Pers mahasiswa di Lampung kehilangan gairah. Minimnya pertukaran gagasan dan literasi yang lemah menggerus identitas pers mahasiswa sebagai penantang kekuasaan. Rasa ingin tahu dan kemampuan berpikir kritis pun semakin pudar. Jurnalisme kampus dalam krisis?
Petang itu, pelataran Gedung QB Politeknik Negeri Lampung (Polinela) terlihat sepi. Wahyu Sani berjalan mondar-mandir, wajahnya mencerminkan kecemasan yang tak tersembunyi. Ia menunggu peserta rapat redaksi yang dijadwalkan jam empat sore. Rapat ini sangat penting karena menentukan arah dan fokus pemberitaan.
Namun, menjelang magrib, masih banyak yang belum datang. Ketika diskusi dimulai, hanya beberapa orang yang hadir.
“Sudah biasa begini. Kalau rapat serius, sedikit yang hadir,” kata Wahyu, Jumat, 14 Maret 2024.
Wahyu, Pemimpin Umum Pers Suara Kreativitas Mahasiswa (Sukma), memimpin barisan pers mahasiswa yang bergerak di bidang jurnalistik. Sebagai Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), Sukma menjadi salah satu suara yang aktif di kampus menjalankan fungsi pers, yakni media informasi dan kontrol sosial.
Produk media Sukma beragam, mulai dari buletin yang terbit dua bulan sekali hingga majalah dan website. Isi buletin mereka mencakup berbagai topik, dari isu-isu kampus, persoalan mahasiswa, hingga cerita-cerita kuliah yang tak terlupakan.
Namun, penentuan isi buletin tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Rapat redaksi yang diagendakan seminggu sekali menjadi ajang penting untuk menentukan apa yang akan dimuat. Rapat sore itu, yang dihadiri beberapa orang saja, menjadi kesempatan untuk membahas penerbitan buletin mendatang.
Akan tetapi, dibalik semangat awal yang membara, Sukma saat ini seperti api yang mulai redup. Gairah menjadi jurnalis mahasiswa yang pernah memicu semangat anggota, kini terasa pudar. Rapat-rapat yang seharusnya menjadi gelanggang diskusi dan dialektika, sekarang terlihat sunyi.
Dari 60 jurnalis mahasiswa Sukma, hanya 10-20 orang yang hadir dalam rapat. Bahkan, jumlah itu bisa turun menjadi beberapa orang saja. Kondisi ini berdampak langsung pada produktivitas. Buletin yang seyogianya terbit secara teratur, sekarang sering terlambat. Isu-isu yang mestinya dihimpun dan dibahas, kini terasa langka.
“Kadang untuk terbit buletin bisa telat karena rapatnya sepi,” ujar Wahyu. “Apalagi cuma seminggu sekali, sehingga isu yang dihimpun minim.”
Pada masa kejayaannya, UKM Pers Sukma memproduksi sekitar 5-6 buletin dan majalah setiap tahun. Namun, akhir-akhir ini, produksi tersebut menurun drastis. Rata-rata, Sukma hanya mencetak dua-tiga buletin/majalah dalam 12 bulan.
Dibalik penurunan produksi itu, terdapat kekurangan yang lebih mendalam. Pertukaran gagasan dan diskusi yang tajam tentang isu-isu terkini menjadi hal langka. Proyeksi pemberitaan yang dibahas dalam rapat hanya wacana.
Hari-hari di sekretariat Sukma dipenuhi dengan obrolan ringan tentang tren media sosial terbaru dan senda gurau. Sebaliknya, diskusi mengenai kondisi sosial atau isu di masyarakat menjadi hal asing. Pemberitaan Sukma pun kehilangan sentuhan dengan dinamika kampus dan persoalan publik, terutama mahasiswa.
Contohnya, ketika pembubaran konsolidasi di Universitas Lampung menjadi perbincangan hangat, Sukma tak memberi perhatian yang cukup. Tidak ada laporan utama di website Sukma yang membahas kasus tersebut. Begitu pula saat dua mahasiswa Universitas Muhammadiyah Metro menjadi korban kriminalisasi setelah mengkritik kampus. Sukma tidak memberikan tanggapan yang signifikan. Padahal, semua korban adalah mahasiswa.
