Roda pembangunan industrial seperti pembukaan hutan, penebangan kayu komersial, serta “sistem manajemen eksternal” yang dijalankan negara berdampak pada ekosistem. Situasi ini relevan dengan gagasan Engels bahwa cara produksi kapitalisme berkenaan dengan alam mendegradasi kehidupan manusia dan mengeksploitasi lingkungan. Karena itu, perlu tindakan untuk mengubah cara produksi kapitalisme sebagai penyebab krisis sosial-ekologis.
Pembacaan atas uraian Engels dalam The Part Played sebagaimana diulas dalam tulisan sebelumnya menggemakan pokok-pokok perhatian dari bidang studi antropologi lingkungan atau ekologi manusia. Dalam bagian ini, saya akan mengetengahkan relevansi pemikiran Engels dan Marx secara umum dengan kecenderungan terkini dari bidang kajian tersebut. Merujuk catatan Kopnina dan Shoreman-Ouimet (2017), ada empat poin kunci dalam perkembangan terkini kajian ekologi manusia yang menunjukkan kuatnya relevansi gagasan Engels, serta pendekatan ekonomi politik Marxis, dengan bidang kajian tersebut.
Pertama, fokus ekologi manusia telah beranjak dari kajian atas komunitas yang dipandang sebagai entitas tertutup menuju pengakuan bahwa komunitas-komunitas tersebut merupakan bagian dari sistem ekologi-politik yang lebih luas. Dengan begitu, berbagai asumsi soal batas-batas (boundedness) dari suatu komunitas juga dibongkar ulang.
Dalam pengamatan antropolog lingkungan Amerika, Conrad Phillip Kottak, konsekuensi dari proses ekonomi politik di skala makro terhadap komunitas dan lingkungan pada tingkat mikro tidak bisa diabaikan. Para antropolog sendiri telah menjadi saksi dari dampak-dampak pembangunan industrial, seperti pembukaan hutan, penebangan kayu komersial, perusakan lingkungan serta bagaimana “sistem manajemen eksternal”[1] yang dilakukan negara dalam konteks pembangunan, telah berdampak pada ekosistem lokal yang telah dikelola secara adekuat selama berabad-abad. Konsekuensinya, unit analisis yang menempatkan komunitas dan ekosistem lokal sebagai entitas yang terisolasi tidak lagi relevan. Unit analisis perlu mempertimbangkan entitas di tingkat nasional dan internasional dalam relasi timbal balik dengan ranah lokal dan regional. Karena ini pula, menjadi penting untuk mempertimbangkan perspektif internasional tentang isu-isu keadilan dan tata-kelola lingkungan (Kottak, 1999: 25-26).
Kedua, ekologi manusia juga telah beranjak dari pendekatan sinkronis menuju pendekatan diakronis. Pendekatan materialisme dialektis sangat relevan dengan konteks ini berkenaan dengan kekuatannya dalam menelaah dimensi kesejarahan relasi manusia dan lingkungan.
Argumentasi Engels pada kasus evolusi manusia dalam The Part Played merupakan contoh. Cara berpikir dialektis berimplikasi pada mengemukanya analisis historis terhadap kesaling-hubungan kondisi material yang membentuk kenyataan sosial-lingkungan tertentu. Munculnya kecenderungan kedua ini juga dipengaruhi oleh menguatnya pendekatan Marxis dalam kajian ekologi manusia, khususnya dalam tradisi Ekologi Politik.
Berkenaan dengan pergeseran pendekatan, terjadi pula pergesaran dalam hal asumsi dasar, yakni dari asumsi tentang keseimbangan (ekuilibrium) menuju asumsi ketidakseimbangan (disekuilibrium). Studi-studi klasik ekologi manusia umumnya mengandaikan suatu ekuilibrium antara sistem sosial dan ekosistem dalam pengertian bahwa mekanisme sosial yang dikembangkan komunitas ditujukan untuk mencapai suatu keadaan yang seimbang dengan kondisi ekosistem[2].
Namun, fakta-fakta seperti yang disinggung Kottak menunjukkan bahwa terdapat ketakseimbangan antara sistem sosial dan ekosistem, sebagaimana halnya pengutamaan pertumbuhan ekonomi (growth) ketimbang keberlanjutan lingkungan dalam model pembangunan arus utama. Secara implisit, asumsi ketakseimbangan merujuk pada implikasi sosial-lingkungan (lebih jauh lagi, yakni pada logika dari aktivitas produksi) yang ditimbulkan dominasi moda produksi kapitalisme. Dalam konteks dua pergeseran ini, teori Marx tentang patahan metabolisme (metabolic rift)[3] menjadi sangat relevan untuk didiskusikan.
