“Revolusi Sunyi” Petani Organik Lampung Tantang Rezim Pangan-Dikte Pasar

  • Whatsapp
SUKARLIN memperlihatkan padi organik miliknya di Desa Rejoasri, Seputih Raman, Lampung Tengah, Senin, 15/12/2025. Lewat gerakan kolektif, Sukarlin membuktikan bahwa petani bisa berdaya dan menolak tunduk pada sistem yang tak adil. | KONSENTRIS.ID/Derri Nugraha

Gerakan organik adalah upaya dekonsentrasi kekuasaan pangan guna merebut kedaulatan ekonomi, ekologi, dan ruang hidup. Lewat kolektivitas, para petani tidak hanya mengganti input kimia dengan nutrisi alami, tetapi sedang membongkar struktur dikte pasar. Aksi ini merupakan strategi politik untuk menegakkan kemandirian sekaligus memulihkan martabat dari rezim pangan, meski petani bertaruh di atas ketidakpastian akses lahan.






Bulan kedua musim rendeng telah tiba. Di Desa Rejoasri, Kecamatan Seputih Raman, tanaman padi sudah tumbuh 60 sentimeter. Air hujan sedang melimpah. Pada fase ini, kebanyakan petani di Lampung Tengah mulai jarang terlihat di lahan. Mereka cukup datang dua kali dalam seminggu tanpa perlu khawatir akan kekeringan.

Bacaan Lainnya

Kesunyian di bendang sore itu hanya dipecah oleh kesibukan Sukarlin. Ia sedang menyambungkan saluran air dari kolam lele agar mengalir ke sawahnya. Pasokan air itu harus tetap stabil karena Sukarlin menempatkan makhluk hidup lain di sela-sela padinya: ikan nila. Ia menjaga agar keduanya bisa tumbuh bersamaan.

Sukarlin tidak membawa pupuk kimia ke sawahnya. Ia menanam dengan metode organik. Di petak sawah itu, ia membiarkan sebuah interaksi terjadi: kotoran ikan nila menjadi pupuk bagi akar padi, dan ikan-ikan itu sendiri yang bergerak mencari hama untuk dimakan.

Sukarlin menanam Refugia di pinggir sawahnya agar dapat mengendalikan hama padi melalui rantai ekologi yang seimbang. Baginya, lingkungan bukan objek eksploitasi, melainkan sebuah tanggung jawab. | KONSENTRISID/Derri Nugraha

Di pematang sawahnya, Sukarlin juga menanam refugia. Bunga zinia berkelir kuning dan putih menghiasi pinggiran lahan. Di antara kelopak bunga kertas itu, berbagai serangga seperti capung, tomcat, dan laba-laba hidup dan menjadi predator bagi hama-hama padi. Tanaman ini pun memicu pertumbuhan populasi Anagrus, sejenis parasit yang menempel pada telur wereng, sehingga gagal menetas. Alih-alih menyemprotkan pestisida, Sukarlin membiarkan rantai makanan bekerja. Ia menjaga organisme dalam ekosistem tersebut tetap hidup.

Seperempat hektare lahan itu tidak hanya menjadi tempat bagi padi untuk tumbuh. Di sana, Sukarlin merawat keseimbangan melalui hubungan yang dianggapnya harmonis. Lingkungan tidak diperlakukan sebagai objek eksploitasi, melainkan sebuah tanggung jawab.

Sukarlin pertama kali mengenal sistem pertanian organik pada 2007. Saat itu, ia mengikuti sebuah forum pelatihan tentang pertanian ramah lingkungan. Di sana, ia mempelajari cara mengelola lahan tanpa merusak tanah dan menghasilkan beras yang terhindar dari residu kimia.

Dalam pelatihan tersebut, ia baru menyadari bahwa ketergantungan petani pada unsur kimia dan teknologi adalah dampak dari gerakan yang dimulai pada 1960-an: Revolusi Hijau. Sejak masa itu, modernisasi pertanian menekankan peningkatan produksi pangan melalui bibit unggul, pupuk kimia, pestisida, dan mesin-mesin mekanis.

Di Indonesia, Revolusi Hijau diterapkan oleh rezim Orde Baru melalui program Panca Usaha Tani/Bimbingan Massal. Tujuannya: meningkatkan produksi pangan, terutama beras, dengan teknologi modern.

Indonesia berhasil swasembada pangan saat itu. Ketergantungan impor berkurang. Namun, kebijakan tersebut datang dengan harga mahal. Ia menyisakan pencemaran lingkungan dari pestisida dan pupuk, ketergantungan kimia, kerusakan tanah, hilangnya keanekaragaman hayati, hingga buruh tani yang tersingkir oleh mesin.