Wahyu bilang, kurangnya militansi pers mahasiswa, terutama Sukma, tak lepas dari tekanan pihak kampus. Petinggi kampus lebih sering menekan Sukma untuk membangun citra baik ketimbang bersikap independen atas kebijakan universitas.
“Kalau tidak melakukan itu, diancam dana kemahasiswaan tidak bakal cair,” ujarnya.
Tekanan dari pihak kampus telah membatasi gerak Sukma. Ketergantungan pendanaan dari kampus membuat mereka harus berhati-hati. Biaya penerbitan buletin atau majalah menjadi beban yang tidak ringan, sehingga banyak mahasiswa enggan aktif dalam organisasi karena khawatir mengeluarkan iuran.
Selain itu, Wahyu mengakui bahwa anggota Sukma masih kurang serius mempelajari jurnalisme. Ia tidak mengetahui pasti penyebabnya, namun menyadari bahwa diskusi-diskusi kritis telah berkurang.
Keadaan serupa juga dialami oleh pers mahasiswa di beberapa kampus, seperti Teknokra, lembaga penerbitan mahasiswa di Universitas Lampung (Unila). Pemimpin Umum Teknokra Alam Apriliandi berterus terang bahwa terjadi penurunan daya juang sebagai jurnalis mahasiswa, terutama etos kerja.
Saat ini, kebanyakan anggotanya cenderung malas. Hal ini didorong oleh dua faktor, yaitu minimnya literasi dan perubahan pola kerja mahasiswa pascapandemi Covid-19.
“Sekarang, jurnalis kampus itu malas ke lapangan, kalau bisa online (wawancara narasumbernya),” kata Alam, menjelaskan dampak pandemi pada semangat kerja pers mahasiswa. “Padahal, reportase di lapangan sangat diperlukan untuk peliputan yang lebih komprehensif.”
Alam juga mengeluhkan birokrasi kampus yang dianggapnya menghambat pengembangan kapasitas anggota Teknokra. Akses dana kemahasiswaan, misalnya. Syarat yang diberikan kampus untuk pengajuan proposal terlalu ketat, sehingga Teknokra kesulitan mengakses dana. Kondisi ini menjadi penghalang bagi kegiatan pengembangan kapasitas yang memerlukan biaya.
Perubahan cara pandang mahasiswa pun menjadi faktor penurunan minat menjadi jurnalis kampus. Menurut Alam, sistem perkuliahan saat ini lebih mendorong mahasiswa untuk magang di perusahaan ketimbang mencari pengalaman organisasi. Mahasiswa lebih fokus pada pencarian pengalaman kerja yang dianggap lebih berpeluang untuk mendapatkan pekerjaan setelah lulus.
Kondisi ini berdampak terhadap regenerasi di Teknokra. Beberapa tahun terakhir, mereka susah mencari kader. Minat baca yang rendah di kalangan mahasiswa menjadi faktor yang berkontribusi.
Dibalik kesulitan itu, terdapat kenyataan bahwa mahasiswa lebih fokus mencari cara segera lulus dan memperoleh pekerjaan. Konten-konten media sosial yang menampilkan kesuksesan di usia muda juga memengaruhi keadaan. Mahasiswa cenderung menghindari kegiatan yang dianggap memerlukan banyak membaca, seperti jurnalistik. Bayangan tentang jurnalistik yang identik dengan membaca dan menulis, membuat mereka enggan terlibat.
Teknokra juga mengalami penurunan dalam ruang pertukaran gagasan, mirip dengan yang terjadi di Sukma. Lima hingga enam tahun lalu, Teknokra masih aktif dalam menanggapi isu-isu sosial. Mereka sering merespons melalui diskusi publik yang hangat.
Isu-isu seperti Papua, kekerasan seksual, pembungkaman kebebasan berpendapat, krisis lingkungan, dan pendidikan, menjadi perbincangan serius, baik di ruang-ruang diskusi maupun sekretariat. Namun, tradisi ini telah memudar dalam beberapa tahun terakhir. Penurunan itu mungkin disebabkan oleh fokus yang lebih sempit pada isu-isu di lingkungan kampus.
“Padahal, Teknokra dikenal sebagai pers alternatif yang membahas isu regional di luar kampus,” kata Alam. “Mulai tahun ini, Teknokra akan kembali meliput isu-isu regional yang lebih luas, bukan lingkup kampus saja.”
