Wajah Kekerasan Negara: Penggusuran-Kebrutalan Aparat di Sabahbalau

  • Whatsapp
RIBUAN aparat, mulai TNI, Polri, hingga Pol PP mengawal penggusuran warga Kampung Kepala Burung, Desa Sabahbalau, Kecamatan Tanjung Bintang, Lampung Selatan, Rabu, 12/2/2025. Penggusuran itu atas perintah Pemprov Lampung dengan dalih penertiban aset daerah. | KONSENTRISID/Derri Nugraha

Penggusuran di Sabahbalau bukan hanya soal penertiban aset daerah, tapi kisah tentang kehilangan, kesedihan, dan perlawanan warga yang tergusur. Aksi brutal aparat dan kelalaian pemerintah telah menjadikan Sabahbalau simbol ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi manusia. Peristiwa ini mengungkap wajah kekerasan negara yang semakin menonjol.






Pagi itu, Legiyem (70) duduk di teras rumahnya, memandangi bangunan yang telah menjadi tempat tinggal selama puluhan tahun. Rumah berdinding bata tersebut telah menyaksikan masa-masa bahagia, kesulitan, dan perjuangan yang dialaminya.

Bacaan Lainnya

Namun, perasaan Legiyem terasa berbeda. Pikirannya tak tenang sejak semalam, ketika kabar tentang penggusuran rumah oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung mulai menyebar. Rasa cemas dan takut menghantui pikirannya.

Biasanya, Legiyem sudah sibuk menyiapkan daun pisang, genjer, dan sayuran lain untuk dijual di pasar. Tapi kali ini, ia memilih tidak berniaga. Ia tidak bisa meninggalkan rumah yang telah menjadi bagian dari hidupnya akan dihancurkan.

Di samping Legiyem, suaminya Tomulud, seorang lansia yang telah melewati lebih dari setengah abad, juga gelisah. Ia biasanya sibuk mencari pakan kambing, tetapi hari itu ia memilih bergabung dengan ratusan warga lain yang bertekad mempertahankan rumah mereka dari penggusuran.

Rumah mereka, yang terletak di Kampung Kepala Burung, Kelurahan Sabahbalau, Kecamatan Tanjung Bintang, Kabupaten Lampung Selatan, adalah saksi bisu perjalanan hidup lebih dari dua dekade. Sejak tahun 2000, Legiyem dan Tomulud telah membangun kehidupan di desa tersebut. Mereka membeli tanah dari seorang kepala desa dan membangun rumah gubuk beratap terpal.

Surat pemberitahuan dari Pemprov Lampung telah menimbulkan kecemasan di kalangan warga Desa Sabahbalau. Pada Rabu, 12 Februari 2025, penertiban aset dilakukan di dua lokasi, termasuk di desa tersebut, yang akan menggusur 42 kepala keluarga. Luas tanah yang akan ditertibkan mencapai 6,3 hektare, dan di antara rumah-rumah yang akan terkena dampak adalah rumah Legiyem dan Tomulud.

“Kami tidak punya tempat tinggal lain,” kata Legiyem dengan nada yang penuh kecemasan. “Rumah ini adalah satu-satunya harta yang kami punya.”

Di dekat musala yang sederhana di Kampung Kepala Burung, Muhammad Sadeli dan beberapa warga telah berkumpul, berdiri dengan kepala yang tertunduk dan tangan terlipat. Mereka menggelar doa bersama, memohon kepada Tuhan agar penggusuran tidak terwujud.

Di balik wajah-wajah yang cemas, terdapat kisah-kisah tentang perjuangan hidup yang telah berlangsung selama bertahun-tahun. Banyak warga di Kampung Kepala Burung telah kehilangan tempat tinggal lain, sehingga tanah yang mereka tempati saat ini menjadi satu-satunya harapan. Sebagian besar dari mereka adalah petani yang menggantungkan hidup pada tanah subur ini.

