Program Sekolah Rakyat yang digagas Presiden Prabowo Subianto berpotensi memperkuat kesenjangan sosial. Kebijakan ini tak menyentuh akar masalah pendidikan yang kompleks, seperti keinginan sekolah dan mutu pembelajaran. Fakta di lapangan, pendidikan tidak berkorelasi langsung dengan masa depan.
Bau amis menguar di Tempat Pelelangan Ikan Gudang Lelang, Bumi Waras, Bandar Lampung. Suara riuh orang-orang yang mencari ikan segar memenuhi udara.
Aditya Pratama (24) dengan cekatan menyusun puluhan ekor tongkol komo. Ikan-ikan itu beratnya sekitar 2 kg per ekor, dan dijual seharga Rp25 ribu per kg. Tongkol komo digemari karena cocok dibuat sambal atau digoreng kering. Ia juga menawarkan jenis ikan lain, seperti kembung dan kerapu. Pekerjaan ini telah menjadi rutinitasnya sejak berhenti sekolah pada 2020.
Aditya meninggalkan sekolah di kelas 11. Baginya, sekolah tidak menjanjikan pekerjaan yang layak. Ia melihat banyak alumni menganggur setelah lulus, sementara biaya pendidikan SMK tak sedikit.
Saat mendaftar, ia harus membayar uang komite sekolah sebesar Rp6 juta, belum termasuk SPP Rp250 ribu, seragam, transportasi, dan uang jajan. Di tengah pandemi Covid-19 yang menghantam perekonomian, Aditya merasa meneruskan sekolah hanya buang waktu dan materi.
“Kalau lanjut juga belum tentu dapat kerja. Jadi, mending berhenti saja,” ujarnya.
Di sekolah, Aditya jarang mendapat penjelasan memadai dari guru. Mereka lebih sering memberi tugas, lalu meninggalkan ruang kelas. Bahkan, kadang-kadang mereka tidak kembali hingga usai jam pelajaran.
Pola demikian membuat Aditya merasa kurang memahami materi pelajaran. Selain itu, senioritas sangat kental di sekolahnya yang mempraktikkan pendidikan semimiliter, tapi juga kerap disertai kekerasan.
Suasana ini menimbulkan tekanan dan rasa waswas. Ia takut melakukan kesalahan dan mendapat hukuman dari senior. Sistem tersebut akhirnya mendorong Aditya meninggalkan bangku sekolah.
Pemuda itu tak ingin lagi merasakan tekanan dan membuang biaya. Ia memutuskan bekerja dan mencari penghidupan sendiri. Sebelum berjualan ikan, Aditya sering ikut ayahnya melaut. Ia merasakan langsung kerasnya kehidupan nelayan yang harus berjibaku dengan panas, ombak, dan badai. Kini, Aditya memilih untuk menjual tangkapan nelayan di pasar.
Pengalaman adiknya yang telah lulus sekolah tapi masih menganggur, semakin memperkuat pandangan bahwa sekolah tidak menjamin pekerjaan layak. Saat ini, adiknya berdagang makanan ringan di dekat lapak ikan Aditya, mencari penghidupan seadanya.
Adik Aditya adalah lulusan SMK. Selama menimba ilmu, ia banyak mengeluarkan biaya, mulai dari uang komite hingga SPP bulanan. Orang tua Aditya, yang bekerja sebagai nelayan, kesulitan memenuhi kebutuhan itu. Meski demikian, mereka tetap berusaha memberikan pendidikan yang terbaik untuk anaknya, berharap bisa memperbaiki kehidupan.
Setelah dua tahun lulus, sang adik masih belum dapat pekerjaan. Ia berencana merantau ke Pulau Jawa, mencari peluang di sebuah pabrik. Tapi, jalan menuju ke sana tidaklah mulus. Ia harus membayar calo untuk bisa mendaftar, dan tak ada jaminan akan diterima.
Pengalaman kakaknya membuat adik bungsu Aditya kehilangan harapan. Ia tidak ingin mengikuti jejak kakaknya dan memutuskan berhenti sekolah lebih dini, yaitu saat SMP. Aditya sempat memaksa adiknya bersekolah lagi, tapi hanya beberapa bulan kemudian, motivasi si bungsu kembali hilang.
“Ia bilang mau kerja saja di laut,” kata Aditya, mengingat keputusan adiknya.