Ketiga, ekologi manusia tidak hanya semakin terlibat dengan politik, tetapi juga menjadi semakin politis. Poin ini saling-terhubung dengan poin pertama. Pengakuan atas peranan “agen eksternal” pada konteks ekonomi politik di aras makro harus mempertimbangkan aspek politik berkenaan dengan bagaimana kepengaturan atas lingkungan dibangun, sehingga berimplikasi dalam mengubah relasi sosial-lingkungan di aras mikro.
Kecenderungan menguatnya pelibatan aspek politik dalam analisis ekologi manusia tentunya paling kentara dalam tradisi Ekologi Politik. Dalam konteks ini, perhatian atas kebijakan dan kesadaran politik di dalam analisis teoretik menjadi krusial. Munculnya kesadaran akan kebijakan yang evaluatif menurut Kottak (1999: 25-26) tidak hanya berimplikasi pada analisis, tetapi juga untuk menghasilkan solusi yang proporsional dan sensitif atas keragaman budaya lokal.
Keprihatinan atas degradasi lingkungan pada gilirannya memunculkan kesadaran dan aksi untuk mengupayakan keberlanjutan ekologis. Pada titik inilah politik mengemuka sebagai konsekuensi dari titik-pijak analisisnya. Kecenderungan politis mengemuka berdasarkan fakta bahwa banyak antropolog lingkungan melakoni peran ganda sebagai analis proses sosial politik terkait dengan cara bagaimana lingkungan dikelola, sekaligus sebagai saksi dari terjadinya krisis sosial-ekologis. Di sini kita tentu teringat kembali pada peran yang dilakoni Engels ketika menulis The Condition of the Working Class in England.
Berdasarkan pengetahuannya, antropolog dapat memainkan peran-peran baik itu dalam publikasi pengetahuan yang berkenaan dengan sebab musabab dalam proses sosial-lingkungan. Bisa pula sebagai penerjemah “trans-kultural” dari suatu pengetahuan dan praktik lingkungan tertentu, maupun peran dalam mengadvokasi komunitas yang terdesak oleh pembangunan sekaligus menawarkan solusi terhadap krisis sosial-ekologis (Kopnina & Shoreman-Ouimet, 2018: 5).
Hal ini menggaungkan kembali wanti-wanti Engels bahwa ilmu pengetahuan saja tidak cukup. Perlu tindakan (politik) untuk mengubah kenyataan. Poin inilah yang menguatkan relevansi ekologi manusia untuk berpartisipasi dalam revolusi atas cara produksi dan tatanan sosial yang menopangnya. Tujuannya, guna membangun suatu regulasi baru hubungan manusia dan lingkungan yang berkelanjutan.
Keempat dan terakhir, menguatnya karakter interdisipliner yang dapat melintasi batas-batas antara ilmu alam dan ilmu sosial humaniora. Hal ini berarti pengetahuan yang diperoleh dari kajian atas relasi manusia dan lingkungan kini diperoleh dari kontribusi bersama-sama antara bidang ilmu alam dan ilmu sosial humaniora. Apakah kecenderungan ini menunjukkan arah menuju unified theory of science? Saya belum mampu untuk membahasnya.
Namun, apabila kita cermati bidang-bidang kajian baru yang muncul pada konteks menguatnya kesadaran akan lingkungan dan implikasinya bagi kehidupan di bumi, seperti Planetary Health dan Sustainability Science, saya kira kemungkinan ke arah tersebut menguat. Dalam konteks ini, pembacaan atas rekonstruksi analitis filsafat alam Engels dari Martin Suryajaya (2015) dapat memberi petunjuk.
Tulisan Suryajaya mengemukakan bahwa secara filosofis pemikiran Engels (dan Marx) dikenali sebagai pandangan naturalisme metodologis. Tesisnya menyatakan jika metode ilmu-ilmu alam merupakan dasar dari metode ilmu-ilmu sosial humaniora. Dengan kata lain, ada konsistensi metodologis antara ilmu alam dan sosial humaniora.
Engels dan Marx juga menganut pandangan naturalisme ontologis. Maksudnya, apa yang ada tidak lain atau bertopang pada semesta fisik. Posisi filosofis ini teraktualisasi dalam Tesis Materialisme Historis sebagai teori untuk menjelaskan kenyataan ekonomi sosial budaya. Tesis ini berdiri di atas basis Tesis Naturalisme Ontologis sebagai teori untuk menjelaskan kenyataan semesta fisik (alam) (Suryajaya, 2015).
Pada hemat saya, rekonstruksi ini hendak menunjukkan bahwa materialisme dialektis benar untuk digunakan sebagai cara berpikir, baik dalam memahami realitas sosial maupun realitas alam. Implikasinya, materialisme dialektis mampu menjamin hadirnya konsistensi dan kelengkapan penjelasan pada ranah kajian ilmu alam maupun ilmu sosial humaniora. Dengan kata lain, kerja lintas batas disiplin ilmu, dalam arti berlangsungnya kolaborasi dari bidang kajian berbeda untuk menghasilkan penjelasan yang lebih lengkap dan konsisten tentang kenyataan yang diselidiki dimungkinkan. Hal itu karena adanya konsistensi metode atau cara berpikir.
