Para petani di pelosok Lampung sedang melakukan redefinisi kedaulatan. Prakarsa melalui skema Community Supported Agriculture dan pengelolaan ternak-mesin secara komunal bukan sekadar strategi bertahan hidup, melainkan sebuah pernyataan politik ekonomi: kedaulatan pangan hanya mungkin tercapai jika petani memegang kendali penuh atas modal fisik dan rantai nilai. Inilah wujud “sosialisme dari bawah” yang mentransformasi kolektivitas menjadi teknologi perlawanan terhadap dikte pasar, residu kimia, dan ketidakpastian akses lahan. Kemandirian paling otentik justru lahir dari mereka yang berada di titik paling rapuh dalam struktur negara.
Pagi itu, Siti Kurniasih berdiri di teras rumahnya. Ia memandangi petak sayuran di pekarangan. Pakcoy, sawi, bayam merah, selada, dan kangkung telah melewati dua hari tanpa air. Daun-daunnya mulai merunduk dan layu.
Pompa air di rumah Siti sudah beberapa hari berhenti berfungsi. Kerusakan mesin ini menghentikan aliran air untuk menyiram tanaman, mandi, dan memasak. Suaminya terpaksa berjalan ke sumur tetangga, memikul ember-ember untuk mencukupi kebutuhan harian.
Awal Juni itu, kemarau mulai datang. Tanpa hujan dalam seminggu, Siti bakal gagal panen. Uang simpanannya hanya cukup untuk membeli bahan pangan hingga masa panen di akhir bulan; tidak ada anggaran tersisa untuk perbaikan mesin. Siti membawa persoalan ini ke pertemuan kelompok taninya.
Tiga hari kemudian, koleganya Fransiska Triwati membawa kabar tentang seorang pelanggan sayur di kota. Pelanggan tersebut bersedia membelikan pompa air baru melalui skema Community Supported Agriculture (CSA).

Sistem ini menghubungkan konsumen langsung dengan petani. Di awal musim, konsumen menyediakan uang atau alat pertanian; sebagai imbalannya, mereka menerima bagian hasil panen secara berkala. Melalui sistem ini, risiko dan keuntungan ditanggung bersama, sekaligus memangkas rantai distribusi panjang pada pertanian konvensional.
Setelah pompa baru itu tiba, air kembali mengalir ke kebun Siti. Tanaman sawi, bayam, dan kangkung yang semula merunduk perlahan mulai tegak. Panen di akhir bulan kini menjadi kepastian.
Siti membayar harga pompa tersebut tanpa selisih harga atau bunga. Ia mencicilnya dengan mengirim ikatan-ikatan sayur kepada konsumen, tiap bulan.
Sejak 2019, Siti memanfaatkan lahan di samping rumahnya untuk menanam sayuran organik. Ia mengumpulkan kotoran hewan, kulit buah, rumput, dan daun kering guna dijadikan kompos. Semuanya bermula dari keinginan sederhana: memastikan anak-anak dan suaminya mengonsumsi pangan sehat. Seiring waktu, ikat demi ikat sayuran dari petak kecil itu menarik perhatian orang lain. Kini, usaha tersebut memberi tambahan pendapatan Rp400-Rp600 ribu, setiap bulan.
Praktik bertani selaras lingkungan ini perlahan melampaui pagar rumah Siti. Di Desa Bumijaya, Kecamatan Candipuro, Lampung Selatan, aktivitas serupa menjadi rutinitas puluhan perempuan lainnya. Pemandangan pagi di pelataran rumah mereka kini seragam: menyemai bibit, membolak-balik kompos, dan merawat tanaman. Tanpa struktur organisasi formal, mereka menjadikan pelataran rumah sebagai ruang produksi kolektif yang saling terhubung.