Sang adik yang masih belia memutuskan jadi anak buah kapal. Ia enggan meniru langkah kakaknya yang lulus SMK, tapi tak punya pekerjaan layak. Baginya, tak ada guna pendidikan bila akhirnya kembali ke laut, mengarungi ombak dan badai untuk mencari nafkah. Ia juga tidak ingin membebani keluarga dengan biaya sekolah yang mahal.
Di kampung nelayan seperti tempat tinggalnya, pola pikir seperti ini bukanlah hal aneh. Banyak anak putus sekolah, bahkan sejak SD, dan memilih bekerja sebagai buruh bongkar muat ikan atau anak buah kapal. Mereka tidak melihat pendidikan sebagai jaminan masa depan, melainkan beban yang harus ditanggung.
Kendati demikian, Aditya yang telah berkeluarga memiliki harapan berbeda untuk putri semata wayangnya. Ia ingin anaknya mengenyam pendidikan tinggi dan punya masa depan cerah. Namun, Aditya berharap kualitas pendidikan mendatang lebih baik, sehingga motivasi anak untuk belajar meningkat dan mampu mengembangkan pola pikir.
“Kalau sistemnya masih seperti sekarang, anak akan susah belajar dan cenderung malas,” ujarnya.
***
Di perempatan Jalan Sultan Agung, lampu merah menyala dan puluhan kendaraan berhenti sejenak. Di tengah hiruk-pikuk lalu lintas, seorang pria berkostum boneka Labubu muncul, berjoget dengan gembira. Tangan kanannya melambai ke arah pengguna jalan, sementara tangan kirinya menggenggam ember kecil bekas cat.
Deni (25) telah menjadikan pekerjaan ini sebagai rutinitas sehari-hari. Mulai pagi hingga sore, ia menghibur pengendara yang melintas, berharap mereka berbagi rezeki. Penghasilannya tidak banyak, tapi sedikit itu sudah cukup untuk menafkahi keluarganya.
Ayah tiga anak itu tak punya pilihan lain karena mencari pekerjaan layak sangat sulit, terutama bagi mereka yang hanya mengantongi ijazah sekolah dasar. Banyak pekerjaan yang mensyaratkan minimal ijazah SMA, membuatnya terjebak dalam lingkaran kemiskinan.
Deni berhenti sekolah ketika SMP. Ia menganggap pendidikan tidak begitu penting. Di daerahnya, doktrin yang berlaku adalah bisa membaca dan menulis. Setelah merasa memenuhi kriteria itu saat SD, ia memutuskan tak lanjut sekolah.
Kini, keputusan tersebut menjadi penyesalan terbesarnya. Penyesalan bukan lantaran susah dapat pekerjaan tanpa ijazah, melainkan pola pikirnya yang terbatas.
Deni bilang, memperoleh ijazah saat ini tidak terlalu sulit; beberapa orang pernah menawarkan paket C. Namun, keinginan untuk melanjutkan sekolah sudah tidak ada lagi. Apalagi, ia telah berkeluarga dan sibuk mengurus anak-anaknya.
Selain itu, Deni juga menyadari bahwa ijazah bukan satu-satunya penentu memperoleh pekerjaan. Banyak lulusan SMA dan sarjana yang menganggur, sementara persaingan kerja jamak dipengaruhi oleh suap atau koneksi keluarga, bukan kemampuan individu.
Pengalaman sekolah Deni tidak menyenangkan; pendidikan terasa seperti lomba meraih nilai tinggi di semua mata pelajaran. Anak-anak yang kesulitan memahami materi tertentu cenderung menyontek, dan menjadi malas belajar.
Deni pun mengalami hal serupa; ia kurang memahami beberapa pelajaran, sehingga malas sekolah. Ia lebih suka bermain game online, lalu berhenti sekolah karena merasa pendidikan tak penting dan hanya menimbulkan tekanan.
Namun, setelah dewasa, Deni mulai menyadari bahwa pendidikan sangat penting untuk membentuk pikiran dan karakter. Jika ia bisa mengenyam pendidikan tinggi, kehidupannya barangkali berubah. Lewat pendidikan yang lebih baik, kepercayaan dirinya akan meningkat dan dapat berinteraksi dengan berbagai kalangan. Hal itu bisa membuka peluang kerja dan memperbaiki nasibnya.
“Kalau sekarang mau bergaul dengan orang banyak, malu, karena enggak punya ilmu,” ucapnya.