Namun, upaya menyelamatkan rumah dan tanah tampaknya sia-sia. Satu minggu sebelum penggusuran, Pemprov Lampung membuka posko terpadu, yang seharusnya menjadi tempat bagi warga untuk menyampaikan aspirasi. Namun, permohonan mereka untuk tidak digusur justru diabaikan. Penertiban paksa itu berlanjut, meninggalkan warga dalam keadaan ketidakpastian dan kecemasan yang mendalam.

Jam sembilan pagi, ketika matahari mulai meninggi, tiga ekskavator dengan pengawalan ketat dari 1.200 aparat, termasuk TNI, Polri, dan Polisi Pamong Praja, memasuki jalan masuk ke Kampung Kepala Burung. Masyarakat yang telah berbaris di depan musala dengan wajah-wajah cemas dan tegang, segera melakukan perlawanan tatkala alat berat mulai bergerak.

Mereka berusaha menghadang, namun kekuatan aparat terlalu besar. Kericuhan pun tak terhindarkan. Aparat memaksa masuk ke kampung, menghancurkan rumah-rumah warga. Dalam keributan itu, seorang lansia terinjak dan tidak sadarkan diri. Ia digotong ke dalam musala, terlihat seperti orang sekarat.

Ekskavator sedang mengeksekusi salah satu rumah warga di Sabahbalau, Lampung Selatan, Lampung, 12/2/2025. Terdapat sekitar 42 kepala keluarga yang menjadi korban penggusuran, sebagian adalah petani. | KONSENTRISID/Derri Nugraha

Masyarakat yang kalah jumlah, akhirnya tak dapat melawan lagi. Ribuan aparat yang mengepung lokasi tersebut memukul mundur mereka. Satu per satu rumah warga dirobohkan dengan ekskavator, meninggalkan tangis dan ratapan keluarga-keluarga yang kehilangan tempat tinggal. Mereka bingung hendak ke mana, karena rumah tersebut adalah satu-satunya harta.

Di balik klaim pemerintah bahwa tanah tersebut adalah aset daerah berdasarkan sertifikat hak pakai mulai 1993, terdapat cerita yang berbeda. Suraji, salah satu warga yang telah tinggal di sana lebih dari 30 tahun, memiliki pengalaman yang unik tentang sejarah tanah tersebut.

Menurutnya, tanah itu dahulu milik PT Perkebunan Nusantara (PTPN), dan diberikan kepada karyawan untuk digarap sejak 1988. Suraji adalah salah satu karyawan PTPN saat itu, dan ia mengingat dengan jelas bagaimana setiap orang menerima sekitar 500-2.000 meter persegi tanah, tergantung jabatan dan tingkat kepentingan mereka.

Suraji sendiri menerima 500 meter persegi tanah, yang kemudian ia kelola dengan penuh dedikasi. Cerita Suraji menimbulkan pertanyaan tentang keabsahan klaim pemerintah atas tanah tersebut, dan menunjukkan bahwa sejarah tanah ini jauh lebih kompleks daripada yang terlihat pada permukaan.

Setelah menerima tanah dari PTPN, Suraji dan karyawan lainnya memanfaatkan lahan tersebut untuk bercocok tanam. Mereka menanam berbagai komoditas pertanian yang menjadi sumber penghidupan.

Di awal tahun 2000, mereka menerima surat keterangan tanah (SKT) dari pemerintah desa setempat, yang memberikan hak untuk menggarap. Dengan SKT tersebut, Suraji dan karyawan lainnya mulai membangun rumah permanen, membangun kehidupan baru di atas tanah yang telah mereka garap selama bertahun-tahun. Namun, pada 2012, kabar mengenai pembatalan SKT secara sepihak oleh pemerintah membuat mereka terkejut.

“Saya tidak tahu soal pembatalan SKT itu,” ujar Suraji dengan nada keheranan. “Saya tahunya lahan ini masih milik saya.”

