Pasar-pasar tradisional di Bandar Lampung dilanda kesepian, beberapa tahun terakhir. Pada saat bersamaan, terjadi PHK besar-besaran yang dibarengi penurunan masyarakat kelas menengah. Bila keadaan ini berlanjut, Indonesia dapat terjerumus ke dalam krisis ekonomi dan pemiskinan struktural.
Lina duduk termenung di salah satu lorong Pasar Tugu, Kecamatan Kedamaian, Bandar Lampung. Suasana pagi yang seharusnya ramai dan sibuk, terasa lesu di sekitarnya. Hanya satu-dua orang yang melintas, tanpa memerhatikan dagangannya yang terpajang rapi.
Sesekali, Lina menawarkan pakaian pada orang-orang yang lewat, dengan harapan ada yang tertarik. Namun, sudah jam sembilan pagi, belum ada barang dagangannya yang laku.
“Sekarang pasar sepi banget,” kata Lina sambil memegang peci, salah satu jualannya, Rabu, 5 Februari, 2025.
Lina mengingat masa-masa ketika pasar masih ramai. Suara-suara pedagang dan pembeli yang beradu, aroma makanan yang menggugah selera, serta deretan gerai yang penuh dengan barang-barang menarik. Kini, semua itu tinggal cerita.
Sejak pandemi Covid-19 berakhir, penjualan di Pasar Tugu merosot drastis. Lina yang sebelumnya bisa mengantongi omzet Rp500 ribu-800 ribu per hari, kini harus menerima dengan hasil yang jauh lebih sedikit.
“Kadang, dalam sehari sama sekali tidak ada yang terjual. Jadi, pulang ke rumah enggak bawa uang,” ujarnya.
Kondisi ini berdampak pada perekonomian pedagang. Banyak peniaga gulung tikar, dan beberapa gerai di Pasar Tugu terlihat tutup maupun dikontrakkan. Lina khawatir jika kondisi ini terus berlanjut, pasar akan tutup dan ia akan kehilangan mata pencaharian.
Saat ini, ia hanya memiliki sedikit barang dagangan yang tersisa. Penghasilannya tidak cukup untuk membeli barang baru. Tokonya pun terancam tutup jika barang yang tersisa sudah habis.
Kondisi ini tidak hanya berdampak pada Lina, tapi juga anak-anak pedagang di Pasar Tugu. Beberapa terpaksa putus kuliah lantaran orang tua mereka tidak mampu lagi membayar uang pendidikan.
“Salah satu teman saya, anaknya harus berhenti kuliah di semester lima karena tidak mampu lagi membayar uang pendidikan,” kata Lina. “Hasil dari toko itu yang diandalkan buat bayar kuliah.”
Saban hari, Lina dan teman-temannya diselimuti rasa cemas. Mereka menggantungkan hidup dari hasil niaga, dan berharap ada kebijakan dari pemerintah yang bisa meningkatkan penjualan.
“Semoga pasar bisa ramai seperti dahulu lagi, jadi anak-anak bisa sekolah,” ucap Lina.
Dua blok di belakang toko Lina, terdapat sebuah tempat penjualan ikan segar yang tampak sunyi. Dari puluhan lapak, hanya satu yang masih berjualan. Tempat itu milik Jamim, seorang pedagang ikan yang telah berjualan selama bertahun-tahun.
Ia menjual berbagai jenis ikan, mulai dari ikan air tawar hingga ikan laut. Namun, hari itu Jamim terlihat sendirian.
“Enggak banyak yang bertahan, hari ini cuma saya yang buka,” kata Jamim sambil memandang sekelilingnya.
Menurut Jamim, puluhan lapak kosong itu punya pemilik. Sebelumnya, masih aktif berjualan. Namun, beberapa tahun terakhir kondisi pasar semakin sepi, hingga banyak yang menutup lapaknya.
Seperti Lina, Jamim juga mengakui pandemi Covid-19 mengubah pola konsumsi masyarakat. Omzet penjualan ikan menurun lebih dari tiga kali lipat setelah pagebluk berakhir.
“Sebelum Covid-19, omzet bisa sampai Rp4 juta-Rp5 juta per hari. Sekarang, cari satu juta saja sulit,” ujarnya.
Jamim tak punya pilihan selain bertahan. Ia tidak punya keahlian lain. Apalagi, mencari pekerjaan saat ini terasa sulit. Pun banyak kerabatnya masih menganggur.