Arzaq Kafassoba, Pemimpin Persma Raden Intan dari Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung, juga mengakui bahwa pers mahasiswa telah kehilangan gairah. Dorongan untuk menghasilkan karya dan turun lapang sangat kurang. Aktivitas jurnalistik lebih bersifat superfisial, hanya untuk memenuhi kebutuhan media sosial pribadi.
Menurut Arzaq, penurunan minat mahasiswa salah satunya karena kurang memahami pers kampus. Banyak yang menganggap pers mahasiswa sebagai unit kegiatan tulis-menulis, tanpa menyadari bahwa wadah aspirasi bagi mereka yang tidak mampu bersuara.
Persoalan kapasitas pun menjadi kendala lain yang dihadapi Persma Raden Intan. Mahasiswa sering merasa gegar dan bingung ketika meliput suatu isu. Arzaq mengakui bahwa minimnya pelatihan yang mumpuni merupakan penyebab utama. Selama ini, pelatihan yang diberikan lebih fokus pada administrasi organisasi, sehingga mahasiswa kurang memahami sisi jurnalisme.
“Ke depan, kami akan mengutamakan pelatihan-pelatihan terkait jurnalistik, seperti jurnalisme investigasi dan lain-lain,” ujar Arzaq.
Dibalik kesibukan organisasi, Arzaq berterus terang bahwa diskusi-diskusi kritis di lingkup Persma Raden Intan belum menjadi tradisi. Bahkan, ketika ada ruang diskusi, kehadiran anggota lebih seperti mengisi kewajiban, daripada datang dengan semangat untuk belajar.
Kesadaran sebagai seorang jurnalis belum terbangun. Mereka datang karena merasa terikat oleh tanggung jawab, bukan karena dorongan menjadi bagian dari pers mahasiswa yang sebenarnya.
“Selama kesadaran itu tidak terbentuk, sulit untuk berkembang,” ujarnya.
Guna menumbuhkan kesadaran dan militansi para anggotanya, Persma Raden Intan akan mengagendakan diskusi bersama pers mahasiswa dari daerah lain. Dengan berbagi pengalaman dan pengetahuan ihwal jurnalisme, diharapkan anggota persma dapat memperluas wawasan dan meningkatkan kemampuannya.
Persma Raden Intan tidak sendirian menghadapi kendala ini. Unit Kegiatan Penerbitan Mahasiswa (UKPM) Kronika IAIN Metro, yang merupakan persma pertama dan satu-satunya di Kota Metro, juga mengalami masalah serupa. Kurangnya militansi dan minat untuk berkarya telah membuat persma ini terkesan absen dari pelbagai isu-isu sosial terkait mahasiswa dan masyarakat di Metro.
“Kendala utamanya adalah minat jurnalis mahasiswa,” kata Pemimpin Umum Kronika Siti Roenah.
Kronika terjebak dalam lingkaran kesulitan. Di satu sisi, persoalan internal yang cukup banyak membuat mereka kekurangan energi untuk menanggapi isu-isu di luar kampus. Di sisi lain, diskusi-diskusi kritis juga jarang.
Perdebatan hangat hanya saat rapat proyeksi yang diagendakan satu minggu sekali. Sementara itu, waktu luang diisi dengan percakapan santai yang tidak terlalu mendalam.
Tantangan menyusutnya keinginan berkarya di Kronika dianggap sebagai bahan evaluasi oleh Siti. Mengatasi ini, Kronika berencana mengunjungi media-media mainstream untuk merangsang para jurnalisnya.
Namun, tidak semua pers mahasiswa kehilangan gairah. Di Institut Teknologi Sumatera (Itera), Asavira Azzahra melihat organisasinya masih dalam proses mencari jati diri.
“Ketika saya masuk pada 2022, saya melihat Lembaga Pers Itera ini belum seperti pers mahasiswa,” ujarnya.
Sejarah panjang Itera tidak dapat dipisahkan dari perjalanan organisasi tersebut. Awalnya, kegiatan mereka hanya terfokus pada fotografi. Namun, pada 2014, mereka memutuskan untuk mengembangkan diri menjadi UKM bidang jurnalistik dan media.
Perubahan ini membawa dampak signifikan. Mereka lebih berkutat pada fotografi dan videografi ketimbang mengembangkan diri sebagai pers mahasiswa yang sebenarnya.