Kesimpulan
Ulasan atas pemikiran ekologi manusia Friedrich Engels telah menunjukkan bahwa alih-alih menempatkan alam dalam kedudukan subordinat sebagai objek yang dapat direkayasa melalui kecanggihan teknologi, relasi manusia dan alam perlu dipahami secara materialis dialektis: manusia mengada dalam alam. Ia adalah bagian dari alam itu sendiri. Karenanya, setiap tindakan manusia terhadap lingkungan alam mengandung konsekuensi ekologis dan pada gilirannya konsekuensi sosial.
Engels telah menunjukkan bahwa kondisi lingkungan memengaruhi kondisi fisik populasi manusia. Seperti apa kondisi lingkungan itu sendiri dipengaruhi oleh tindakan manusia dalam mentransformasi lingkungan, yakni melalui kerja – cara yang dilakukan manusia dalam mengorganisasi aktivitas produktif untuk menunjang kehidupannya. Cara produksi kapitalisme sebagai suatu sistem sosial dalam mengorganisasi usaha transformasi alam pada gilirannya telah mendegradasi kehidupan kelas pekerja sebagai populasi dominan dan mengeksploitasi lingkungan melampaui batas daya dukungnya, sehingga memunculkan krisis sosial dan ekologis.
Sementara patahan metabolisme mengemuka sebagai krisis fundamental dari cara produksi kapitalisme yang memperlawankan ekologi dan ekonomi, kemajuan ilmu pengetahuan bergerak ke arah yang sebaliknya. Perkembangan terkini ekologi manusia menunjukkan titik temu dengan pandangan ekologis Engels dan secara umum perspektif Marxis.
Pengakuan atas kesaling-terkaitan komunitas lokal dengan proses global serta implikasi dari proses ekonomi politik global itu terhadap komunitas lokal mengemuka. Dalam kaitan dengan ini, analisis historis memperoleh peran penting bersama dengan pengakuan atas adanya ketakseimbangan sistem sosial dan lingkungan sebagaimana diekspresikan oleh meluasnya krisis sosial ekologis.
Di tengah-tengah krisis tersebut, kesadaran akan kesatuan manusia dan alam menguat. Para ahli telah mewartakan episode baru kehidupan di muka bumi: Anthropocene, yakni periode geologis terkini dari bumi yang ditandai oleh pengaruh mendalam dari aktivitas manusia yang telah mengubah kondisi atmosfer, geologi, hidrologi, dan proses-proses sistemik bumi lainnya. Pada episode ini, diungkapkan Clive Hamilton, pupus sudah dualisme Cartesian-Kantian yang menempatkan manusia dan alam dalam dua kedudukan berbeda (Kopnina & Shoreman-Ouimet, 2018: 5). Seperti juga dikatakan Michael Myers, direktur pengelola kesehatan di Rockefeller Foundation: “Eksploitasi terhadap lingkungan berkontribusi pada kesehatan manusia. Dengan mengeksploitasi sumber daya di bumi kita memperoleh keadaan yang lebih nyaman… tapi saat ini kita telah berada di titik kritis ketika eksploitasi atas lingkungan mulai memiliki dampak negatif dari kesehatan manusia”. Begitu pula terhadap sistem alamiah yang telah menopang kehidupan kita (Seltenrich, 2018). Bukankah ini yang Engels peringatkan sekitar 150 tahun yang lalu?
Saat kini, kita saksikan pula bagaimana konsep keberlanjutan (sustainability) dalam kaitannya dengan visi pembangunan masa depan dikampanyekan dan diintervensi pada kebijakan pembangunan negara pada skala global. Keberlanjutan juga menjadi tema sentral dari ekologi manusia. Tidak hanya dalam konteks penelitian, tetapi juga tindakan: untuk menemukan solusi bagi masalah krisis sosial lingkungan yang mengemuka dalam berbagai bentuk pada beragam konteks spesifik.
Dengan ini, ditunjukkan bahwa aspek politik tidak hanya penting dalam penyelidikan, tetapi juga manakala kajian ini menjadi politis. Seperti kata Engels: ilmu pengetahuan saja tidak cukup, diperlukan tindakan untuk mengubah keadaan. Perubahan dimaksud, yakni tindakan dalam mengubah cara produksi kapitalisme sebagai penyebab krisis sosial ekologis yang diikuti oleh pembangunan organisasi yang rasional terhadap koevolusi manusia dan alam melalui dukungan ilmu pengetahuan.
