Mengapa Kelas Pekerja Mesti Berserikat?

  • Whatsapp
RATUSAN buruh PT San Xiong Steel Indonesia berunjuk rasa di kompleks Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung, beberapa waktu lalu. Mereka menuntut pemerintah untuk menekan perusahaan memenuhi hak-hak normatif para pekerja. | ist

Kesadaran kelas menjadi kunci pembebasan dari kungkungan kepentingan modal. Tanpa kekuatan kolektif yang terorganisasi, penindasan dan eksploitasi akan terus berlangsung. Karena itu, berserikat bukan sekadar pilihan, melainkan keniscayaan bagi kelas pekerja untuk memperjuangkan keadilan sosial dan mengubah dinamika kekuasaan.






Hadi Solihin menikmati libur Lebaran di rumah, bersantai setelah beberapa hari tidak bekerja. Tiba-tiba, teleponnya berdering. Ia mengangkatnya, dan suara Kanit Intel Polsek Katibung Supriyadi terdengar di seberang.

Bacaan Lainnya

“Tolong segera datang ke PT San Xiong Steel Indonesia (SXSI),” ujarnya.

Hadi heran, perusahaan seharusnya masih libur. Ia bertanya-tanya, apa gerangan polisi dan ormas mendatangi tempatnya bekerja.

Tanpa pikir panjang, Hadi bergegas ke pabrik. Dari kejauhan, ia melihat puluhan orang, termasuk polisi, berjaga di depan gerbang perusahaan. Hadi ragu-ragu untuk mendekat, takut terlibat dalam situasi yang tidak jelas.

Ia hanya mengamati, sambil menerka-nerka apa yang terjadi. Ia melihat beberapa orang tampak berseteru, suara mereka meninggi dalam perdebatan. Khawatir situasi semakin memanas, Hadi memutuskan meninggalkan lokasi.

Namun, ia tak menyangka bahwa peristiwa tersebut akan menjadi awal malapetaka bagi 300-an pekerja PT SXSI. Rupanya petang itu, terjadi perebutan kekuasaan di tubuh manajemen perusahaan, di mana seorang perempuan bernama Finny Fong mengklaim sebagai direktur baru PT SXSI.

Pascakejadian tersebut, para pekerja belum mengetahui kabar pergantian manajemen. Sebelum libur panjang, buruh PT SXSI masih bekerja seperti biasa. Namun, beberapa informasi yang beredar menyebutkan bahwa manajemen lama tidak pernah menjual sahamnya kepada Finny. Sejumlah pengurus lama bahkan telah melaporkan persoalan itu ke Polda Lampung.

Ketua Serikat Buruh PT San Xiong Steel Hadi Solihin berdiri di depan perusahaan, Rabu, 2/7/2025. Bersama serikat, Hadi mengorganisasi ratusan pekerja untuk memperjuangkan nasib mereka. | KONSENTRISID/Derri Nugraha. 

Esoknya, Hadi yang juga Ketua Serikat Buruh PT San Xiong Steel Indonesia (SBSX) bersama pengurus serikat Iwan Sitorus, mendatangi perusahaan untuk memantau situasi. Di sana, mereka mendapat kabar bahwa Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Lampung berkunjung ke pabrik. Kedatangan mereka hendak memastikan keselamatan pekerja warga negara asing (WNA). Banyak tenaga ahli PT SXSI berasal dari China.

Pada malam itu, pertemuan berlangsung dengan penjagaan ketat dari sejumlah polisi. Beberapa saat setelah kedatangan Hadi dan Iwan, Finny juga tiba di lokasi. Suasana terasa tegang, dengan sedikit percakapan. Disnaker hanya fokus pada pendataan WNA dan memastikan mereka tidak mengalami kekerasan.

Di sela-sela persamuhan, Hadi dan Iwan sebagai perwakilan pekerja mencoba menanyakan dampak kisruh manajemen kepada Finny, terutama soal hak-hak pekerja seperti upah. Namun, Finny menjawab dengan tegas bahwa manajemen lama yang bertanggung jawab. Sebab, selama ini, mereka yang menerima keuntungan dari operasional perusahaan.