Struktur kelembagaan Pers Itera juga menjadi salah satu faktor yang memengaruhi haluan. Bidang jurnalistik, yang seharusnya menjadi prioritas utama, justru menjadi subbagian salah satu departemen. Sementara, bidang-bidang seperti public relations dan Komunikasi serta Informasi mendapat perhatian lebih, dengan fokus pada kerja-kerja kehumasan. Hasilnya, produk Lembaga Pers Itera cenderung lebih memoles citra baik kampus.
“Jadi yang terlihat lembaga ini tidak kritis, padahal kan wadah untuk menyuarakan keresahan mahasiswa,” kata Asavira.
Pendahulu Asavira telah mencoba perubahan dengan membuat pemberitaan yang kritis. Namun, mereka menerima intervensi dan tekanan dari otoritas kampus.
“Mungkin hal itu yang membuat mahasiswa takut untuk kritis,” ucap Asavira.
Meski demikian, Pemimpin Umum Lembaga Pers Itera itu tak menyerah. Ia bersama anggotanya memulai perbaikan. Mereka mengganti pembina UKM yang sebelumnya seorang humas, dengan harapan dapat membebaskan diri dari pengaruh pihak kampus. Kemudian, Asavira berencana merombak struktur organisasi agar lebih fokus pada bidang jurnalistik. Dengan begitu, Lembaga Pers Itera dapat kembali ke tujuan awalnya sebagai wadah suara mahasiswa.
Perlawanan
Melempemnya semangat pers mahasiswa di Lampung juga tercermin dari minusnya konsolidasi antarlembaga. Pada 2019, Aliansi Pers Mahasiswa Lampung (APM-L) mencatat 16 lembaga persma dari 11 universitas.
Mereka adalah Teknokra Unila, Sukma Polinela, Kronika IAIN Metro, Persma Raden Intan UIN Raden Intan Lampung, dan Infus Universitas Malahayati. Kemudian, Cremona Fakultas Teknik Unila, Lentera Gama Universitas Tulangbawang, Lembaga Pers Itera, Pers Lighteen Poltekkes Tanjungkarang, dan Karintas STIE Gentiaras.
Selanjutnya, Permata Umitra, Rotasi FISIP Universitas Bandar Lampung, Republica FISIP Unila, Natural FMIPA Unila, Pilar Ekonomi Unila, dan Teknokrat TV Universitas Teknokrat Indonesia. Baru-baru ini, muncul dua lembaga persma baru, yaitu UKM Peristiwa dari Fakultas Hukum Unila dan Pers Communication FISIP Unila.
Pada masa itu, APML menjadi forum yang efektif untuk merespons isu-isu publik. Melalui diskusi-diskusi, APML memperlihatkan kesadaran dan perhatian akan berbagai isu, seperti diskriminasi rasial soal Papua, kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis mahasiswa, kekerasan seksual, dan kesejahteraan jurnalis.
Namun, upaya APML untuk menyuarakan persoalan-persoalan tersebut tak selalu berjalan mulus. Salah satu anggota persma dari Teknokra pernah mengalami teror dan intimidasi terkait diskusi soal Papua. Peristiwa itu bukan hanya menimbulkan kekhawatiran, tetapi juga pertanda betapa rentannya posisi jurnalis mahasiswa dalam menyuarakan kebenaran.
Bersama dengan kelompok masyarakat sipil, APML melaporkan peristiwa tersebut ke Polda Lampung. Sebuah sikap yang menampakkan komitmen mereka untuk memperjuangkan keadilan dan kebebasan berpendapat.
APML juga terlibat dalam sejumlah gerakan masyarakat sipil yang menentang kebijakan tidak populer, seperti aksi #ReformasiDikorupsi dan #MosiTidakPercaya. Bahkan, dalam aksi #ReformasiDikorupsi pada 2019, sebanyak 12 anggota APML meliput langsung ke Jakarta. Naik transportasi publik, mereka menghadirkan pemberitaan alternatif terkait demo mahasiswa di tengah wajah publisitas media mainstream.
“Kalau sekarang yang datang diskusi hanya beberapa. Orangnya itu-itu saja,” kata Koordinator APML Dita Rifdhah Padhilah, menerangkan kondisi persma saat ini.