Dua kali dalam sepekan, kolektivitas itu mengambil bentuk nyata di rumah Siti. Para perempuan berkumpul membawa hasil panen masing-masing. Setiap kilogram sayur dicatat dalam buku, lalu disalurkan ke warga kota, rumah makan, dan minimarket melalui jaringan Asosiasi Petani Organik Lampung (APOL). Pada akhir bulan, rumah Siti kembali menjadi titik temu untuk pembagian hasil. Setiap petani bisa menerima uang hingga Rp600 ribu, jumlah yang setara dengan apa yang dihasilkan Siti.
“Semua dikerjakan bersama, mulai dari panen, pencatatan, hingga mengantar sayur kepada konsumen,” kata Siti.
Jejaring yang menghidupkan pekarangan Siti berakar dari pengalaman Fransiska. Ia mengenal pertanian organik jauh sebelum kelompok di Bumijaya terbentuk. Pada 2009, mertua Fransiska didiagnosis penyakit ginjal; dokter memberikan instruksi medis yang spesifik: pasien hanya boleh mengonsumsi makanan yang bebas dari residu bahan kimia. Namun, di pasar-pasar saat itu, Fransiska sulit menemukan sayuran yang memenuhi kriteria medis.
Kondisi kesehatan sang mertua mendorong Fransiska dan suaminya untuk mengubah total arah hidup. Mereka menutup usaha komputer, lalu beralih menjadi petani. Di lahan milik sendiri, keduanya mendalami teknik menanam tanpa zat kimia, mulai dari padi hingga sayur-sayuran.
Satu tahun lalu, pengalaman pribadi ini meluas dengan pendirian Asosiasi Petani Organik Lampung. Melalui jaringan ini, Fransiska mempertemukan hampir seratus petani organik yang tersebar di Metro, Lampung Timur, Lampung Tengah, Lampung Selatan, hingga Bandar Lampung.
Setelah serangkaian pertemuan di rumah Siti, Fransiska dan para petani menyepakati pembentukan Lumbung Pangan Bersama (LPB). Sistem ini dirancang untuk menjawab mekanisme pertanian konvensional yang mereka anggap tertutup dan tidak adil. Melalui skema LPB inilah, hubungan antara Siti dan konsumen di kota terjalin, hingga sebuah unit pompa air dapat dikirimkan ke Desa Bumijaya tepat saat kemarau mengancam ketersediaan air.
Dalam praktiknya, Lumbung Pangan Bersama dijalankan melalui lima aturan main. Sistem ini hanya menampung petani yang menerapkan metode tanam berkelanjutan guna menjamin standar kualitas pada setiap komoditas. Di sisi lain, para konsumen diberikan kedaulatan untuk memilih sendiri petani dan jenis produk yang ingin mereka sokong.

Urusan keuangan dikelola atas dasar transparansi, mulai dari rincian biaya produksi hingga pembagian keuntungan. Untuk menjaga efisiensi logistik, distribusi diatur melalui tiga jalur: pengiriman langsung, titik pengambilan bersama, atau melalui mitra distribusi. Keberhasilan sistem ini dipantau secara berkala, biasanya dilakukan di sela-sela pertemuan pembagian hasil panen yang berlangsung di rumah Siti.
Melalui pola ini, para petani perempuan di Desa Bumijaya tidak lagi bergerak untuk kepentingan pribadi masing-masing. Mereka memangkas kesenjangan dengan menciptakan kesetaraan akses terhadap sumber daya dan pasar. Di antara mereka tidak ada persaingan harga atau rebutan pelanggan, melainkan sebuah upaya untuk membangun kemandirian bersama.
“Bertani tidak hanya bicara hasil panen, tapi juga soal sistem yang lebih adil, berkelanjutan, dan transparan,” ujar Fransiska.
Agar gerakan kemandirian ini tidak berhenti di lingkup kelompok mereka, Fransiska dan para petani rutin menggelar berbagai kegiatan. Mereka mengadakan diskusi publik, bazar sayur, hingga donasi hasil panen organik yang melibatkan peran aktif konsumen.
Kini, meja makan di rumah Fransiska, Siti, dan puluhan petani organik lainnya tidak hanya menyajikan sayuran tanpa residu kimia. Di sana, terhidang bukti fisik dari sebuah sistem yang dibangun di atas kolektivitas. Mereka berharap model ini meluas. Mereka percaya bahwa petani dapat berdaya jika saling mendukung, dan tidak lagi menempatkan konsumen sebagai objek bisnis, melainkan bagian integral dari ekosistem pangan yang adil.
***
Lenguh sapi terdengar bersahut-sahutan di sebuah sudut Desa Purwokencono, Sekampung Udik, Lampung Timur. Cahyo Widodo muncul dari arah ladang, memanggul seikat besar rumput yang baru saja disabitnya. Ia mendekat, lalu menurunkan pakan itu ke dalam palung-palung semen yang dingin. Suara kunyahan yang berat dan basah segera memenuhi kandang.
Hampir sepuluh tahun Cahyo bersama para petani dalam Kelompok Tani Multibaliwo menjalankan praktik ternak kolektif. Aturannya sederhana: setiap anggota yang menerima satu ekor sapi atau kambing dewasa wajib mengembalikannya dalam bentuk dua ekor anakan. Melalui sistem pertukaran ini, aset kelompok bertambah hingga kini berjumlah sembilan ekor sapi dan lebih dari dua puluh ekor kambing.