Hadi dan Iwan tidak bisa menerima jawaban Finny yang menyalahkan manajemen lama atas hak-hak pekerja. Menurut mereka, pekerja tidak terlibat dalam persoalan manajemen dan hanya ingin mendapatkan hak-hak mereka. Disnaker membenarkan pernyataan Hadi dan Iwan, bahwa pekerja bekerja atas nama perusahaan, bukan individu atau manajemen tertentu. Finny meminta pekerja untuk bersabar, menyampaikan bahwa perusahaan akan diaudit setelah akuisisi.

Hadi dan Iwan meninggalkan perusahaan dengan pikiran gelisah dan bimbang. Mereka khawatir akan kehilangan pekerjaan. Kabar ini segera menyebar ke seluruh pekerja PT SXSI, memicu kegaduhan di Grup WhatsApp. Meskipun banyak pekerja yang sudah mudik, ketakutan akan kehilangan pencaharian menghantui mereka selama hari raya.

Hadi dan Iwan terus mempertanyakan kejelasan hak pekerja kepada Finny, terutama soal upah yang akan jatuh tempo beberapa hari lagi. Biasanya, PT SXSI membayar upah buruh pada minggu pertama awal bulan. Namun, kali ini, mereka belum mendapat kepastian.

Pada 5 April, Hadi dan Iwan sebagai perwakilan serikat pekerja diundang menemui Chandra, orang yang ditunjuk Finny sebagai manajemen baru. Pertemuan itu membahas upah bulan Maret. Namun, belum membuahkan hasil karena HRD lama tidak bisa hadir. Pihak manajemen baru beralasan bahwa mereka membutuhkan data pekerja dari HRD lama untuk memproses gaji. Namun, hingga 7 April, pekerja belum menerima upah.

Keesokan harinya, cuti bersama selesai. Ratusan buruh datang ke perusahaan, tetapi gerbang ditutup. HRD lama yang sudah masuk kerja tak dapat membantu. Sebab, semua tenaga kerja tidak diperkenankan masuk ke dalam pabrik. Pekerja pun memutuskan bertahan di depan perusahaan.

Sekitar jam 10 siang, Disnaker Lampung Selatan mendatangi lokasi. Setelah beberapa saat, Disnaker keluar dan menyampaikan bahwa pihak perusahaan akan membayar upah, namun tak memberitahu kepastiannya.

Hadi dan Iwan mengonsolidasikan para pekerja untuk bertahan di depan perusahaan. Dari 300 pekerja, baru setengah yang tergabung dalam serikat. Keduanya pun mengajak seluruh buruh untuk memperjuangkan hak melalui serikat.

Gayung bersambut. Dengan semangat baru, seluruh buruh tetap datang ke depan perusahaan. Mereka mengisi daftar kehadiran manual sebagai tanda tidak mangkir dari pekerjaan, meskipun operasional PT SXSI terhenti akibat dualisme manajemen.

Para pekerja kemudian memberitahukan Disnaker soal rencana aksi. Pada 10 April, buruh PT SXSI berdemonstrasi di depan kantor Gubernur Lampung. Audiensi pekerja dan pemerintah pun dilakukan, namun perdebatan antara kedua manajemen perusahaan membuat rapat tidak membuahkan hasil. Lantaran belum ada kejelasan terkait hak, massa aksi enggan beranjak dari kantor gubernur.

Disnaker dan kepolisian pun mengajak manajemen berdiskusi tanpa melibatkan pekerja. Selepas diskusi, Disnaker menginstruksikan massa menuju pabrik. Alasannya, perusahaan akan membayar upah mereka, hari itu. Semua pihak yang beraudiensi memutar setir kendaraan ke PT SXSI.

Ketika sampai, kembali terjadi perdebatan antara manajemen lama dan baru. Finny hanya mengizinkan dua perwakilan manajemen lama untuk masuk perusahaan, yaitu direktur keuangan dan HRD. Namun, manajemen lama yang terdiri dari direktur, komisaris, beserta jajarannya juga hendak masuk. Cekcok seperti tak berujung. Masih belum ada kejelasan soal pembayaran upah. Buruh menunggu hingga malam hari.