Dita mengingat kembali masa-masa pers mahasiswa di Lampung masih aktif dan bersemangat. Mereka menggelar diskusi-diskusi yang menanggapi pelbagai isu dan meliputnya.
Namun kini, kondisi pers mahasiswa di Lampung telah berubah. Persma anggota APML seperti kehilangan gairah menjadi bagian gerakan sosial. Mereka lebih sibuk dengan urusan organisasi masing-masing.
Fenomena ini tercermin dalam produk jurnalistik mereka. Sejumlah isu penting terkait persoalan jurnalis, seperti indeks kemerdekaan pers di Lampung yang terus memburuk, luput dari pembahasan. Data Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung, dalam tiga tahun terakhir terjadi degradasi jurnalisme. Kekerasan terhadap jurnalis meningkat, kesejahteraan jurnalis suram, dan profesionalisme jurnalis buruk.
Merujuk rilis Dewan Pers 2024, Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) Lampung menempati peringkat kedua terendah di Indonesia, setelah Papua Tengah. Dengan skor 62,04 (cukup bebas), IKP Lampung turun drastis dibandingkan tahun sebelumnya, yang mencapai 69,76 dan 79,20 pada 2022. Penurunan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk tingginya kekerasan terhadap jurnalis, sensor dan intervensi berita, rendahnya profesionalisme, serta kesejahteraan pewarta yang memprihatinkan. Beraneka persoalan tersebut tidak menjadi perbincangan serius di kalangan persma, baik berupa diskusi maupun pemberitaan.
“Memang minat untuk kumpul dan diskusi sudah berkurang,” ujar Dita.
Hendry Satria Jaya, salah satu pendiri Sukma Polinela, masih mengingat era reformasi, ketika semangat perubahan mengisi udara kampus. Saat itu, Sukma menjadi alat perjuangan bagi mahasiswa Polinela.
“Segala aspirasi yang muncul dari diskusi-diskusi kecil akhirnya kami salurkan melalui Sukma,” kata Hendry.
Masa-masa itu kini seperti kenangan yang jauh. Sukma dan organisasi pers mahasiswa lainnya mengalami pergeseran. Semangat perubahan yang dahulu membara mulai pudar.
Menurut Hendry, perbedaan juga terlihat dari daya juang. Dahulu, ketika kampus dibungkam oleh kekuasaan, mahasiswa membentuk pers mahasiswa sebagai media perlawanan untuk menyampaikan aspirasi. Dengan kemajuan teknologi dan informasi saat ini, seharusnya pers mahasiswa bisa lebih kritis dan progresif. Namun, kenyataan sebaliknya, perjuangan pers mahasiswa kehilangan gairah.
Ia menyayangkan banyak pers mahasiswa yang mengalami kemerosotan mentalitas sebagai jurnalis. Seharusnya, keberadaan mereka di kampus bukan sekadar berorganisasi, melainkan menjadi suara bagi yang tidak terdengar. Suara-suara yang seringkali tersembunyi di balik kebisingan kampus.
Dengan mentalitas itu, mereka akan terdorong untuk menjaga integritas, mengasah kemampuan, dan meningkatkan kepekaan, sehingga menjadi suara yang berani dan jujur. Jurnalis mahasiswa akan menjadi mata dan telinga kampus, menyuarakan kebenaran yang tersembunyi dan memperjuangkan keadilan yang terpinggirkan.
Pandangan senada disampaikan Budisantoso Budiman, alumni Teknokra yang pernah menjadi jurnalis mahasiswa dari tahun 1987 hingga 1993. Ia masih ingat betul bagaimana semangat perlawanan membara di kalangan pers mahasiswa saat itu. Berbeda sekarang, pers mahasiswa tampak kehilangan ruh perlawanan yang menjadi wataknya.
Pers mahasiswa lahir dengan semangat perubahan, bahkan berperan aktif dalam menumbangkan rezim otoriter Orde Baru. Mereka terlibat dalam berbagai gerakan, dari demonstrasi hingga advokasi sosial. Bahkan, perjuangan mereka mengalahkan peran pers umum yang dikooptasi Pemerintahan Soeharto melalui Departemen Penerangan.
“Mereka hadir dengan pemberitaan kritis dan progresif, dari kampus hingga masyarakat sipil,” kata Budisantoso.