“Belum lagi harga bahan pokok terus naik, kebutuhan keluarga, dan anak sekolah. Kami berharap, ada bantuan dan penataan dari pemerintah terkait pasar. Supaya pedagang bisa memperbaiki hidup,” kata Jamim.
Dalam upaya untuk bertahan, Dodi, seorang pengepul beras di Pasar Tugu, harus berpikir kreatif. Ia menyiasati sepinya pembeli dengan menjual barang secara kredit. Konsumennya bisa meminjam beras dan membayarnya dengan cara dicicil.
“Jadi, mereka bisa putar modalnya,” ucap Dodi. “Kalau sudah untung dari jual nasi, baru bayar ke saya.”
Dodi memberi tenggat waktu satu minggu untuk pelanggan dapat melunasi barang yang diambil. Ia melakukan hal ini tidak hanya untuk membantu usahanya sendiri, tapi juga untuk menolong pelanggannya yang rata-rata pengusaha warung makan.
Saat ini, pembeli beras di tokonya kebanyakan dari usaha kecil menengah di sekitar Pasar Tugu. Tadinya, masih banyak dari luar daerah. Para pemilik rumah makan yang menjadi pelanggan Dodi pun sepi pembeli. Terkadang, mereka hanya cukup untuk memutar modal.
Harga beras yang terus melambung seperti pedang yang mengancam keberlangsungan usaha penjual nasi. Mereka terjebak dalam dilema. Di satu sisi, ongkos produksi semakin naik, namun harga jual ke konsumen cenderung konstan.
“Kalau harga jual nasi dinaikkan, pembeli akan beralih ke pedagang yang lebih murah,” ujarnya. “Tapi, kalau enggak naik, terkadang enggak balik modal. Jadi, serba salah.” Dodi menggambarkan situasi yang dihadapi oleh penjual nasi, sebuah situasi yang membuat mereka merasa seperti terjebak dalam sebuah permainan yang tidak adil.
Dodi menghela napas, merasa kesulitan yang dihadapi oleh penjual nasi. Ia berharap harga segera stabil, sehingga pedagang dapat bernapas lega dan masyarakat tidak merasakan dampaknya.
“Jika harga terus naik, bukan hanya pedagang yang menjadi korban. Masyarakat luas pun akan terkena dampak negatif,” ujar Dodi.
Kondisi Lina dan para pedagang di Pasar Tugu tidak hanya terisolasi di satu tempat. Beberapa pedagang pasar lain di Bandar Lampung juga turut merasakan kesulitan yang sama. Salah satunya adalah pedagang Pasar Pasir Gintung, sebuah pasar legendaris yang pernah menjadi induk atau pusat grosir dan eceran di Bandar Lampung.
Pasar Pasir Gintung masih teringat sebagai tempat yang selalu ramai dan sibuk. Namun, kini kondisinya tidak jauh berbeda dengan Pasar Tugu. Pada Agustus 2024, pasar tersebut selesai direvitalisasi melalui Proyek Strategis Nasional (PSN) oleh pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Perbaikannya menelan anggaran Rp38 Miliar, sebuah jumlah yang tidak sedikit.
Pedagang yang biasanya tumpah-ruah di jalan sekitar pasar, dipindahkan ke kios yang baru. Terdapat 340 kios yang terbagi dalam tiga lantai, sebuah fasilitas yang cukup memadai untuk mendukung perniagaan. Namun, sayangnya, kondisi pasar tidak sebaik yang diharapkan. Pedagang masih kesulitan untuk menjual barang-barang mereka, dan pasar tidak lagi ramai seperti dahulu.
Pasar Pasir Gintung yang telah direvitalisasi dengan biaya tidak sedikit, kini terlihat sunyi dan sepi. Pantauan konsentris, dari puluhan lapak di lantai tiga, hanya satu pedagang yang berjualan. Sementara itu, di lantai dua, banyak lapak yang sudah tutup, tersisa 5-10 pedagang saja. Begitupun dengan lantai satu, tak banyak yang berjualan.
“Sewaktu diresmikan Jokowi masih ramai yang dagang. Lantaran sepi dan jarang yang beli akhirnya banyak yang tutup,” kata Suparti, salah satu pedagang sayuran yang bertahan di lantai satu.
Padahal, menurut Suparti, lapak yang disediakan di pasar tersebut gratis. Artinya, pedagang tidak perlu menyewa. Mereka hanya membayar biaya salar dan kebersihan sebesar Rp20 ribu. Suparti menyayangkan uang rakyat yang dipakai untuk perbaikan pasar tersebut. Sebab, pembangunan sudah menghabiskan puluhan miliar, namun pemanfaatannya kurang maksimal.