Tatkala kabar tentang klaim Pemprov Lampung atas tanah tersebut mulai menyebar, masyarakat yang merasa terancam segera mengambil tindakan hukum. Lewat jasa seorang advokat, Agusman Chandra Jaya, mereka mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Kalianda, Lampung Selatan, dalam upaya untuk mempertahankan hak atas tanah tersebut.

Namun, Pemprov Lampung tidak tinggal diam. Mereka melayangkan gugatan balik atau rekonvensi, sebuah upaya memperkuat klaim mereka atas tanah itu. Namun, hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Kedua gugatan tersebut dinyatakan tidak dapat diterima oleh pengadilan, sehingga objek sengketa atau lahan warga di Sabahbalau berstatus quo. Artinya, pemerintah setempat tidak dapat mengeksekusi lahan dengan dalih penertiban aset, karena hak warga atas tanah tersebut masih belum terputus secara hukum.

Penggusuran oleh Pemprov Lampung tak hanya meninggalkan luka emosi mendalam bagi masyarakat, tetapi juga memperlihatkan ketidakadilan yang nyata. Masyarakat hanya menerima kompensasi sebesar Rp2,5 juta, yang ditujukan untuk mengontrak selama beberapa bulan. Namun, uang sebanyak itu dianggap tidak cukup untuk mencari tempat tinggal pengganti yang layak. Bahkan, dari 42 kepala keluarga, hanya lima yang menerima kompensasi, sementara selebihnya menolak.

Mereka merasa bahwa uang tersebut bukan hanya tak cukup, tetapi juga tidak menghargai hak mereka sebagai warga negara. Banyak yang telah membayar pajak bangunan selama bertahun-tahun, dan mereka merasa bahwa pajak tersebut adalah bukti bahwa negara mengakui keberadaan mereka di sana. Namun, nyatanya mereka digusur dan tidak diberi tempat tinggal yang layak, meninggalkan mereka dalam keadaan tak pasti dan tidak aman.

***

Kebrutalan Aparat

Air mata Eliyati mengalir ketika moncong ekskavator mulai menggaruk atap rumahnya di Sabahbalau. Dalam sekejap, tempat tinggal yang ia bangun dengan susah payah dari hasil berjualan barang bekas, rata dengan tanah.

Peristiwa tersebut bukanlah pengalaman pertama bagi Eliyati. Kurang dari dasawarsa terakhir, ia dua kali mengalami penggusuran. Ia masih teringat jelas saat tempat tinggalnya di Pasar Griya, Sukarame, Bandar Lampung, dihancurkan oleh pemerintah kota pada 2018.

Kala itu, Pemkot Bandar Lampung hendak mengubah Pasar Griya menjadi Kantor Kejaksaan Negeri (Kejari) setempat. Eliyati, yang menghidupi ketiga anaknya dengan meloak, seketika kehilangan harapan. Ia tak tahu harus kemana. Barulah beberapa tahun kemudian, ia bisa membangun rumah kembali di Sabahbalau. Namun, tempat berlindung untuk Eliyati dan ketiga anaknya itu hilang lagi karena penggusuran.

“Memang negara itu jahat,” kata Eliyati. “Saya cuma mau bertahan hidup saja, digusur terus. Apa orang miskin ini enggak boleh hidup?”

Pengalaman pahit saat eksekusi di Pasar Griya masih terukir jelas dalam ingatan Eliyati. Ia termasuk salah satu warga yang berani melawan ketika aparat datang untuk menggusur rumah mereka. Dengan nekat, Eliyati naik ke atas sekop alat berat, berusaha untuk menghentikan laju ekskavator. Namun, ketika ekskavator berjalan, Eliyati terangkat dan terjatuh, menyebabkan beberapa bagian tubuhnya luka.

Aparat yang bertindak represif saat itu membuat situasi semakin ricuh. Ratusan warga terlibat dalam bentrokan dengan petugas, beberapa di antaranya pingsan dan luka. Eliyati sendiri merasakan kekerasan yang dilakukan oleh para penggusur. Menurutnya, kekerasan telah menjadi cara yang umum digunakan oleh aparat untuk menghalau warga yang melawan penggusuran.