Deni tak ingin ketiga anaknya mengikuti jejaknya. Ia bertekad agar anak-anaknya bisa menjalani pendidikan tinggi. Ia juga berharap biaya sekolah lebih terjangkau. Sebab, selain motivasi yang rendah, biaya mahal kerap menjadi hambatan.
Ia mencontohkan anak-anak jalanan di sekitarnya. Mereka terpaksa berhenti sekolah karena orang tua tidak mampu membiayai. Salah satu anak berusia sepuluh tahun yang bekerja sebagai manusia silver berujar, “Enggak mau sekolah lagi, cari uang saja.”
***
Kurang Guru, Murid, dan Mutu
Kisah Aditya dan Deni menjadi cerminan nyata kompleksitas masalah anak putus sekolah. Di balik keputusan mereka meninggalkan bangku sekolah, terdapat lebih dari sekadar persoalan biaya. Faktor motivasi belajar, mutu pendidikan, dan sistem juga berperan penting.
Data Kemendikbudristek, jumlah Anak Tidak Sekolah (ATS) di Lampung mencapai 146.612 orang. Perinciannya, 29.599 pelajar drop out, 43.566 siswa yang tidak melanjutkan pendidikan setelah lulus, dan 73.447 anak belum pernah sekolah.
Pada semester pertama 2023, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Lampung mencatat angka putus sekolah yang mengkhawatirkan, yaitu 15.965 pelajar. Jumlah ini tersebar di semua jenjang pendidikan, mulai SD hingga SMA/SMK.
SMA/SMK menjadi penyumbang terbesar dengan 6.334 orang, diikuti SD dengan 5.682 orang dan SMP 3.679 orang. Akibatnya, banyak sekolah di Lampung yang kekurangan siswa, bahkan beberapa di antaranya terpaksa tutup.
Di Kecamatan Bumi Waras, tempat Aditya tinggal, SDN 1 Pecoh Raya hanya menerima 15 siswa, tahun lalu. Padahal, satu rombongan belajar minimal 25-28 orang. Tahun ini, pendaftar di sekolah tersebut hanya 16 orang. Sebelumnya, Dinas Pendidikan Bandar Lampung bahkan menutup SD Negeri Kangkung karena jumlah siswa kurang dari 100 orang.
Kawasan pesisir Bandar Lampung memang menjadi langganan angka putus sekolah yang tinggi. Periode Januari-Juni 2023 saja, lebih dari 800 anak putus sekolah dari empat kecamatan, yaitu Telukbetung Timur, Bumi Waras, Telukbetung Selatan, dan Panjang.
Kondisi serupa juga terjadi di SDN 1 Gedong Meneng, Kecamatan Rajabasa, yang hanya menerima lima siswa pada tahun ajaran 2024/2025. Sekolah yang berdiri sejak 1978 itu kini memiliki 65 siswa dengan enam guru kelas dan empat guru bidang studi.
Masalah kekurangan siswa bukan hanya di Bandar Lampung, tetapi juga beberapa kabupaten. Di Lampung Tengah, lima sekolah mulai dari SD hingga SMP terancam tutup karena minimnya siswa pada 2024.
Keadaan lebih ironis menimpa beberapa SD-SMP di Lampung Utara. SMP Negeri 2 di Desa Papan Rejo, Kecamatan Abung Timur, tidak meluluskan seorang siswa pun selama tiga tahun berturut-turut, dari 2021 hingga 2023. Pasalnya, tak ada siswa yang mendaftar. Penyebab utama adalah sarana dan prasarana yang kurang memadai, seperti atap jebol dan banyak dinding rusak.
Kondisi serupa dialami SD 2 Mulyo Rejo. Setiap tahun, jumlah siswa sekolah itu terbilang minim. Bahkan, tahun ini, sekolah tersebut tidak memiliki siswa kelas enam, sehingga ujian kelulusan pun ditiadakan.
Fasilitas sekolah ini kurang layak. Atap ruang kelas seperti mau jatuh. Elita, salah satu guru, khawatir akan keselamatan siswa.
Baru-baru ini, beberapa ruang kelas mulai diperbaiki setelah pemilihan bupati. Namun, masih banyak yang belum tersentuh. Para orang tua juga lebih memprioritaskan mencari nafkah ketimbang menyekolahkan anak-anak mereka.
Elita merasa prihatin dengan kondisi sekolah. Terkadang, ia kehilangan semangat mengajar. Untuk mencapai sekolah tersebut, Elita harus menempuh perjalanan lebih dari setengah jam dengan mobil. Ketika tiba di ruang kelas, hanya ada 2-3 siswa.