Sekitar jam delapan, anggota Polres Lampung Selatan tiba di lokasi. Mereka mencoba dialog dengan Finny. Aparat menyampaikan bahwa serikat pekerja akan terus menggelar aksi bila tuntutan tidak terpenuhi. Akhirnya, Finny bersedia membayar upah.

Selang beberapa hari, perwakilan serikat pekerja menemui Finny untuk membahas teknis pembayaran. Pertemuan disaksikan oleh Disnaker dan kepolisian. Rapat menghasilkan beberapa poin, antara lain: Finny bakal membayar upah pekerja sama rata sebesar Rp3 juta; karyawan wajib mengisi daftar hadir sampai dualisme manajemen selesai; karyawan harus tunduk pada aturan manajemen baru; dan karyawan tidak boleh menuntut lagi soal upah bulan Maret, selain Rp3 juta yang diberikan perusahaan.

Hadi sempat menolak karena isinya sangat merugikan para pekerja. Sebab, sebagian besar buruh PT SXSI merupakan pekerja tetap dengan upah berbeda-beda, termasuk upah lembur.

“Harusnya tidak bisa disamaratakan karena setiap pekerja punya hak berbeda,” ujarnya.

Akan tetapi, pihak Finny tetap pada penawarannya. Hadi pun berunding dengan para pekerja dan menerima upah tersebut. Pertimbangan utamanya, banyak buruh terdesak kebutuhan hidup.

Kendati menyetujui kesepakatan, serikat pekerja tetap melawan. Mereka menuntut pemenuhan hak secara utuh. Setelah beberapa hari, upah buruh pun diberikan. Namun, perjuangan belum berakhir. Konflik manajemen masih berlangsung, menyebabkan perusahaan berhenti produksi dan ratusan pekerja menunggu kejelasan status. Selama proses tersebut, para pekerja terus datang ke perusahaan dan mengisi presensi.

Sejak Juni lalu, pekerja PT San Xiong Steel Indonesia (SXSI) mendirikan tenda juang dekat perusahaan. Pendirian tenda itu sebagai simbol perjuangan atas keadilan hak-hak buruh. | KONSENTRISID/Derri Nugraha. 

Bulan lalu, SBSX mendirikan tenda juang di depan perusahaan. Di sana, mereka menyusun strategi untuk memperjuangkan hak-hak buruh.

Hadi bilang, para pekerja hanya menuntut kejelasan. Jika perusahaan tetap mempekerjakan mereka, maka harus membayar upah tiga bulan yang belum dibayarkan. Sebab, perusahaan hanya membayar gaji bulan Maret. Bila perusahaan menempuh pemutusan hubungan kerja, maka seluruh hak normatif pekerja harus dipenuhi. Itu termasuk pesangon, penghargaan masa kerja, dan BPJS Ketenagakerjaan.

Akhir Juni lalu, SBSX melayangkan surat pengaduan ke Disnaker Lampun Selatan. Disnaker merespons dengan menggelar tripartit yang memanggil pekerja dan manajemen PT SXSI. Namun, dalam dua kali panggilan pada 3 dan 8 Juli, pihak PT SXSI absen. Melalui kuasa hukumnya, Finny mengirim surat untuk menunda risalah perundingan. Perusahaan berjanji memberikan keterangan tertulis setelah mempertimbangkan segala sesuatu.

Hadi merasa kecewa dengan perusahaan yang terkesan enggan bertanggung jawab. Disnaker pun mengagendakan ulang tripartit pada 15 Juli mendatang. Jika perusahaan tidak menunjukkan iktikad baik, Disnaker akan memberikan nota anjuran yang dapat menjadi dasar untuk membawa kasus ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).

Hadi akan terus berjuang hingga hak normatif mereka terpenuhi. Ia bersyukur bahwa peristiwa ini menjadi momentum bagi para pekerja untuk bersatu dalam serikat dan memperjuangkan nasib bersama-sama.