Kembali, Eliyati menjadi saksi aksi brutal aparat yang menghancurkan harapan dan kehidupan warga di Sabahbalau. Ia menyaksikan bagaimana seorang lansia terinjak dadanya, banyak warga yang ditarik paksa, jatuh pingsan, hingga luka-luka.

Seorang lansia pingsan akibat terinjak saat terjadi kericuhan dalam penggusuran di Desa Sabahbalau, Lampung Selatan, Rabu, 12/2/2025. Penggusuran itu dilakukan Pemprov Lampung dengan dalih menertibkan aset daerah. | KONSENTRISID/Derri Nugraha

Semua itu terjadi ketika warga yang rumahnya sudah diratakan menolak untuk memindahkan barang ke tempat lain. Mereka masih mau bertahan di tanah tersebut, mempertahankan apa yang mereka miliki. Namun, aparat tidak mengindahkan perlawanan mereka. Mereka mengangkut paksa barang-barang warga, tanpa mempedulikan keselamatan dan kesejahteraan mereka.

Di tengah perlawanan tersebut, seorang perempuan hamil jatuh pingsan, terdorong di antara aparat dan warga. Ia mengalami pendarahan dan dibawa ke rumah sakit. Kemudian, salah satu warga mengalami luka di bagian bibir akibat dipukul seorang pria berpakaian sipil yang berdiri di barisan aparat.

Seorang pria berpakaian sipil yang berdiri di barisan aparat memukul warga saat penggusuran di Kampung Kepala Burung, Kelurahan Sabahbalau, Kecamatan Tanjung Bintang, Kabupaten Lampung Selatan, Rabu, 12/2/2025. | KONSENTRISID/Derri Nugraha

Selain itu, seorang lansia juga pingsan dan membutuhkan bantuan oksigen. Ada juga warga yang mengaku bahwa anggota Sat Pol PP berinisial A membenturkan kepala warga tersebut dengan keras.

“Kejam memang mereka itu, enggak punya perikemanusiaan,” kata Eliyati dengan nada yang penuh kesedihan dan kemarahan.

Malam setelah penggusuran itu, Eliyati terlihat kehilangan arah. Ia berjalan-jalan di sekitar desa yang sebelumnya ramai, kini hanya tersisa musala yang sunyi. Tidak hanya Eliyati, beberapa warga lainnya juga terlihat bingung dan tidak tahu harus beristirahat di mana.

Akses listrik ke desa itu telah diputus, meninggalkan mereka dalam kegelapan. Eliyati dan beberapa warga akhirnya memutuskan tidur di musala yang gelap, tanpa penerangan. Salah satu anak Eliyati bahkan harus tidur di bawah pohon, karena tidak ada tempat lain yang aman.

“Saya enggak tahu mau ke mana,” ujar Eliyati dengan napas tertahan, karena sudah banyak menangis hari itu. “Pemerintah menghancurkan semua rumah saya.” Suaranya terdengar lemah dan putus asa, seperti orang yang telah kehilangan segalanya.

Pelanggaran HAM Berat

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung menilai penggusuran oleh Pemprov Lampung merupakan pelanggaran HAM berat. Tindakan tersebut melanggar Pasal 28H ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera, memiliki tempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.

“Penggusuran itu tidak mempertimbangkan hak-hak dasar masyarakat, seperti hak atas tempat tinggal dan hak atas lingkungan hidup yang baik,” kata Direktur LBH Bandar Lampung Sumaindra Jarwadi.

Ia juga mengacu pada beberapa dasar hukum, termasuk Pasal 11 ayat (1) Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Kovenan tersebut mengatur bahwa negara mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak, termasuk pangan, sandang, dan perumahan. Kemudian, Pasal 40 UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menjamin bahwa setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak.

