya pada papan kayu berbentuk huruf T.

Puluhan orang mengantre di salah satu pangkalan LPG 3 kg di Kotabumi, Lampung Utara, Sabtu, 5/4/2025. Beberapa bulan terakhir, gas bersubsidi itu sulit dicari, bahkan harganya meroket Rp35 ribu-Rp50 ribu. | KONSENTRISID/Derri Nugraha

Arif membutuhkan LPG 3 kg untuk berjualan asongan, namun susah memperolehnya. Bila pun ada, harganya mahal. Di sekitar tempat tinggalnya, gas bersubsidi rerata dijual Rp30 ribu-Rp35 ribu.

Di dekat rumahnya, ada sebuah pangkalan LPG. Namun, Arif tak pernah mendapatkan gas melon dari sana.

“Kalau mau beli, pasti bilangnya sudah habis. Padahal, saya lihat stoknya baru saja diturunkan dari truk agen,” ujarnya.

Pangkalan seringkali menyampaikan bahwa stok LPG yang baru saja datang sudah dipesan untuk warung eceran. Akibatnya, Arif hanya bergantung pada gas yang dijual di warung, yang harganya mahal dan sulit dicari.

Di sebuah SPBU di Lampung Tengah, pangkalan LPG kerap menyatakan bahwa stok gas baru saja dipasok oleh agen, namun sudah habis. Warga harus datang pagi sekali jika mau membeli, namun banyak tak kebagian. Pangkalan tersebut bahkan menjual LPG 3 kg di atas Harga Eceran Tertinggi (HET), yakni Rp22 ribu.

“Seperti ada permainan,” kata Arif. “Pengkalan jual lebih banyak ke warung dengan harga di atas HET, lalu warung jual dengan harga mahal kepada warga.”

Pola serupa terlihat di beberapa kabupaten di Lampung. Kecamatan Talangpadang, Tanggamus, misalnya. Harga LPG 3 kg di pangkalan sekitar Rp20 ribu-Rp23 ribu. Namun, warga sulit memperoleh karena barangnya kerap kosong. Sementara itu, harga di warung mencapai Rp30 ribu-Rp40 ribu.

Di Kecamatan Sekincau, Lampung Barat, Diana merasakan betapa sulitnya memperoleh LPG subsidi di pangkalan. Ia harus membeli satu tabung gas cadangan untuk mengakali kelangkaan gas, dan menitipkannya ke warung eceran. Ketika stok barang baru datang, Diana bisa mendapatkan gas, namun dengan harga yang lebih mahal.

Diana tidak keberatan membayar lebih untuk gas. Namun, persoalannya bukan hanya harga yang naik, tapi juga ketersediaan barang. Di sekitar tempat tinggalnya, pangkalan terbilang jauh, sehingga warga hanya bergantung pada warung eceran.

“Pangkalan itu jauh, belum tentu juga dapat gas kalau ke sana,” katanya.

Diana mendesak pemerintah untuk memperbaiki distribusi gas yang amburadul. Sudah setengah tahun gas langka di daerahnya. Ia harus membeli gas dengan harga yang tidak stabil, Rp30 ribu-Rp35 ribu. Bahkan, pada pertengahan Ramadan, harga gas tembus Rp40 ribu.

Di Waykanan dan Tulangbawang, juga terjadi persoalan serupa. Harga LPG 3 kg di warung eceran sekitar Rp27 ribu-Rp35 ribu.

Seorang petugas sedang mengecek tabung gas di salah satu pangkalan LPG 3 kg di Bandar Lampung, Kamis, 3/4/2025. Sejumlah pangkalan dan agen menyatakan bahwa stok gas melon relatif stabil. Namun, masyarakat masih kesulitan memperoleh gas tersebut. | KONSENTRISID/Derri Nugraha

Tiga pangkalan LPG di Lampung bilang, persediaan gas tidak pernah turun. Stok yang dikirim dari agen ke pangkalan tetap normal, bahkan cenderung naik.

Bobby, pemilik pangkalan di Lampung Utara, membenarkan hal itu. Ia tidak pernah kekurangan stok, bahkan mendapat tambahan pada masa langka seperti sekarang. Pengiriman yang biasanya dua kali seminggu, kini menjadi tiga kali, dengan 80 tabung dalam sekali pengiriman.

Bobby heran, mengapa gas bisa langka dan mahal di pasaran. Ia melihat permintaan LPG 3 kg meningkat, banyak kelas menengah beralih dari gas nonsubsidi. Di tengah kondisi itu, Bobby mencurigai ada oknum memanfaatkan situasi untuk meraup untung.