Pengajar itu berharap pemerintah dapat memerhatikan sekolahnya, memperbaiki fasilitas, dan melakukan sosialisasi kepada orang tua ihwal pentingnya pendidikan bagi anak.
“Jadi, kualitas pendidikan semakin merata dan dirasakan semua kalangan,” kata Elita.
Di Lampung, kekurangan siswa bukan hanya di tingkat SD dan SMP, tetapi juga SMA dan SMK negeri. Merujuk data Musyawarah Kerja Kepala Sekolah SMA se-Lampung, sebanyak 8.800 bangku kosong pada tahun ajaran 2023/2024. Jumlah itu terdiri dari 5.000 bangku di SMA dan 3.800 bangku SMK. Lampung Barat dan Way Kanan adalah dua kabupaten dengan kekurangan siswa terbanyak.
Fenomena serupa di beberapa daerah lain, seperti Papua, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Aceh.
Kondisi fasilitas sekolah di Lampung pun memprihatinkan. Tak hanya di tempat Elita mengajar, tapi juga banyak sekolah lain.
Mengacu data Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, dari 51.464 unit ruang kelas di Lampung pada tahun ajaran 2023/2024, sebanyak 37.755 unit dalam kondisi rusak. Rinciannya, 17.746 unit rusak ringan, 14.218 unit rusak sedang, dan 5.791 unit rusak berat.
Sekolah dasar menjadi jenjang dengan kerusakan terbanyak, yaitu 24.446 ruang kelas. Lampung Barat dan Lampung Selatan adalah dua kabupaten dengan kerusakan berat terbanyak di setiap jenjang. Secara nasional, sekitar 1,5 juta ruang kelas sekolah mengalami kerusakan.
Selain itu, Lampung menghadapi masalah kekurangan tenaga pendidik. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Lampung mencatat masih ada kekurangan 7.000 guru untuk SMA/SMK pada 2023/2024. Di Bandar Lampung saja, kekurangan guru mencapai 6.000 orang untuk SD, SMP, dan SMA sederajat.
Data Kemendikdasmen juga menunjukkan bahwa Indonesia kekurangan lebih dari 600 ribu guru. Kualitas guru pun menjadi perhatian, dengan kurang dari 50 persen guru bersertifikat pendidik per Juni 2024. Hal ini disebabkan oleh akses pelatihan dan peningkatan kompetensi guru yang tidak merata.
Mutu guru yang rendah berdampak pada kemampuan akademik siswa. Mengatasi hal ini, Kemendikdasmen menerapkan tes kemampuan akademik siswa (TKA). Namun, banyak siswa di beberapa daerah tidak lulus, termasuk Lampung.
Dari 3.863 siswa SMP yang mengikuti seleksi untuk masuk SMA pada 11-12 Juni 2025, lebih dari 3.400 peserta memperoleh nilai di bawah 50. Hasil ini berbeda jauh dengan nilai yang tertera di rapor siswa, yang memperlihatkan bahwa nilai rapor tidak sepenuhnya objektif.
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Lampung menyatakan bahwa hasil tes menjadi evaluasi kualitas pendidikan. Hal ini mengingatkan guru untuk memberikan nilai berdasarkan kemampuan siswa yang sebenarnya, bukan karena kedekatan.
Dalam upaya mengatasi kompleksitas persoalan pendidikan dan tingginya angka putus sekolah, pemerintah meluncurkan kebijakan baru: Sekolah Rakyat. Saat berpidato pada 21 Maret lalu, Presiden Prabowo Subianto menyatakan bahwa program ini bertujuan memutus rantai kemiskinan dengan menyediakan pendidikan gratis bagi anak-anak tak mampu. Sekolah Rakyat akan dibuka pada tahun ajaran 2025/2026 untuk jenjang SD, SMP, dan SMA dengan sistem asrama.
Kepala Negara menargetkan pembangunan 200 unit Sekolah Rakyat per tahun. Dengan demikian, dalam lima tahun ke depan, setidaknya satu Sekolah Rakyat di setiap kabupaten, terutama di wilayah dengan penduduk miskin paling banyak.
Berbeda dengan sekolah reguler yang dikelola Kemendikdasmen, Sekolah Rakyat berada di bawah otoritas Kementerian Sosial. Namun, kedua lembaga ini tetap berkoordinasi dalam pelaksanaannya. Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi juga terlibat dalam penyusunan kurikulum.