Asiah, seorang penjual lain di Pasar Pasir Gintung, mengangguk setuju ketika mendengar keluhan Suparti. Ia juga mengalami kesulitan yang sama dalam berjualan di pasar tersebut.
Beberapa tahun terakhir, kondisi pasar semakin berkurang pembeli. Sejumlah toko mengeluh turun pendapatan. Perbaikan pasar tersebut tidak serta-merta membuat pasar jadi ramai.
“Ditambah harga barang yang naik-turun, jadi semakin sulit jual barangnya,” kata Asiah.
Pasar Koga juga menjadi salah satu korban dari kesepian yang melanda pasar-pasar di Kota Tapis Berseri. Banyak gerai sembako tutup, dan puluhan lapak terdapat tulisan disewakan. Suasana pasar yang seharusnya ramai dan sibuk, kini terlihat lengang.
Ridho, seorang penjual ayam potong yang telah berjualan di Pasar Koga selama lebih dari empat tahun, mengatakan bahwa pasar tersebut terancam tutup. Beberapa pedagang hanya berjualan dua kali seminggu, dan Ridho sendiri merasa bahwa ia berjualan untuk bertahan hidup saja.
“Kalau cari hidup yang lebih baik sulit karena memang semakin tahun tambah sepi,” ujarnya.
Ridho bilang, teman-teman yang masih bertahan adalah pedagang lama, dan tidak ada pedagang baru yang mau berjualan di sana. Ia juga mengaku bahwa terkadang pendapatannya tidak cukup untuk menutup biaya sewa.
Ridho berharap, pemerintah dapat turun tangan untuk meningkatkan daya beli masyarakat, sehingga pasar-pasar seperti Pasar Koga dapat kembali ramai dan sibuk.
***
Sekitar jam sembilan malam, Pasar Jatimulyo di Lampung Selatan masih ramai dengan suara-suara pedagang yang sibuk menurunkan muatan dari truk. Di antara keriuhan itu, beberapa pedagang lainnya memilah sayur yang masih segar untuk dijual keesokan harinya. Pasar Jatimulyo adalah salah satu pasar yang menjual tanaman palawija terbesar di Lampung, dan beroperasi 24 jam.
Di pasar ini, kamu dapat menemukan berbagai komoditas seperti sawi putih, wortel, cabai, dan buah-buahan. Hasil bumi itu datang setiap hari dari berbagai daerah, di antaranya Gisting, Tanggamus, Lampung Barat, Medan, hingga Pulau Jawa. Suasana pasar yang hidup dan beragam ini membuatnya menjadi salah satu destinasi favorit bagi pedagang dan pembeli.
Namun, di balik kesibukan pasar ini, pedagang di Pasar Jatimulyo juga merasakan penurunan pendapatan dalam setahun belakangan. Yaya (40), seorang pemasok sayur-mayur, menyatakan bahwa ada penurunan permintaan barang. Pada masa Covid-19, ia mampu mengedarkan sayuran lebih dari 20 ton per hari. Namun, saat ini, penjualan hanya berkisar 6-8 ton.
“Kurang tahu juga penyebabnya, tapi pendapatan lumayan menurun,” kata Yaya.
Yaya biasa memasok kentang, wortel, dan kol ke berbagai tempat, seperti restoran, rumah sakit, dan beberapa instansi. Ia juga menyediakan grosiran untuk pedagang yang lebih kecil.
Dalam kesunyian malam, Yaya terus berjuang untuk mempertahankan usaha. Banyak pekerja yang menggantungkan hidup di lapaknya.
“Ya sudah risiko berdagang, ada untung dan rugi. Tapi, semoga bisa lebih meningkat lagi penjualan,” ujarnya.
Yaya bukanlah satu-satunya pedagang yang menghadapi tantangan. Bintoro, seorang pedagang cabai dan bawang, juga mengalami penurunan pendapatan. Ia sudah enam bulan terakhir berhenti memasok cabai dan bawang ke rumah makan di Bandar Lampung karena permintaan menyusut.
“Biasanya mereka pesan puluhan kilo, tapi sekarang mintanya sedikit. Jadi, rugi kalau diantar, ongkosnya enggak menutup,” kata Bintoro.
Namun, Bintoro enggan menyerah. Ia fokus melayani pembeli yang datang ke kiosnya. Meskipun pendapatan tidak sebanyak sebelumnya, Bintoro masih dapat memutar modal dan nafkah keluarganya. Ia berharap, kondisi pasar segera normal dan penjualan kembali meningkat.