Rasikun, pemilik pangkalan LPG di Bandar Lampung sejak 2010, punya pengalaman serupa. Stok LPG dari agen ke pangkalan justru melimpah. Awalnya, 60 tabung gas dalam sekali pengiriman. Sekarang, ia mendapat 300 tabung gas seminggu, dibagi tiga kali pengiriman.

Keterangan Bobby dan Rasikun sejalan dengan kondisi di Bandar Lampung, Metro, dan Pesawaran, di mana kelangkaan gas tidak terjadi. Harga LPG 3 kg relatif terjangkau, yakni Rp20 ribu-Rp25 ribu.

Kepastian stok LPG di Lampung juga terlihat saat Pertamina Patra Niaga Regional Sumbagsel menggelar operasi pasar LPG 3 Kg bersama pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, dan Hiswana Migas. Operasi ini berlangsung di 10 kabupaten/kota di Lampung, akhir Maret lalu.

Tjahyo Nikho Indrawan, Area Manager Communication, Relation & CSR Pertamina Patra Niaga Regional Sumbagsel, berjanji menambah pasokan tabung gas melon total 322.000 untuk seluruh Lampung pada 29-30 Maret 2025. Way Kanan mendapat 34.160 tabung, Lampung Utara 46.480 tabung, Lampung Barat 28.560 tabung, dan Kota Metro 14.560 tabung. Sementara itu, Lampung Selatan memperoleh 114.800 tabung, Pringsewu 49.280 tabung, Tanggamus 50.400 tabung, Lampung Tengah 117.040 tabung, Lampung Timur 96.880 tabung, dan Mesuji 29.120 tabung.

Dengan penambahan pasokan LPG yang signifikan, semestinya daerah tempat tinggal Sulis, Arif, dan Diana, tidak mengalami kelangkaan gas. Namun, kenyataannya mereka masih susah memperoleh LPG subsidi.

Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal dan Wakil Gubernur Lampung Jihan Nurlela (tengah). | KONSENTRISID/Derri Nugraha

Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal menduga terjadi penyelewengan dalam distribusi gas yang mempermainkan harga dan stok. Pemerintah sulit mengawasi sampai tingkat pengecer.

Rahmat berencana memperluas jaringan pangkalan untuk mengatasi masalah ini. Ia akan berkoordinasi dengan pemerintah kabupaten/kota dan Hiswana Migas untuk menambah jumlah pangkalan di lokasi-lokasi yang terdeteksi menjual LPG 3 kg dengan harga tak wajar. Saat ini, Provinsi Lampung hanya memiliki sekitar 7.700 pangkalan LPG, jauh dari jumlah ideal yang berkisar 15.000 pangkalan.

“Nantinya, yang merekomendasikan pangkalan adalah bupati. Jadi, kami bisa lebih mudah mengawasi karena pangkalan itu terdata dan regulasinya jelas,” ujar Rahmat.

Ia memperingatkan pangkalan dan pengecer untuk menjaga distribusi gas subsidi. Sanksi tegas, mulai dari administratif hingga pidana, akan diberikan kepada mereka yang menyalahgunakan distribusi LPG.

Rahmat juga meminta masyarakat melaporkan setiap penyelewengan distribusi gas subsidi pada kontak perusahaan agen yang tersedia di pangkalan. Dengan demikian, pemerintah dapat memantau dan menindak tegas pelaku penyalahgunaan distribusi LPG subsidi.

Pidana

Penyalahgunaan LPG 3 kg dapat dikenakan sanksi pidana penjara hingga enam tahun dan denda Rp60 miliar, sebagaimana diatur dalam Pasal 40 angka 9 UU Cipta Kerja. Pasal ini melarang penimbunan, penyimpanan, dan penggunaan LPG 3 kg yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Selain itu, pelaku usaha yang menjual LPG 3 kg di atas harga eceran tertinggi dapat dijerat dengan pidana penjara hingga lima tahun atau denda Rp2 miliar, berdasarkan Pasal 8 ayat (1) huruf a UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

LPG subsidi diperuntukkan bagi konsumen kelompok rumah tangga, usaha mikro, nelayan sasaran, dan petani sasaran. Hal itu sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2021.(*)

Laporan Derri Nugraha

Liputan ini mendapat dukungan dari Yayasan Kurawal sebagai upaya memperkuat demokrasi melalui jurnalisme independen.

DukungKami.png.png

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

− 3 = 7