Pembangunan Sekolah Rakyat menelan APBN sebesar Rp2,3 triliun, dengan biaya sekitar Rp150 miliar per sekolah. Saat ini, sekitar 53 Sekolah Rakyat dilaporkan siap beroperasi.
Lampung menjadi salah satu lokasi Sekolah Rakyat yang akan dimulai pada Juli mendatang. Program ini untuk sementara akan dilaksanakan di kompleks Badan Pembangunan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Lampung, Natar. Nantinya, gedung baru bakal dibangun di lahan seluas sepuluh hektare di kota baru.
Sayangnya, beberapa minggu menjelang tahun ajaran baru, gedung sementara yang digunakan masih tampak berantakan. Beberapa bagian atapnya jebol. Kaca yang pecah membiarkan sinar matahari masuk dan suara angin berembus ke dalam ruangan. Asrama dan ruang kelas terletak berhadapan, dengan asrama untuk siswa perempuan dan laki-laki berada dalam satu gedung yang terlihat kusam dan usang.
Ihwal renovasi dan kelengkapan sarana-prasarana sekolah, Kepala Keamanan BPSDM Ican mengatakan bahwa pihaknya masih menunggu instruksi. Ia bilang, kewenangan anggaran berada di Kementerian Sosial. BPSDM hanya menyediakan lokasi sementara, sebelum sekolah baru berdiri di kota baru.
Kepala Dinas Sosial Lampung Aswarodi berbicara dengan penuh keyakinan soal Sekolah Rakyat. Ia memutuskan untuk memulai dengan jenjang SMA karena penerapan sistem asrama. Banyak orang tua yang mungkin ragu untuk menyekolahkan anaknya di asrama, terutama untuk jenjang SD dan SMP. Oleh karena itu, perlu sosialisasi lebih masif agar masyarakat memahami program tersebut.
Saat ini, Dinsos telah merekrut 75 siswa perwakilan dari 15 kabupaten/kota di Lampung, meskipun prosesnya terbilang cepat dan sebaran siswa belum merata. Seharusnya, setiap kabupaten mendapatkan kuota lima siswa. Namun, untuk memenuhi target, kuota tersebut menjadi berbeda-beda. Lampung Selatan mendapatkan kuota 10 siswa, sementara Lampung Utara hanya satu, mencerminkan ketidakseimbangan dalam proses seleksi yang terburu-buru.
Sekolah Rakyat di Lampung belum memenuhi target nasional yang menetapkan kapasitas sekolah menampung 1.000 siswa. Sejauh ini, ruang kelas dan asrama yang tersedia hanya cukup 75 siswa. Penambahan kuota siswa baru setelah pembangunan selesai.
“Siswa yang dipilih berasal dari keluarga miskin ekstrem berdasarkan data Kementerian Sosial,” kata Aswarodi.
Dinas Pendidikan Lampung pun telah menyiapkan tenaga pendidik dan kepala sekolah. Operasional sekolah hanya tinggal menunggu persiapan asrama yang menjadi tanggung jawab Dinas PU-PR. Jika asrama sudah siap sebelum awal Juli, maka Sekolah Rakyat dipastikan berjalan.
Aswarodi mengakui bahwa proyek ini memiliki target yang ambisius, di mana Prabowo menginginkan 100 titik Sekolah Rakyat beroperasi tahun ini. Mengenai kurikulum, Aswarodi belum dapat memastikan. Namun, kemungkinan besar pelajaran umum akan mengikuti kurikulum nasional dengan penambahan materi pengasuhan untuk pembentukan karakter dan pelatihan keterampilan.
Paradigma Neoliberalisme
Elvandri Yogi, akademisi Sekolah Tinggi Ilmu Keguruan PGRI Bandar Lampung, melihat kebijakan pemerintah tentang Sekolah Rakyat dengan skeptisisme. Ia menilai bahwa pemerintah perlu meneliti lebih lanjut tujuan di balik pembangunan sekolah ini. Apakah sekadar membangun gedung baru, atau ada visi yang lebih besar?
Jika hanya fokus pada pembangunan fisik, maka keputusan itu tidak akan efisien. Di berbagai daerah, banyak sekolah yang masih kekurangan siswa, bahkan terpaksa ditutup. Ini menunjukkan bahwa ada masalah mendasar dalam distribusi siswa dan pemanfaatan fasilitas pendidikan. Kebijakan zonasi yang membatasi pilihan siswa, perpindahan ke pendidikan alternatif, dan kurangnya fasilitas serta tenaga pendidik di sekolah negeri menjadi beberapa penyebab utama.