Ketidakpastian Ekonomi
Di tengah lesunya perekonomian nasional, Lampung tidak luput dari gejala deflasi yang mulai mengkhawatirkan. Menurut Arif Darmawan, dosen Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung, kondisi demikian akibat penurunan daya beli masyarakat yang berimbas pada turunnya permintaan terhadap barang dan jasa.
Fenomena ini tak hanya skala lokal, namun juga di level nasional. Penurunan kelas menengah menjadi aspiring middle class atau rentan miskin, serta Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) besar-besaran akibat industri yang tidak bisa bersaing, dan minimnya peluang kerja, menjadi beberapa faktor yang menyebabkan gejala deflasi.
Data Kementerian Ketenagakerjaan, sebanyak 80.000 pekerja mengalami PHK pada 2024, dengan sektor manufaktur menjadi penyumbang terbesar. Sementara itu, data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2024 menunjukkan bahwa ada 7,47 juta orang menganggur, dan sebanyak 9,48 juta warga kelas menengah turun kelas menjadi rentan miskin dalam lima tahun terakhir.
“Kondisi ini akhirnya menimbulkan kecemasan di masyarakat terkait kondisi ekonomi ke depan,” kata Arif Darmawan. “Jadi, mereka memilih menghemat uangnya, menyimpan di bank. Hasilnya, daya beli menurun yang berimbas pada tutupnya beberapa retail dan sepinya pasar.”
Tahun 2024 menjadi tahun yang sulit bagi perekonomian Indonesia. Badan Pusat Statistik mencatat bahwa Indonesia mengalami deflasi selama lima bulan berturut-turut. Gelombang deflasi ini pertama kali terjadi pada Mei 2024, dengan penurunan harga sebesar 0,03% secara bulanan. Namun, deflasi tidak berhenti di situ. Pada Juni, penurunan harga semakin dalam, mencapai 0,08%; dan pada Juli, deflasi semakin parah, dengan penurunan harga sebesar 0,18%.
Meskipun BPS mencatat bahwa deflasi mulai membaik pada Agustus, dengan penurunan harga kembali ke level 0,03% secara bulanan, namun deflasi ini kembali terjun bebas ke angka 0,12% pada bulan berikutnya. Penurunan harga komoditas yang bergejolak menjadi penyebab utama. Lalu, pada Januari 2025, deflasi masih terus terjadi di Indonesia, dengan persentase yang mencapai 0,76%. Angka ini menjadi pertanda bahwa perekonomian Indonesia masih belum pulih dari krisis yang melanda.
Arif bilang, penyebab deflasi yang melanda Indonesia bukan faktor tunggal. Ada beberapa determinan lain yang turut menyumbang deflasi. Arif membaginya menjadi dua faktor utama, yakni internal dan eksternal.
Secara internal, geliat pemilu 2024 telah memunculkan pandangan akan ketidakpastian ekonomi di masa depan. Masyarakat menjadi lebih berhati-hati dalam menggunakan uangnya, karena belum bisa meraba kebijakan pemerintah yang baru. Penurunan investasi di dalam negeri juga menjadi salah satu faktor yang berkontribusi pada deflasi. Investor merasa bahwa keadaan ekonomi di masa mendatang cenderung tidak stabil, sehingga mereka mengerem ekspansi bisnisnya di Indonesia.
“Akibatnya, perusahaan dan investor tidak memproduksi barang dan jasa lebih banyak, sehingga tidak menyerap pekerja lebih banyak,” kata Arif. “Otomatis, permintaan dan penawaran menurun, dan kondisi itu juga yang mengakibatkan PHK dan minimnya lapangan pekerjaan.”
Sementara itu, faktor eksternal yang berperan dalam deflasi adalah kondisi geopolitik antara Amerika dan China pascapelantikan Donald Trump. Perang dagang kedua negara itu makin menebal, dan salah satu indikasinya adalah melambungnya harga emas. Hal ini akan berpengaruh pada ekonomi makro Indonesia sebagai salah satu mitra dagang dari China.
“Pastinya akan berdampak pada barang-barang impor, baik dari China ke Indonesia maupun sebaliknya,” ujar Arif.
Pemiskinan Struktural
Peneliti Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios) Jaya Darmawan memiliki pandangan yang sama dengan Arif. Menurutnya, deflasi yang melanda Indonesia merupakan dampak dari turunnya kemampuan masyarakat akibat penurunan pendapatan. Kelas menengah yang semakin anjlok dan kelas rentan miskin yang naik menjadi salah satu penyebab utama deflasi.