Hewan-hewan ini adalah mesin penggerak desa. Kotorannya difermentasi menjadi pupuk alami, sementara tenaga otot sapi digunakan untuk membajak sawah. Pengelolaannya secara swadaya; setiap anggota memiliki hak pemanfaatan yang sama. Jika ada kebutuhan mendesak, satu atau dua ekor ternak akan dijual. Dari hasil penjualan tersebut, mereka membangun sebuah gudang dan membeli mesin penggilingan gabah.
Sebelum mesin itu ada, tepatnya pada 2016, Cahyo menyaksikan petani hanya menjadi penonton atas hasil panennya sendiri. Gabah terpaksa dilepas kepada tengkulak dengan harga yang ditentukan sepihak. Setelah dipotong ongkos giling, pendapatan yang tersisa nyaris tidak cukup untuk menutup modal tanam berikutnya.
Kondisi yang mencekik itu mendorong mereka duduk bersama. Dalam sebuah musyawarah, para petani sepakat mengumpulkan uang pribadi; satu juta untuk membeli sapi dan seratus ribu untuk kambing. Modal dari ternak inilah yang diputar hingga mereka mampu membiayai alat produksi sendiri. Kini, tangan petani menguasai seluruh rantai: mulai dari menanam, menggiling gabah, hingga menjual beras.
Kemandirian ini dijaga melalui sistem potongan yang ajek. Setiap 15 kilogram beras yang digiling, petani menyisihkan satu kilogram. Beras yang terkumpul di gudang menjadi aset bersama; digunakan untuk biaya perawatan mesin atau dana darurat bagi anggota.
“Semua alat produksi dan sumber daya dikelola secara kolektif guna kesejahteraan bersama,” kata Cahyo.

Saat ini, sebagian besar beras yang keluar dari mesin penggilingan Multibaliwo habis untuk meja makan keluarga petani. Tiada satu pun anggota kelompok yang membeli beras. Hanya jika terdapat sisa dari jatah keluarga, barulah petani menjualnya untuk keperluan lain.
Cahyo dan kelompoknya dengan sadar menghindari kerja sama dengan korporasi; mereka enggan kembali ke sistem yang mendikte harga secara sepihak. Bagi petani, memegang kendali atas harga gabah adalah cara menghargai keringat sendiri. Mereka lebih memilih menjajakan beras kepada kerabat atau desa tetangga dengan harga yang disepakati secara terbuka. Rantai distribusi itu mereka pangkas, membuat petani dan konsumen memiliki posisi setara.
Cahyo kini berusia 70 tahun. Tubuhnya masih tampak tegap dengan lengan kokoh dan otot perut yang bidang. Rambutnya, sebagian besar masih hitam, menyembunyikan usianya yang senja. Hampir dua dekade ia dan keluarganya menjalani hidup yang selaras dengan alam. Beras yang mereka konsumsi setiap hari adalah hasil dari proses organik, tumbuh di tanah yang tidak lagi disentuh bahan kimia sintetis.
Ikhtiar ini berakar dari pengalaman pahit antara tahun 2007 hingga 2009. Saat itu, istrinya didiagnosis kanker ginjal; dokter memberikan instruksi medis spesifik yang sulit dipenuhi pasar konvensional. Dari berbagai informasi yang ia kumpulkan, Cahyo sampai pada kesimpulan bahwa zat kimia yang terpapar melalui makanan merupakan salah satu pemicu munculnya sel ganas tersebut.
Demi kesembuhan sang istri, Cahyo mulai mengubah cara bertaninya. Ia menerapkan agroekologi, sebuah sistem yang menitikberatkan pada kesehatan pangan dan keberlanjutan lahan. Secara bertahap, ia membuang pupuk dan pestisida kimia dari ladangnya. Melalui perubahan pola makan yang lebih bersih itu, istri Cahyo masih bertahan hingga hari ini.
Langkah serupa diikuti puluhan petani lainnya. Mereka menyebutnya pertanian selaras alam, sebuah praktik yang mencoba menyatukan kembali aktivitas manusia dengan keragaman ekosistem. Namun kini, tantangan bukan lagi sekadar pasar yang tidak adil atau risiko penyakit; mereka sedang berhadapan dengan ketidakpastian atas lahan.

Babad tanah di Desa Purwokencono adalah hikayat sengketa yang panjang. Wilayah itu dahulunya bagian dari kawasan hutan lindung Register 38. Sebagian lahan telah digarap masyarakat sejak 1967, sebelum negara mengambil alih pada 1983. Gelombang reformasi 1998 membawa masyarakat kembali ke sana untuk menetap, dan secara bertahap membangun apa yang kini menjadi Desa Purwokencono.
Meski telah bermukim selama puluhan tahun, status hukum tanah ribuan warga tetap menggantung. Celah administratif inilah yang mengundang pihak luar untuk mengklaim lahan produktif tersebut. Cahyo dan para petani lainnya sudah tidak terhitung berapa kali keluar-masuk ruang sidang guna menghadapi sengketa yang selalu berakhir tanpa kepastian.
Sampai akhir 2025, belum ada tanda bahwa konflik tenurial yang berjalan lebih dari empat dekade itu akan mereda. Namun, para petani tidak berhenti. Sebagaimana mereka melawan sistem pasar, hak atas tanah diperjuangkan secara kolektif. Mereka turun ke jalan sekaligus bahu-membahu mengurus berkas administrasi, seperti Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah (Sporadik). Kekuatan komunal inilah yang menjadi satu-satunya alasan petani Purwokencono mampu bertahan.(*)
Laporan Derri Nugraha