Budi bercerita, di bawah tekanan pemerintah, para jurnalis mahasiswa pada masa itu terus mereproduksi pengetahuan kritis lewat diskusi dan bedah buku yang mendalam. Suasana kampus yang tegang membangkitkan semangat untuk menghasilkan karya jurnalistik berkualitas.
“Jadi, tulisan terasa bernas, kritis, konstruktif, dan argumentatif. Sebab, ide-idenya berasal dari diskusi dan membaca buku,” ujarnya.
Di tengah tekanan penguasa, perkembangan internet belum seperti sekarang. Untuk mencetak buletin atau majalah, mereka harus menggunakan mesin stensil yang berderak-derak dengan aroma tinta menyengat. Barulah bisa disebarluaskan kepada para mahasiswa.
Senior Editor LKBN Antara Lampung itu menyatakan, pers mahasiswa harus memulihkan semangat awalnya sebagai bagian dari gerakan sosial, terutama di lingkungan kampus. Pers mahasiswa juga berperan penting sebagai pilar keempat demokrasi, yakni kontrol sosial.
“Jadi, spirit pers mahasiswa itu partisipatif. Ia terjun langsung dan mengambil peran-peran dalam gerakan sosial, yang tentunya melalui gerakan media/tulisan,” kata Budi.
Jurnalisme Penantang
Lebih jauh, etos dan sikap pers mahasiswa dipotret oleh Daniel Dhakidae dalam risetnya yang berjudul Penerbitan Kampus: Cagar Alam Kebebasan Pers yang terbit pada 1997. Dalam risetnya, ia menganalisis sejumlah majalah pers mahasiswa, seperti Salemba dari Universitas Indonesia, Gelora Mahasiswa dari Universitas Gadjah Mada, dan Derap Mahasiswa dari IKIP Negeri Yogyakarta.
Daniel memilih beberapa rubrik yang menjadi titik pusat suatu karya jurnalistik, seperti berita utama, tajuk rencana, dan karikatur. Dengan demikian, persepsi dan sikap penerbitan-penerbitan tersebut dapat terungkap dan menggambarkan etos pers mahasiswa.
Hasilnya, pada 1977, Salemba memberikan 86% porsi berita utamanya membahas politik, menunjukkan fokus yang kuat pada isu-isu politik. Demikian pula rubrik tajuk rencana, di mana 60% soal pendidikan dan 40% diberikan masalah politik. Pola yang sama terlihat pada 1976, 59% dari tajuk rencananya masalah pendidikan dan 41% persoalan politik.
Penerbitan IKIP Negeri Yogyakarta menunjukkan pola berbeda. Pada 1976, mereka tetap konsisten dengan apa yang telah dibuatnya dalam berita utama, yakni 91% masalah pendidikan dan hanya 9% masalah politik. Demikian pula pada 1977, 80% mengulas pendidikan, sedangkan 20% adalah isu politik.
Karikatur yang diselenggarakan secara teratur oleh Gelora Mahasiswa dan Salemba menarik perhatian. Pada 1976, Gelora Mahasiswa membahas pendidikan (57%), politik (29%), dan kebudayaan (14%). Namun, pada 1977, fokusnya bergeser ke politik (71%) dan pendidikan (29%).
Salemba memperlihatkan pola berbeda. Pada 1976, 100% karikaturnya membahas pendidikan. Pada 1977, 80% membahas politik dan 20% membahas kebudayaan.
Paling menarik adalah karikatur politik Salemba, yang sebagian besar membahas kebebasan. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa pers mahasiswa memiliki gaya jurnalisme tersendiri, yaitu adversary journalism (jurnalisme penantang).
Pers kampus adalah anjing penjaga yang mengintip peristiwa-peristiwa politik, lalu melemparkannya kembali kepada masyarakat dengan menonjolkan segi-segi yang menantang dan oposisi. Judul-judul berita utama Salemba mencerminkan hal ini: “Penguasa Harus Tahan Diri” (15 Januari), “Perjuangan Orba Semakin Pudar” (15 Maret), dan “Benarkah DPR Sekadar Etalase Demokrasi?” (16 Mei).
Penerbitan mahasiswa tidak hanya terpaku pada lingkungan kampus, melainkan berusaha menembus batas-batas universitas dan menyatu dengan masyarakat luas. Mereka tidak ingin menjadi sebuah pulau terpisah, melainkan bagian integral dari masyarakat.