“Penurunan pendapatan masyarakat berdampak pada penundaan konsumsi, atau bahkan pengurangan konsumsi,” kata Jaya.
Selain itu, Jaya juga menilai bahwa pelbagai kebijakan pemerintah turut menyumbang deflasi. Kebijakan moneter yang menaikkan suku bunga riil, kebijakan membuka keran impor, dan kebijakan pemerintah yang fokus pada sektor ekstraktif, serta mundurnya sektor manufaktur menjadi beberapa contoh kebijakan yang berdampak terhadap deflasi.
Kondisi tersebut akhirnya mengurangi lapangan kerja yang tersedia. Fenomena ini diperparah dengan banyaknya pekerja informal yang memiliki rata-rata gaji di bawah Rp2 juta.
“Informalitas ekonomi berbahaya karena pekerja tidak mendapatkan kompensasi dan perlindungan kerja yang memadai,” ujarnya.

Jaya khawatir jika kondisi ekonomi saat ini terus dibiarkan tanpa intervensi pemerintah, maka Indonesia akan terjerumus ke dalam krisis ekonomi dan pemiskinan struktural. Semakin lemahnya daya beli masyarakat, buruknya penyerapan tenaga kerja, dan tingginya pengangguran akan mempertebal ketimpangan ekonomi masyarakat.
“Orang kaya bertambah kaya, sementara yang miskin semakin miskin. Dalam jangka panjang, kondisi ini bisa memunculkan bencana struktural seperti kemiskinan ekstrem dan pengangguran tinggi,” kata Jaya.
Meski begitu, Jaya masih memiliki harapan bahwa pemerintah dapat melakukan beberapa hal guna menekan deflasi. Pertama, pemerintah perlu mengevaluasi kembali keran impor yang sangat terbuka. Regulator kebijakan sebaiknya memerhatikan aturan Permendag Nomor 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor.
Kemudian, pemerintah dapat melakukan beberapa langkah untuk menggenjot penyerapan tenaga kerja dan menekan pendapatan masyarakat yang semakin turun. Salah satu cara adalah dengan memberikan insentif fiskal kepada dunia manufaktur, seperti bantuan dana atau permodalan berbunga rendah. Selain itu, pemerintah juga dapat fokus pada transisi pekerja jika perusahaan sudah tidak bisa diselamatkan dari kebangkrutan.
“Intinya adalah untuk menggenjot penyerapan tenaga kerja dan menekan pendapatan masyarakat yang semakin turun,” kata Jaya. “Sektor manufaktur dapat dipilih karena sektor tersebut menyerap pekerja paling banyak.”
Jaya juga menyarankan agar pemerintah memberikan insentif fiskal yang bersifat bantuan langsung tunai (BLT), dan pelatihan kerja kepada pekerja atau kelas menengah-bawah. Pemerintah pun sebaiknya berhati-hati dalam mengalokasikan anggaran, sehingga tidak terlalu banyak digunakan untuk program yang terlalu cost center, seperti Makan Bergizi Gratis dan proyek ketahanan pangan macam food estate. Efisiensi bisa dialokasikan untuk program perlindungan sosial dan bantuan subsidi upah.
Jaya menekankan pentingnya membangun industri pengolahan yang kuat, baik di energi terbarukan maupun sektor pertanian unggulan baru yang restoratif. Pemerintah jangan terlena dengan sektor ekstraktif yang rentan pada gejolak harga komoditas dan serapan tenaga kerjanya rendah. Dengan demikian, beberapa produk seperti pakaian jadi, alas kaki, dan tas harus melewati verifikasi Kementerian Perindustrian.
“Memang tidak semua produk, tetapi verifikasi ini harus diperketat untuk menjaga daya saing industri dalam negeri,” ujarnya.
Dalam upaya mengatasi deflasi, Pemerintah Provinsi Lampung telah menyiapkan beberapa skema untuk menjaga ketersediaan komoditas pokok dan mengupayakan kestabilan harga. Upaya tersebut melalui pemantauan harga bahan pokok, operasi pasar murah bersubsidi, dan percepatan distribusi bahan pokok bersubsidi seperti minyak dan beras.
“Kami sudah rapat dengan Satgas Pangan dan Disperindag kabupaten/kota guna menjaga ketersediaan stok pangan, terutama dalam menyambut bulan puasa dan lebaran,” kata Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Lampung Evie Fatmawaty.(*)
Laporan Derri Nugraha
Liputan ini mendapat dukungan dari Yayasan Kurawal sebagai upaya memperkuat demokrasi melalui jurnalisme independen.