Melihat realitas tersebut, Sukarlin mencoba sistem organik di lahannya sendiri. Fokus awalnya sederhana: menyediakan pangan yang sehat bagi keluarga, mengurangi ketergantungan bahan kimia. Sebagian hasil panen kemudian dijual untuk kebutuhan harian.

Petani lain mengikuti jejaknya, tetapi masalah muncul saat panen pertama. Beras organik belum populer. Sukarlin dan rekan-rekannya kesulitan memasarkan produk. Pasar beras saat itu masih didominasi oleh tengkulak dan perusahaan besar yang membeli gabah dengan harga murah.

Mereka tidak menyerah. Kantong-kantong beras tanpa bahan kimia itu diantarkan ke warung-warung makan dan toko kelontong. Mereka juga menawarkannya ke kerabat terdekat.

Lambat laun, beras organik diminati pelanggan. Permintaan meningkat. Sukarlin dan para petani melihat peluang tersebut. Inisiatif kemandirian pangan keluarga berubah menjadi gerakan kolektif. Pada 2018, Sukarlin dan beberapa petani di Kampung Rejoasri mendirikan Gabungan Petani Sehat Ramah Lingkungan (Gapsera) Sejahtera Mandiri.

Sukarlin merapikan beras organik di pabrik produksi milik Perkumpulan Kelompok Tani Gapsera Sejahtera Mandiri, Senin, 15/12/2025. Gapsera menarik diri dari ketergantungan sistem pasar dengan mengendalikan seluruh proses produksi. | KONSENTRISID/Derri Nugraha

Melalui Gapsera, para petani mulai menarik diri dari ketergantungan pada sistem pasar. Mereka yang sebelumnya tidak memiliki kuasa atas nilai hasil panen, kini mengendalikan seluruh proses produksi. Anggota kelompok mengurus sendiri penanaman, pemanenan, penggilingan, hingga pemasaran. Seluruh rantai pasok itu kini dikerjakan oleh tangan-tangan petani.

Gapsera mengadopsi sistem koperasi. Di akhir masa produksi, setiap petani menerima keuntungan sesuai dengan porsi keterlibatannya. Struktur ini mengubah Gapsera menjadi simbol kedaulatan bagi anggotanya, selain tetap mempertahankan metode pertanian yang ramah lingkungan.

Semula, banyak pihak meragukan perkembangan kelompok ini, mengingat pasar beras lebih banyak dikuasai partikelir. Namun, perlahan usaha tersebut membuahkan hasil. Kini, dalam setiap masa panen, Gapsera mampu menghasilkan 100-200 ton beras. Produk mereka, yang diberi merek dagang Berasera, telah menjangkau seluruh Lampung hingga Jawa Barat. Satu kantong Berasera ukuran lima kilogram dijual Rp100 ribu, nilai yang lebih tinggi dibandingkan beras konvensional yang biasanya Rp75 ribu-Rp85 ribu.

Sukarlin dan kelompoknya menyadari bahwa skala produksi mereka masih jauh di bawah korporasi. Di dalam kelompok sendiri, tidak semua beras yang diproduksi murni organik; sebagian petani anggota belum sepenuhnya beralih dari cara konvensional. Meski begitu, bagi mereka, bertani bukan sekadar mengejar produktivitas dan keuntungan, tapi juga berbagi ruang untuk keseimbangan alam.

“Terpenting, petani harus sepenuhnya berdaulat dan tidak tunduk pada sistem yang bikin sengsara,” ujar Sukarlin.

Dua tahun setelah Sukarlin dan kelompoknya mengenal sistem organik, gerakan serupa muncul di kawasan timur Lampung. Di Desa Purwokencono, Kecamatan Sekampung Udik, sejumlah petani mulai menerapkan agroekologi.

Pertengahan 2009, dalam sebuah diskusi kelompok, kesadaran itu berproses pada diri Sutiman. Ia menyadari sebuah kontradiksi: selama ini para petani menyemprotkan racun agar hama tidak memakan padi, namun setelah panen, keluarga merekalah yang pertama kali menyantap beras tersebut. Sejak saat itu, puluhan petani yang tergabung dalam Kelompok Tani (Poktan) Multibaliwo perlahan meninggalkan bahan kimia sintetis.