Tindakan di atas dimungkinkan ketika kajian atas relasi manusia dan lingkungan menunjukkan karakter interdisipliner, yang melintasi sekaligus mengolaborasikan ilmu alam dan ilmu sosial. Di sini dapat dilihat bahwa materialisme dialektis sebagai filsafat Marxis semakin relevan dalam medan ilmu pengetahuan. Menyimak pendapat ahli biologi kenamaan Inggris J.B.S. Haldane, filsafat Marxis itu merupakan metode.
Sebagaimana halnya ilmu alam, teori Marxis dapat memperoleh detail analisis dengan mengaplikasikan metode terhadap kenyataan konkret. Dialektika Marxian adalah metode yang berperan dalam memberitahu apa yang perlu dilihat oleh ilmuwan alih-alih memberitahu apa yang akan ditemukan. Jika dialektika menjadi dogma, maka ia tak berguna (Foster, 2020: 388). (selesai)
[1] Sistem manajemen eksternal di sini merujuk pada pengaturan yang dilakukan negara atau institusi nasional dan internasional terhadap lansekap “alamiah” seperti hutan dan kawasan perairan yang juga merupakan lokasi dari berbagai komunitas lokal yang hidup pada kondisi spesifik lingkungannya.
[2] Sebagai contoh, lihat studi klasik Roy A. Rappaport berjudul Pigs for the Ancestors; Ritual in the Ecology of a New Guinea People (1984).
[3] Pembaca dapat mengikuti telaah soal imanensi dimensi ekologis dalam kritik ekonomi politik Marx beserta sentralitas konsep metabolisme dan patahan metabolis pada karya Kohei Saito, Capital, Nature, and the Unfinished Critique of Political Economy (2017).
Daftar Pustaka
Brondízio, E., R.T. Adams, dan S. Fiorini, 2017. “History and Scope of Environmental Anthropology”, dalam H. Kopnina dan E. Shoreman-Ouimet (eds.), Routledge Handbook of Environmental Anthropology, Oxon dan New York: Routledge, hlm. 10-30.
Carver, T., 1990. Friedrich Engels: His Life and Thoughts. Amerika Serikat: Palgrave Macmillan.
Engels, F., t.t. [1839]. Letters from Wuppertal. https://www.marxists.org/archive/marx/works/1839/03/telegraph.htm
________, 1987 [1845]. The Condition of the Working Class in England, London: Penguin Books.
________, 1987 [1925]. “Dialectics of Nature”, dalam K. Marx dan F. Engels, Collected Works Vol. 25, hlm. 313-588.
Foster, J.B., 2020. The Return of Nature, New York: Monthly Review Press.
Iskandar, J., 2017. Ekologi Manusia dan Pembangunan Berkelanjutan. Bandung: Program Studi Master Ilmu Lingkungan.
Kangal, K., 2020. Friedrich Engels and the Dialectics of Nature, Cham: Springer International Publishing. https://doi.org/10.1007/978-3-030-34335-4.
Kopnina, H. dan E. Shoreman-Ouimet, 2017. Routledge Handbook of Environmental Anthropology. Oxon dan New York: Routledge.
Kottak, C.P., 1999. “The New Ecological Anthropology”, dalam American Anthropologist, 101 (1), hlm. 23-35.
Leakey, R., 2007. Asal-usul Manusia. Jakarta: KPG.
Marx, K., 1990 [1867]. Capital Volume I. London: Penguin Classics.
Mulyanto, D., (2015). “Prakondisi Anatomis Kerja: Rekonstruksi Paleoantropologis Teori Engels perihal Evolusi Tangan”, dalam Dede Mulyanto (ed.), Di Balik Marx; Sosok dan Pemikiran Friedrich Engels. Tangerang Selatan: Marjin Kiri.
Novaczek I., I.H.T. Harkes, J. Sopacua., dan M.D.D. Tatuhey, 2001. An Institutional Analysis of Sasi Laut in Maluku, Indonesia. T.t.: Danida, IDRC Canada, dan ICLARM.
Saito, K., 2017, Karl Marx’s Ecosocialism; Capital, Nature, and the Unfinished Critique of Political Economy, New York: Monthly Review Press.
Schneider, M. dan Philip McMichael, 2010. Deepening, and Repairing, the Metabolic Rift, The Journal of Peasant Studies 37, no. 3 (Juli 2010): 461–84. https://doi.org/10.1080/03066150.2010.494371.
Seltenrich, N., 2018. “Down to Earth: The Emerging Field of Planetary Health”, dalam Environ Health Perspect. 126 (7), DOI: 10.1289/EHP2374 Suryajaya, M., 2015. Naturalisme Historis: Rekonstruksi Analitis atas Filsafat Alam Friedrich Engels dalam Dede Mulyanto (ed.), Di Balik Marx; Sosok dan Pemikiran Friedrich Engels. Tangerang Selatan: Marjin Kiri.