***

Melawan Penindasan

Pada 2016, Iwan Sitorus terpaksa pindah ke Lampung setelah bekerja lebih dari satu dasawarsa di Batam. Ia menyusul istrinya yang lebih dahulu pulang ke kampung halaman di Lampung Selatan. Keputusan itu diambil agar lebih dekat dengan keluarga mertua.

Pengalaman Iwan sebagai engineering di perusahaan elektronik asal Jepang membuatnya cukup mudah memperoleh pekerjaan di Lampung. Tak lama setelah kepindahannya, ia diterima di PT San Xiong Steel Indonesia, sebuah perusahaan penanaman modal asing yang bergerak di bidang peleburan logam.

Sebulan bekerja, Iwan merasa ada yang tak beres. Jenis pekerjaan yang melibatkan kontak dengan api lebih dari 1.000 derajat Celcius tidak dilengkapi pelindung yang memadai. Selain itu, jam kerja tak jelas dan perusahaan tidak memberikan cuti. Ketika menerima upah pertamanya, Iwan hanya menerima gaji pokok, sementara kerja lemburnya tak dipandang.

Menurut Iwan, hal itu menyalahi aturan. Sebab, uang lembur adalah hak pekerja. Bahkan, kerja pada hari libur pun tidak dihitung lembur oleh perusahaan. Iwan mencoba protes ke atasan, namun sia-sia. Upah lemburnya tetap tidak dibayar, dan protes hampir berujung pemecatan.

Iwan kemudian mengubah strategi. Ia teringat pengalamannya sewaktu bekerja di Batam, di mana ia tergabung dalam serikat pekerja. Berbekal pengalaman tersebut, Iwan mulai mengorganisasi pekerja. Di sela-sela istirahat, saat makan atau minum kopi, ia mengajak para buruh mendirikan serikat dan meyakinkan mereka untuk melawan perusahaan yang menindas.

Sosialisasi terus berjalan. Iwan memberikan pandangan kepada pekerja terkait hak-hak yang semestinya dijamin oleh perusahaan. Ia juga menjelaskan sejumlah aturan yang melindungi hak buruh.

Iwan bilang, beberapa pekerja sebenarnya sudah paham. Namun, mereka masih ragu dan takut kehilangan pekerjaan. Ia tetap meyakinkan para pekerja dengan menekankan pentingnya serikat.

“Hanya serikatlah wadah perjuangan buruh,” kata Iwan.

Iwan Sitorus, salah satu pendiri Serikat Buruh PT San Xiong Steel Indonesia (SBSX). SBSX lahir sebagai bentuk perlawanan pekerja terhadap sistem perusahaan yang tidak adil, seperti tidak memberi cuti, upah lembur, hingga jaminan keselamatan kerja. | KONSENTRISID/Derri Nugraha. 

Setelah enam bulan berjuang, Iwan bersama 20 pekerja akhirnya mendirikan Serikat Buruh PT San Xiong Steel Indonesia (SBSX). Ia menjadi ketua pertama. Sejak saat itu, perlawanan terhadap sistem perusahaan yang menekan pekerja lebih terorganisasi. Satu per satu persoalan ketenagakerjaan, seperti upah lembur, jam kerja yang sesuai, dan status karyawan tetap, mereka perjuangkan dengan gigih.

Melalui serikat, Iwan dan kawan-kawannya bersurat ke perusahaan. Intimidasi dan ancaman pemecatan memang menghantui. Namun, perjuangan mereka lebih mudah karena membawa nama organisasi, bukan individu.

Perusahaan kesulitan menghadapi serikat yang baru berdiri itu. Akhirnya, perlahan-lahan, sejumlah persoalan yang diperjuangkan berhasil. Lembur dibayar, cuti diberikan, dan status karyawan tetap adalah buah dari perjuangan serikat.

Perjuangan lain yang tak kalah penting adalah advokasi soal kecelakaan kerja. Minimnya penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) menyebabkan banyak buruh menjadi korban.