Sutiman menyebut praktik ini pertanian selaras alam. Baginya, istilah itu memiliki makna yang lebih dalam daripada sekadar sistem organik. Sutiman dan kelompoknya melihat bahwa pertanian organik sering kali terpaku pada sertifikasi pemerintah. Bagi mereka, bertani organik bukan soal mengejar stempel layak, melainkan upaya untuk benar-benar menyatu dengan keanekaragaman ekosistem.

Para petani tidak lagi membunuh hama dengan menuangkan obat atau disinfektan; mereka membiarkan alam bekerja. Perlu waktu hingga lima tahun bagi Sutiman untuk mengembalikan fungsi tanah yang sebelumnya dikelola secara konvensional. Ia menunggu cacing-cacing, organisme renik, mikroba, hingga serangga penyangga tanah tumbuh kembali. Di lahan itu, rantai makanan dibiarkan berjalan untuk mengolah tanah secara alami. Sisa-sisa organisme dari proses makan dan dimakan berubah menjadi unsur hara yang menyuburkan tanah.

“Kami hanya perlu mengupayakan agar keseimbangan alam itu terjaga. Sebab, bila alam terjaga, mereka akan membawa kebaikan bagi tanaman,” kata Sutiman.

Kelompok Tani Multibaliwo, Desa Purwokencono, Lampung Timur, bercengkerama usai diskusi rutin, Senin sore, 15/12/2025. Nilai-nilai kolektif petani Multibaliwo juga terlihat dari kepemilikan ternak yang digunakan untuk kepentingan bersama. | KONSENTRISID/Hendry Sihaloho

Di salah satu sudut Desa Purwokencono, sebuah kandang kolektif berdiri di atas lahan milik kelompok. Di dalamnya terdapat lima ekor sapi dan beberapa unggas. Ternak-ternak ini dipelihara untuk kebutuhan bersama: kotorannya diolah menjadi pupuk alami, sementara tenaga sapi dipakai untuk membajak sawah. Setiap anggota kelompok berhak memanfaatkan hewan-hewan tersebut melalui pengelolaan swadaya. 

Sebagian besar beras yang dihasilkan Poktan Multibaliwo diperuntukkan bagi swasembada keluarga. Sejak beralih ke metode ini, tidak ada keluarga petani yang membeli beras untuk makan sehari-hari. Mereka menempatkan kesehatan pangan sebagai inti kehidupan. Jika terdapat kelebihan panen, barulah petani menjualnya untuk mencukupi kebutuhan pokok lain.

Sutiman dan kelompoknya memilih tidak berniaga dengan perusahaan. Ia enggan terjebak dalam sistem yang menawarkan harga tidak adil. Baginya, petani harus memegang kuasa atas harga gabah yang dihasilkan dari keringat sendiri. Mereka lebih memilih menjajakan beras kepada kerabat atau tetangga di desa seberang dengan harga yang disepakati bersama.

Kini, ketakutan terbesar para petani Purwokencono bukan lagi soal kesehatan keluarga atau ketimpangan harga, namun akses terhadap lahan. Di tengah upaya membangun pertanian berkelanjutan, bayang-bayang konflik agraria menghantui mereka.

Dahulu, Purwokencono bagian dari kawasan hutan lindung Register 38. Beberapa bagian lahan telah dikelola masyarakat sejak 1967. Namun, pada 1983, negara mengambil lahan tersebut untuk dijadikan kawasan tertentu. Setelah reformasi 1998, masyarakat kembali menempati tanah itu hingga kini menjadi Desa Purwokencono.

Meski telah menetap selama puluhan tahun, status tanah ribuan warga setempat belum jelas. Ketidakpastian ini dimanfaatkan oleh sejumlah pihak untuk mengklaim lahan mereka. Para petani telah puluhan kali menjalani sidang sengketa yang selalu berakhir tanpa kepastian.

Saat ini, Sutiman dan para petani sedang mengurus Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah (Sporadik). Mereka berharap surat tersebut dapat memutus konflik tenurial yang telah berlangsung lebih dari empat dekade.

***

Setiap pagi, usai memasak di dapurnya yang sederhana, Siti Kurniasih melakukan satu hal lagi. Ia mengumpulkan sisa bahan makanan: potongan akar sayur, bagian sawi yang busuk, kulit telur, kepala ikan, hingga bungkus daun pisang sisa tempe. Semuanya dimasukkan ke dalam ember bertumpuk. Wadah bagian atas yang telah dilubangi menampung limbah dapur, sementara wadah di bawahnya menangkap air lindi hasil penguraian. Cairan itu dibiarkan mengendap, lalu dijemur selama beberapa hari hingga siap menjadi pupuk cair.