Daniel menyimpulkan bahwa rasa terlibat mahasiswa dengan masalah sosial dan politik tak perlu diragukan. Mereka memiliki sympathy dan compassion yang kuat. Kemampuan refleks jurnalistik mereka terlihat jelas dalam pemilihan berita utama, editorial, dan karikatur yang selalu sejalan dengan persoalan masyarakat. Jurnalisme mahasiswa memanfaatkan kebebasan tanpa terikat pada keadaan. Kebebasan itu senantiasa digunakan untuk menyuarakan kebenaran.
Dekat dengan Gerakan Sosial
Menurut Wisnu Prasetyo Utomo, dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Gadjah Mada, beberapa faktor memainkan peran penting dalam penurunan minat mahasiswa terhadap persma. Sistem pendidikan yang semakin membatasi ruang gerak mahasiswa menjadi salah satu faktor utama. Hal ini berdampak langsung pada waktu dan kesempatan mahasiswa untuk beraktivitas di luar akademik, termasuk di persma. Akibatnya, kualitas dan kuantitas pers mahasiswa merosot. Hal itu terlihat dari perubahan signifikan dalam rerata tingkat kelulusan mahasiswa. Jika dahulu mahasiswa masih banyak yang lulus dengan masa kuliah sekitar tujuh tahun, saat ini mereka dapat menyelesaikan studi dalam waktu sekitar 4-5 tahun.
Bahkan, beberapa kampus mendorong mahasiswanya untuk lulus dalam waktu 3-3,5 tahun, sehingga memungkinkan mereka untuk lebih cepat memasuki dunia kerja. Namun, menurut Wisnu, sistem tersebut memiliki implikasi.
“Sistem tersebut yang akhirnya membuat mahasiswa enggan aktif, baik di pers mahasiswa maupun unit kegiatan mahasiswa lainnya,” ujar Wisnu.

Perubahan orientasi mahasiswa yang mencolok juga memengaruhi aktivitas di pers kampus. Banyak mahasiswa yang sebelumnya berminat di bidang jurnalistik, kini beralih ke sektor lain yang dipandang lebih menjanjikan, seperti kreator konten, public relation, advertising, dan lainnya. Hal ini terlihat jelas di kalangan mahasiswa komunikasi, yang lebih memilih untuk mengembangkan karier di luar jurnalistik.
Faktor eksternal lain yang berdampak pada gairah dan minat pers mahasiswa adalah lanskap jurnalisme di Indonesia kurang kondusif. Kondisi kesejahteraan jurnalis masih belum memadai, sehingga pekerjaan sebagai wartawan tidak identik dengan kesejahteraan. Padahal, banyak mahasiswa yang menginginkan sebuah profesi yang tak hanya memuaskan passion mereka, tetapi juga dapat mengamankan kondisi finansial keluarganya. Sedangkan profesi jurnalis di Indonesia secara finansial tidak stabil.
Di samping itu, posisi jurnalis secara sosial-politik termasuk kelompok rentan. Hal ini terlihat dari tingginya angka kekerasan, yang mencerminkan betapa riskannya menjadi reporter di Indonesia. Dari kondisi tersebut, mahasiswa melihat jurnalis bukanlah profesi yang menjanjikan, baik dari segi finansial maupun keselamatan.
“Kerentanan itu menjadi faktor signifikan yang merepresentasikan mengapa mahasiswa saat ini tidak berminat aktif menjadi jurnalis kampus,” kata Wisnu.
Penulis buku “Pers Mahasiswa Melawan Komersialisasi Pendidikan” itu mengatakan, represi dan intervensi dari pihak kampus merupakan faktor kritis dalam menghambat gerakan pers mahasiswa. Terutama setelah 1998, ketika pers umum mulai menikmati kebebasan. Sebelumnya, pers mahasiswa aktif meliput isu-isu nasional, namun setelah 1999, fokus mereka bergeser ke isu-isu kampus. Maka, aktor kekuasaan yang mereka hadapi bukan lagi negara, melainkan otoritas kampus.
Apalagi, salah satu tantangan pers mahasiswa adalah kemandirian finansial. Sebagian besar pers mahasiswa masih mengandalkan dana dari kampus, sehingga ketika kampus tidak menyukai pemberitaan mereka, pendanaan tersebut dapat dipotong. Realitas ini tentu berpengaruh pada aktivitas pers mahasiswa.