Puncaknya pada 2018, sejumlah pekerja mengalami luka bakar akibat aktivitas peleburan besi yang tidak aman. SBSX kemudian menyurati Dinas Tenaga Kerja untuk menyelesaikan masalah tersebut. Sebagai respons, pemerintah setempat mengambil tindakan dengan menutup sementara PT SXSI. Pemerintah menuntut perusahaan untuk menerapkan standar keselamatan yang baik guna meminimalkan kecelakaan kerja dan memastikan keselamatan pekerja.

Setelah penutupan, perusahaan mulai menjalankan sistem K3 yang memadai. Pekerja merasakan perubahan positif. Namun, beberapa tahun kemudian, kecelakaan kerja terjadi lagi. Serikat terus menyuarakan agar keselamatan menjadi prioritas dan mendesak perusahaan tidak mengulangi kesalahan yang sama.

Berbagai perjuangan serikat itu menarik perhatian pekerja lain untuk bergabung. Puluhan buruh ikut dalam kegiatan serikat, seperti pendidikan dan mobilisasi massa. Klimaksnya pada konflik manajemen terbaru, seluruh buruh bersatu dalam serikat untuk memperjuangkan hak mereka.

Iwan yakin bahwa serikat merupakan keniscayaan bagi seorang pekerja. Melalui organisasi ini, buruh secara kolektif bisa memperjuangkan keadilan bagi dirinya. Dengan bersatu, perjuangan mereka menjadi lebih masif dan terarah.

“Serikat juga bisa menjadi wadah berjejaring, memperluas wawasan, dan tempat untuk bersolidaritas antarpekerja,” kata Iwan.

***

Berjuang melawan penindasan dengan berserikat juga dilakukan oleh pekerja media. Pada 8 Desember 2022, Dian Wahyu Kusuma, seorang jurnalis di PT Masa Kini Mandiri atau dikenal Lampung Post, menerima pesan WhatsApp yang memintanya segera menghadap HRD. Saat itu, Dian sedang bekerja dari rumah, mengedit laporan reporter, karena perusahaan masih memberlakukan kebijakan Work From Home akibat Pandemi Covid-19.

Semula, Dian tidak terlalu memikirkan. Ia mengira perusahaan akan memberikan tugas tambahan. Namun, setelah menyelesaikan tugas, Dian ke kantor untuk menemui HRD. Di perjalanan, hati Dian mulai gelisah. Ia mempertanyakan ulang maksud pemanggilan oleh HRD. Dian teringat sejumlah karyawan yang sudah menerima PHK, dan kecemasan mulai menghantuinya.

Benar saja, HRD menyampaikan bahwa dirinya terkena PHK akibat efisiensi. Namun, yang membuat Dian kaget adalah pesangon yang akan diterima hanya setengah dari jumlah seharusnya. Dian langsung mempertanyakan kebijakan tersebut.

Menurutnya, jumlah pesangon tidak sesuai dengan apa yang sedianya diterima. Pihak perusahaan menyampaikan bahwa mereka menggunakan UU 11/2020 tentang Cipta Kerja – yang kemudian menjadi UU 6/2023 – sebagai dasar penentuan pesangon. Namun, Dian menyadari bahwa beleid dimaksud telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi pada saat itu. Artinya, pesangon Dian merujuk UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.

“Dengan masa kerja sembilan tahun, seharusnya saya dapat 18 kali gaji, tapi perusahaan hanya memberi setengahnya,” kata Dian.

Selain itu, Dian juga tidak menerima surat PHK secara resmi dari perusahaan. Surat tersebut sangat penting, karena dengan itu Dian bisa mengurus uang Jaminan Kehilangan Pekerjaan BPJS Ketenagakerjaan. Tanpa surat tersebut, Dian merasa hak-haknya sebagai pekerja tidak dipenuhi. Ia pun pulang dengan perasaan bingung dan stres. Bukan hanya kehilangan pekerjaan, tapi juga hak-haknya tidak dihormati.

Sebagai Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung – organisasi profesi yang memperjuangkan kebebasan pers, kesejahteraan, dan profesionalisme jurnalis – Dian memutuskan untuk bercerita kepada organisasinya. Namun, anggota AJI cukup bingung karena di Lampung belum ada serikat buruh yang menaungi pekerja media.