Setidaknya satu-dua kali seminggu, Siti menyiramkannya ke sayuran di pekarangan rumah. Sejak 2019, lahan di samping rumahnya menjadi lebih produktif. Di kebun kecil itu, pokcoy, sawi, bayam merah, selada, dan kangkung tumbuh subur. Tidak ada sisa bahan makanan yang terbuang sia-sia; kotoran hewan, kulit buah, rumput, dan daun kering dikumpulkan menjadi kompos untuk nutrisi tanaman.

Mulanya, ia hanya ingin memastikan anak-anak dan suaminya menikmati sayuran sehat. Namun, ikat demi ikat sayuran miliknya mulai menarik perhatian orang lain. Kebun kecil di samping rumah itu memberi tambahan bagi kebutuhan rumah tangganya. Dalam satu bulan, sayur organik Siti menghasilkan Rp400-Rp600 ribu.

Elis Siti Aisyah, salah satu petani organik di samping rumah Siti, sedang memanen selada, Selasa, 16/12/2025. Bertani organik menambah pendapatan dan memastikan pangan sehat bagi keluarga Elis. | KONSENTRISID/Derri Nugraha

Di Desa Bumijaya, Kecamatan Candipuro, puluhan petani perempuan melakukan hal yang sama dengan Siti. Menyemai bibit, membuat kompos, dan merawat tanaman di pekarangan telah menjadi pemandangan lazim. Tanpa struktur organisasi formal, mereka menjalankan usaha ini secara kolektif.

Dua kali dalam sepekan, para perempuan ini berkumpul di rumah Siti. Masing-masing membawa hasil panen. Setiap kilogram sayur yang terkumpul dicatat dalam buku. Sayuran tersebut kemudian disalurkan ke konsumen melalui Asosiasi Petani Organik Lampung (APOL), yang menghubungkan mereka dengan warga kota, rumah makan, dan minimarket. Pada akhir bulan, mereka kembali bertemu di rumah Siti untuk membagikan hasil penjualan. Seperti Siti, setiap petani bisa menerima hingga Rp600 ribu per bulan.

Lewat kemitraan ini, Siti dan para petani berhubungan langsung dengan pembeli. Mereka memprakarsai sebuah lumbung pangan bersama melalui sistem Community Supported Agriculture (CSA). Di sini, konsumen membayar di awal musim tanam untuk mendapatkan bagian hasil panen secara berkala. Sistem ini memangkas rantai distribusi panjang yang biasa ditemui pada pertanian konvensional; petani dan konsumen berbagi risiko serta keuntungan bersama.

Dukungan dari konsumen sering datang dalam bentuk yang nyata. Suatu waktu, mesin pompa air di rumah Siti rusak. Melalui sistem lumbung pangan tersebut, salah satu konsumen membantu membelikan mesin pompa baru. Sebagai imbalannya, Siti mengirimkan sayur organik dari kebunnya sesuai kesepakatan mereka berdua.

Seorang perempuan yang tergabung dalam Asosiasi Petani Organik Lampung (APOL) sedang menjual sayur organik kepada pelanggan di Bazar Mewujudkan Hak Atas Pangan, Bandar Lampung, beberapa waktu lalu. Melalui lumbung pangan bersama, APOL Menerapkan Community Supported Agriculture (CSA) untuk sistem yang lebih adil, berkelanjutan, dan transparan. | KONSENTRIS.ID/Derri Nugraha

Asosiasi Petani Organik Lampung didirikan oleh Fransiska, satu tahun lalu. Ia adalah seorang petani organik yang tinggal satu kecamatan dengan Siti. Siska, sapaan akrabnya, mulai mengenal pertanian organik pada 2010. Pemicunya bersifat personal: saat itu ia kesulitan mendapatkan sayuran sehat untuk mertuanya yang sedang sakit keras. Dokter menyarankan agar sang mertua hanya mengonsumsi makanan yang bebas dari bahan kimia.

Kejadian itu mendorong Siska dan suaminya untuk mendalami sistem pertanian yang lebih sehat. Mereka menutup usaha komputer dan beralih menjadi petani organik. Di lahan mereka, keduanya menanam berbagai jenis pangan, mulai dari padi hingga beragam sayuran. Kini, APOL telah bermitra dengan hampir seratus petani organik yang tersebar di wilayah Metro, Lampung Timur, Lampung Tengah, Lampung Selatan, dan Bandar Lampung.

“Selain hasil panen, bertani pada akhirnya juga bicara soal sistem yang lebih adil, berkelanjutan, dan transparan,” ujar Siska.(*)

Laporan Derri Nugraha

DukungKami.png.png

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

41 + = 51