Alih-alih membangun sekolah baru, pemerintah seyogianya memprioritaskan sekolah negeri yang sudah ada, dengan standar kurikulum, tenaga pengajar, dan fasilitas yang lebih stabil. Anggaran triliunan yang digunakan untuk membangun Sekolah Rakyat dapat dialihkan untuk pemerataan akses, perbaikan infrastruktur dan fasilitas, serta meningkatkan kesejahteraan guru di daerah-daerah tertinggal. Dengan demikian, kekosongan tenaga pendidik dapat teratasi. Selain itu, pemerintah bisa memberlakukan pendidikan gratis untuk SD-SMA, bahkan mungkin termasuk seragam.
“Langkah ini lebih efektif dalam mengatasi masalah putus sekolah bagi mereka yang terkendala biaya,” ujarnya.
Sekretaris Wilayah Serikat Pekerja Kampus Lampung itu menyoroti tujuan Sekolah Rakyat yang disebut-sebut mengatasi persoalan putus sekolah. Menurutnya, perlu riset mendalam untuk memahami masalah yang menyebabkan anak putus sekolah. Apakah hanya kendala biaya atau ada faktor lain?
Pengalaman Aditya dan Deni menunjukkan bahwa banyak anak putus sekolah bukan hanya karena terkendala biaya, tetapi juga kurangnya motivasi. Masyarakat masih beranggapan bahwa ijazah tidak menjamin mereka mendapatkan pekerjaan yang sesuai.
Bahkan, ada anak dari keluarga berkecukupan yang tidak memiliki motivasi sekolah karena bisa meneruskan usaha orang tua. Mereka merasa tidak perlu ijazah untuk memiliki penghasilan. Dunia pendidikan saat ini, termasuk sekolah dan perguruan tinggi, telah dipengaruhi oleh paradigma neoliberalisme. Pendidikan dianggap sebagai pemenuhan kebutuhan industri dan bentuk investasi ekonomi.
“Tujuan utama pendidikan bukan sekadar dapat ijazah dan pekerjaan, tetapi juga membentuk karakter dan pola pikir,” kata Elvandri.
Segregasi Sosial
Menurut Dodi Faedlulloh, peneliti Laboratorium Administrasi dan Kebijakan Publik Universitas Lampung, kebijakan publik tidak bisa dibangun hanya atas niat baik. Gagasan Sekolah Rakyat terdengar mulia, tapi di Lampung, kebijakan ini menimbulkan pertanyaan. Banyak sekolah negeri kekurangan murid dan terancam tutup. Infrastruktur sekolah-sekolah lain juga memprihatinkan dan belum mendapat perhatian negara.
Ketimbang membangun sekolah baru dengan konsep asrama, pemerintah sebaiknya memaksimalkan sekolah yang sudah ada. Ini bukan hanya menambah akses, tapi juga soal keadilan dan efisiensi.
Program Sekolah Rakyat bisa jadi proyek baru yang tidak menyentuh akar masalah pendidikan. Jika program ini hanya untuk “anak-anak miskin”, akan timbul segregasi sosial dan stigma negatif yang memperkuat marginalisasi dan diskriminasi.
Pemerintah perlu memprioritaskan prinsip inklusivitas pendidikan. Mengisolasi anak-anak dari keluarga miskin ekstrem ke dalam sekolah terpisah bukan hanya memisahkan mereka dari teman-teman dengan latar belakang berbeda, tapi juga berpotensi memperlebar jurang kesenjangan sosial. Pendidikan harus membuka pintu kesempatan yang sama bagi setiap anak, tanpa sekat kelas sosial atau ekonomi, sehingga mereka bisa tumbuh dan berkembang bersama.
Dodi juga mengingatkan bahwa program Sekolah Rakyat yang digagas Prabowo perlu dikolaborasikan dengan Kemendikbudristek. Tujuannya, guna memastikan kualitas kurikulum, metode pengajaran, dan evaluasi peserta didik sesuai standar pendidikan nasional.
“Pendidikan bukan sekadar pelayanan sosial, tapi juga transformasi kognitif, karakter, dan kapasitas siswa,” ujarnya.(*)
Laporan Derri Nugraha
Liputan ini mendapat dukungan dari Yayasan Kurawal sebagai upaya memperkuat demokrasi.