Sebanyak 13 jurnalis dari berbagai perusahaan media membentuk Serikat Pekerja Media (SPM) Lampung pada Hari Kebebasan Pers Sedunia, Rabu, 3/5/2023. Pembentukan serikat itu merespons berbagai persoalan yang dihadapi pekerja media, seperti upah tak layak, PHK, hingga kekerasan. | dok. AJI Bandar Lampung

Akhirnya, AJI Bandar Lampung merajut solidaritas bersama sejumlah kelompok masyarakat sipil, seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung, LBH Pers Lampung, Aliansi Pers Mahasiswa Lampung, dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung. Setelah beberapa kali diskusi, mereka membentuk Konsorsium Gerakan Pekerja Media, medium perjuangan Dian melawan ketidakadilan yang dialaminya.

Pada 12 Januari 2023, Dian bersama Konsorsium membuat pengaduan ke Disnaker Bandar Lampung terkait PHK sepihak oleh Lampung Post. Selanjutnya, Disnaker memanggil pihak Lampung Post dan Dian untuk mediasi.

Dalam pertemuan tersebut, Dian menyampaikan tuntutannya dengan jelas: haknya sebagai pekerja yang terkena PHK harus dipenuhi, terutama pembayaran pesangon sesuai dengan ketentuan UU Ketenagakerjaan. Namun, pihak perusahaan belum dapat memenuhi tuntutan tersebut, sehingga pertemuan tidak menghasilkan kesepakatan.

Setelah itu, Konsorsium membuka posko pengaduan bagi pekerja media yang mengalami persoalan hubungan industrial, seperti PHK, pemotongan upah, dan lainnya. Pembukaan posko juga dibarengi dengan diskusi publik bertajuk “Buram Nasib Pekerja Media di Lampung”. Kedua kegiatan ini dijalankan secara maraton sebagai upaya meningkatkan kesadaran dan solidaritas bagi pekerja media di Lampung.

Gencarnya pemberitaan dan diskusi terkait persoalan PHK yang dialami Dian ternyata memberi tekanan publik terhadap Lampung Post. Dalam pertemuan selanjutnya, perusahaan yang bagian dari Media Group itu setuju menambah jumlah pesangon.

Pengalaman pahit tersebut mengajarkan Dian bahwa perjuangan melawan pemilik modal harus kolektif dan terorganisasi.

“Tidak bisa sendirian melawan perusahaan. Butuh wadah yang kuat untuk memperjuangkan hak-hak pekerja,” ujarnya.

Setelah kasusnya selesai, Dian bersama Konsorsium terus mendorong terbentuknya serikat pekerja media di Lampung. Pada 3 Mei 2023, bertepatan dengan momentum Hari Kebebasan Pers Sedunia, sebanyak 13 jurnalis dari berbagai perusahaan media sepakat membentuk Serikat Pekerja Media (SPM) Lampung.

Serikat ini lahir sebagai respons terhadap kondisi pekerja media di Lampung yang semakin menyedihkan. Mulai pemotongan upah, gaji di bawah UMP, PHK sepihak, kerja beban ganda, hingga kekerasan. Pada 27 Juni 2023, SPM Lampung resmi tercatat di Disnaker dengan Nomor Bukti Pencatatan 568/07/III.06.05/VI/2023.

Dian pun menyerukan seluruh pekerja media berserikat. Dengan serikat, pekerja bisa saling bersolidaritas guna memperjuangkan hak-hak normatifnya, serta menjadi tempat untuk menambah dan mengembangkan kapasitas. 

***

Membangun Kesadaran Kelas

Ketua Serikat Pekerja Kampus (SPK) Dhia Al-Uyun menekankan bahwa berserikat merupakan salah satu upaya membangun kesadaran kelas. Menurutnya, penguasa dan pemilik modal sering kali menggunakan istilah-istilah yang bertujuan mereduksi perjuangan kelas pekerja. Contohnya, penggantian terminologi “buruh” menjadi “karyawan” pada rezim Orde Baru, atau penggunaan istilah “mitra” untuk pekerja ojek online yang kini sering memicu perdebatan.