Belum lagi ancaman lain seperti sanksi drop out, kriminalisasi, dan lain-lain. Selain kemauan, berbagai problem tersebut memengaruhi ekspresi setiap mahasiswa, sehingga mereka memilih tidak mengambil risiko untuk menjadi jurnalis kampus.
Guna menjaga gairah dan spirit, Pemimpin Redaksi Majalah Balairung UGM 2010 itu mengingatkan pers mahasiswa perlu mendekatkan diri pada gerakan-gerakan sosial. Dengan demikian, mereka bisa belajar dan melihat langsung realitas dari konflik-konflik sosial di masyarakat. Ketika mereka dekat dengan warga yang mengalami konflik sosial seperti konflik agraria, tambang, korban penggusuran, maka bisa menumbuhkan kepekaan yang kemudian memicu untuk bergerak dalam bentuk tulisan. Sebab, kalau tidak ada kesadaran yang mendalam, akan sulit bagi mereka untuk menulis dan menunjukkan keberpihakan.
Pers mahasiswa juga perlu beradaptasi dengan teknologi. Mereka bisa memanfaatkan kemudahan akses informasi dan media sosial untuk membangun keterlibatan pembaca. Misalnya, ada liputan-liputan tertentu yang segera diberitakan. Sementara itu, banyak pers mahasiswa masih terjebak dalam logika media cetak yang membutuhkan waktu lama dalam penerbitan berita.
“Maka, penting memanfaatkan media sosial sebagai alternatif berita yang melawan dominasi media arus utama yang cepat. Namun, tetap berpegang pada prinsip jurnalistik, seperti disiplin verifikasi dan tidak clickbait,” kata Wisnu.
Andreas Harsono, penulis buku “A9ama Saya Adalah Jurnalisme”, menekankan bahwa mentoring dan praktik menulis adalah kunci untuk membuka potensi pers mahasiswa. Keterampilan menulis perlu terus-menerus diasah.
“Karena itu, memiliki mentor yang tepat sangat penting,” kata Andreas. “Mereka harus dapat membimbing jurnalis mahasiswa untuk menulis dengan dasar dan fondasi jurnalistik yang kuat.”
Dalam bukunya, Andreas membagi materi pelatihan jurnalis mahasiswa menjadi empat bagian komprehensif. Tujuannya, membekali mereka dengan keterampilan yang dibutuhkan dalam dunia jurnalistik yang dinamis dan penuh tantangan. (1) Reportase, yang mencakup teknik wawancara, riset buku, internet, database, dan pengamatan lapang yang mendalam. (2) Penulisan, yang meliputi latihan membuat deskripsi yang hidup, menggunakan dialog yang efektif, dan diskusi soal bagaimana membuat struktur cerita yang menarik. (3) Laku wartawan, yang berfokus pada etika jurnalistik, termasuk bagaimana memandang informasi dengan kritis, memilih sumber yang tepat, dan mempertahankan integritas. (4) Dinamika newsroom, yang berkenaan dengan keragaman dan pentingnya melibatkan berbagai perspektif dalam peliputan yang kompleks.
“Misalnya, ketika meliput isu ‘terorisme’, yang oleh kalangan lain disebut ‘perang’ atau ‘jihad’, maka penting untuk melibatkan rekan yang memahami Islam dan debat soal ‘jihad’ untuk memperoleh perspektif lebih luas,” ujarnya.
Dalam mengaplikasikan model pelatihan tersebut, tidak perlu banyak pengajar yang hanya akan membuang waktu dan tenaga. Andreas lebih menyarankan agar mentor terbatas 1-2 orang, namun fokus dan mendalam memberikan materi pelatihan.
Oleh karena itu, penting bagi pers mahasiswa menilai sang mentor bisa menjadi pengajar yang baik. Sebab, wartawan yang baik belum tentu bisa menjadi pengajar yang baik. Ia mesti tahu cara mengajar dan mendorong peserta untuk berdiskusi dan memotivasi mereka membaca.
“Carilah jurnalis yang memiliki track record bagus – tidak pernah campur dengan politik atau public relations,” ucap Andreas.(*)
Laporan Derri Nugraha
Liputan ini mendapat dukungan dari Yayasan Kurawal sebagai upaya memperkuat demokrasi melalui jurnalisme independen.