Menurutnya, Pemprov Lampung telah melakukan pelanggaran HAM karena tidak mengambil langkah-langkah yang memadai untuk menjamin perlindungan, pemenuhan, dan penghormatan terhadap hak normatif masyarakat. Ia juga menyoroti bahwa masyarakat hanya menerima pengganti Rp2,5 juta, tanpa kejelasan tempat tinggal, pekerjaan yang layak, dan lain sebagainya.

“Ini merupakan contoh dari pelanggaran HAM berat yang harus diatasi,” ujar Indra-sapaan Sumaindra Jarwadi.

Penggusuran di Kampung Kepala Burung, Kelurahan Sabahbalau, Kecamatan Tanjungbintang, Kabupaten Lampung Selatan, Rabu, 12/2/2025. Dalam penggusuran itu, aparat bertindak brutal yang mengakibatkan banyak jatuh korban. | KONSENTRISID-LBH Bandar Lampung

LBH memandang bahwa pemerintah pun lalai dalam pengelolaan objek tanah. Jika pemerintah mengklaim bahwa objek tersebut adalah aset daerah dengan status hak pakai, maka pemerintah memiliki kewajiban untuk mengusahakan agar hak tersebut digunakan sesuai peruntukannya.

“Kan pemerintah menyebut memiliki Hak Pakai sejak 1993. Nah, selama kurun waktu tersebut, Pemprov Lampung tidak pernah melakukan pengusahaan terhadap objek sesuai dengan hak pakainya. Artinya, pemerintah juga melawan undang-undang,” ujar Indra.

Dengan demikian, pemerintah telah melakukan dua kesalahan. Pertama, melakukan penggusuran yang melanggar HAM berat. Kedua, tidak mengelola objek tanah sesuai dengan hak pakainya.

Ia bilang, Pemprov Lampung telah melakukan penelantaran terhadap aset di Sabahbalau selama lebih dari 30 tahun. Dalam konteks pemberian hak pakai, penelantaran tersebut dilarang, bahkan dapat menyebabkan hak pakainya gugur.

Namun, yang terjadi adalah sebaliknya. Pemprov Lampung justru menggusur warga yang telah menetap dan mengelola lahan tersebut selama bertahun-tahun. Seyogianya, pemerintah memberikan kejelasan hukum terlebih dahulu sebelum mengambil langkah yang berdampak terhadap hak-hak warga.

“Hingga saat ini, belum ada dasar hukum yang sah yang menjadi landasan bagi pemerintah untuk menggusur warga,” ujarnya.

Indra juga menyoroti tindak kekerasan terhadap warga selama penggusuran. Ia mendesak pemerintah segera mencari solusi bagi warga yang terdampak, termasuk menyediakan tempat tinggal yang layak dan penghidupan yang memadai. Jika itu tidak dilakukan, maka pemerintah daerah melanggengkan pelanggaran HAM di Lampung.

“Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk melindungi dan memenuhi hak-hak dasar warga, termasuk hak atas tempat tinggal dan penghidupan yang layak,” kata Indra.

Kuasa hukum Pemprov Lampung Muhammad Suhendra membantah bahwa tindakan pemerintah setempat merupakan penggusuran. Menurutnya, yang dilakukan pemprov hanyalah penertiban aset daerah. Pemprov Lampung pun tak memiliki kewajiban hukum untuk memberikan ganti rugi kepada warga.

“Yang kami berikan kepada warga hanya sebatas kebijaksanaan pemerintah,” ujar Suhendra.

Ihwal kekerasan selama proses menggusur, ia bilang belum mengetahui secara pasti. Namun, ia berjanji bahwa pihaknya akan mempelajari kasus tersebut.

“Belum paham persis terjadinya (kekerasan) di mana? di posisi seperti apa? Pelakunya siapa? Lalu siapa yang memancing situasi tersebut? Kalaupun ada, nanti kami akan pelajari terlebih dahulu,” kata Suhendra.(*)

Laporan Derri Nugraha

Liputan ini mendapat dukungan dari Yayasan Kurawal sebagai upaya memperkuat demokrasi melalui jurnalisme independen.

DukungKami.png.png

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

5 + 1 =