Namun, Dhia menegaskan bahwa semua istilah tersebut pada akhirnya menemui problem yang sama, yaitu eksploitasi dan penindasan. Oleh karena itu, buruh perlu menyadari posisi kelasnya dalam struktur sosial dan ekonomi. Dengan memahami hal ini, mereka akan menyadari bahwa ketidakadilan yang dialami, seperti upah murah, jam kerja tidak menentu, dan beban kerja yang berlebihan, merupakan dampak dari kebijakan yang lahir dari keputusan politik. Artinya, persoalan-persoalan tersebut bukanlah kesalahan individu, melainkan hasil dari sistem yang menindas pekerja.

“Dengan menyadari kelas sosial tersebut, pekerja akan berada dalam satu garis perjuangan dalam melawan penindasan,” kata Dhia.

Ia mencontohkan kesadaran kelas tersebut dengan terbentuknya Serikat Pekerja Kampus (SPK) pada 17 Agustus 2023. Dhia bilang, pekerja kampus kerap dianggap sebagai kelompok intelektual yang melakukan produksi pengetahuan dalam bentuk pengabdian. Penggunaan kata “pengabdian” ini membuat pekerja kampus lupa akan posisinya sebagai pekerja dalam sebuah relasi kerja yang jauh dari keadilan sosial.

Sejumlah pengurus Serikat Pekerja Kampus (SPK) yang menjadi peserta diskusi kelompok terarah di Jakarta, Senin, 23/6/2025. Lahir dari kesadaran kolektif akan tantangan dan diskriminasi yang dihadapi oleh pekerja kampus, SPK berkomitmen untuk menjadi suara dan kekuatan bagi dosen, tenaga kependidikan, serta semua staf yang berkontribusi dalam dunia akademik. | dok. SPK

Berbagai kebijakan dan aturan yang melingkupi pekerja kampus sering menempatkan mereka dalam posisi yang tidak terlindungi oleh kebijakan ketenagakerjaan. Padahal jelas, setiap orang yang memeras keringatnya untuk mendapatkan upah adalah buruh.

Di lapangan, pekerja kampus dihadapkan pada kondisi yang memprihatinkan, seperti ketiadaan jaminan kesejahteraan, kurangnya dukungan fasilitas kerja, pengembangan karier, dan akses material untuk pengembangan pengetahuan berbasis riset. Selain itu, minimnya demokratisasi di lingkungan kerja dan rendahnya kebebasan akademik juga menjadi masalah serius.

Beban administrasi yang berlebihan dan eksploitasi kerja atas nama “pengabdian” semakin memperburuk kondisi pekerja kampus. Ditambah lagi dengan beragamnya status kerja, jabatan kerja, posisi kerja, bidang kajian, dan kelas-kelas universitas, yang menyebabkan pekerja kampus semakin terfragmentasi. Akibatnya, pekerja kampus kian rentan dan jauh dari kata sejahtera.

Pelbagai persoalan yang dihadapi pekerja kampus memantik kemarahan yang kemudian diorganisasi dengan membentuk serikat pekerja. Organisasi ini menjadi wadah bagi pekerja kampus untuk menampung keresahan, merumuskan strategi, dan memperjuangkannya secara kolektif.

Dhia, yang juga dosen Hukum Tata Negara Universitas Brawijaya, menekankan bahwa sudah saatnya seluruh elemen pekerja bersatu tanpa sekat. Buruh harus menghancurkan semua hal yang mengotak-ngotakkan mereka dengan istilah tertentu, dan menyadari bahwa mereka adalah kelas yang tertindas.

“Setiap kebijakan yang menyangkut nasib buruh harus ditentukan berdasarkan kepentingan buruh itu sendiri, bukan pemilik modal,” ujarnya.(*)

Laporan Derri Nugraha

Liputan ini mendapat dukungan dari Yayasan Kurawal sebagai upaya memperkuat demokrasi.

DukungKami.png.png

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

54 − 45 =