Kenaikan permukaan air laut akibat krisis iklim memengaruhi kondisi geografis. Setidaknya empat pulau di Lampung terus susut dalam dasawarsa terakhir. Fenomena ini berpotensi melahirkan pelbagai risiko dan mengancam kehidupan sosial-ekonomi masyarakat pesisir.
Usai menunaikan salat subuh, Herman (70) segera memanaskan mesin diesel kapalnya. Ia tak sendiri, perahu kecilnya itu mengangkut lima orang dewasa. Sejurus kemudian, Herman bersama empat temannya memacu kapal ke tengah laut. Mereka hendak mengangkat jala yang sebelumnya ditebar pada petang. Kalau beruntung, mereka bisa membawa pulang hingga satu ton rajungan.
Herman adalah nelayan rajungan dari Pulau Gosong Sekopong, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur. Pekerjaan tersebut dilakoni Herman saban hari. Namun, pada waktu tertentu, ia tak menangkap rajungan. Sebab, pada bulan-bulan dimaksud, populasi rajungan menyusut.
Biasanya, awal tahun adalah masa paceklik. Pada kondisi itu, Herman tetap melaut. Ia mencari ikan-ikan kecil agar pundi-pundinya tak kosong.
Lelaki berjanggut putih itu mendiami Pulau Gosong Sekopong sejak 1973. Selama bertahun-tahun, pulau tersebut menjadi ruang penghidupannya. Namun, belakangan ini, batin Herman tak tenang. Pasalnya, pulau yang terbentang pasir putih itu kehilangan setengah daratannya.
“Dahulu, (bentuk pulau) seperti meja dan luas. Perlahan berubah menjadi huruf U, dan terus berkurang setiap tahun,” kata Herman di Pulau Gosong Sekopong, akhir Februari lalu.
Tangkapan citra satelit, pada 2008, bagian pulau terlihat luas. Beberapa titik tampak tumbuhan. Kini, pulau tersebut hanya membentuk garis lurus. Nyaris tak ada tanaman yang tumbuh di sana.
Herman bilang, beberapa tahun lalu, penduduk Pulau Gosong Sekopong masih ratusan orang. Tenggelamnya sejumlah bagian daratan memaksa para penghuninya pindah dari pulau. Beberapa menetap ke daratan terdekat, sementara lainnya ke tempat kerabat. Sekarang, tak lebih dari 20 kepala keluarga di pulau itu.
Penduduk yang masih bertahan tak banyak pilihan. Sebab, pulau itu menjadi ladang penghidupan sekaligus tempat tinggal. Banyak dari mereka tidak memiliki rumah di tempat lain.
“Keahlian cuma jadi nelayan, jadi enggak bisa (pindah) kemana-mana,” ujar Herman.
Begitu pula dengan Rosmita (45). Ia lahir dan besar di Pulau Gosong Sekopong. Orang tuanya nelayan di sana. Kini, ia telah menikah dan dikaruniai tiga anak. Semua anaknya dibesarkan di pulau tersebut.
Suami Rosmita pun bekerja sebagai nelayan. Pagi sampai siang, sang suami menjala ikan-ikan kecil. Sore harinya, Rosmita memilah tangkapan. Nantinya, ikan tersebut diolah jadi ikan asin, lalu dijual.
“Kami tak punya tempat lain. Rumah dan mata pencaharian kami di pulau ini,” kata Rosmita.
Rosmita bercerita, tiap tahun, area Pulau Gosong Sekopong terus susut. Bahkan, pada waktu tertentu, pulau itu lenyap terendam air pasang. Tatkala air mulai surut, rumah mereka biasanya bergeser dari posisi semula. Dalam beberapa tahun terakhir, sekitar 2-3 kali rumahnya pindah posisi.
Di sana, mayoritas rumah semipermanen. Berdinding geribik, atap rumah menggunakan terpal berbahan dasar plastik. Ada juga terbuat dari anyaman daun kelapa. Desain rumah memang dapat dibongkar pasang. Tujuannya, ketika bagian daratan tenggelam, warga pulau bisa membongkar dan menggeser rumahnya ke tempat yang lebih aman.
Rosmita juga bilang, semula pulau tersebut terdapat pohon, seperti cemara. Namun, semuanya hilang terseret ombak ketika air pasang. Bahkan, masjid di pulau itu tenggelam.
“Bingung kalau sampai pulau ini tenggelam. Enggak tahu mau tinggal di mana,” ujarnya.
Rosmita dan penduduk pulau hanya bisa pasrah. Mereka belum punya gambaran bila Pulau Gosong Sekopong benar-benar hilang. Mereka berharap, pulau yang menjadi ruang penghidupan itu tak lenyap ditelan air laut.
Banyak Daratan Tenggelam
Tenggelamnya wilayah daratan tak hanya di Pulau Gosong Sekopong. Dari total 132 pulau-pulau kecil di Lampung, setidaknya ada empat pulau yang sebagian daratannya terus luak.
Kira-kira 90 menit naik speedboat dari Pulau Gosong Sekopong, terdapat Pulau Segama Besar. Terletak sekitar 130 kilometer sebelah utara-barat laut Jakarta, pulau itu diperkirakan kehilangan puluhan meter daratannya dalam 10 tahun terakhir.
Babai, Petugas Navigasi Kelas Satu Tanjung Priok, Direktorat Jenderal (Ditjen) Perhubungan Laut, Kementerian Perhubungan, mengatakan bahwa selama empat tahun belakangan, sekitar 5-6 meter daratan Pulau Segama tenggelam.
“Sekarang, garis pantainya mengecil dan mendekati mes petugas,” kata Babai di Pulau Segama Besar.
Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 1 Tahun 2018 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir Pulau-pulau Kecil, Pulau Segama merupakan kawasan konservasi. Namun, seorang warga yang tinggal di Labuhan Maringgai mengklaim sebagai pemilik pulau tersebut.
Babai sempat melapor ke Ditjen Perhubungan Laut soal berkurangnya daratan Pulau Segama. Akan tetapi, otoritas yang bertugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang perhubungan laut itu tak dapat berbuat banyak. Alasannya, pulau tersebut milik perorangan.
“Ditjen bilang, kalaupun pulau tersebut tenggelam, mungkin nanti hanya menjadi tempat menara suar, tak dijaga,” ucap Babai.
Ia menyayangkan jika pulau tersebut sampai tenggelam. Sebab, pulau dengan panjang pantai 1.414 meter itu merupakan habitat alami penyu. Pulau Segama menjadi tempat bersarang dan bertelur ribuan penyu sisik (eretmochelys imbricata).
Yayasan Penyu Laut Indonesia (YPLI) mengidentifikasi sebanyak 10.684 sarang penyu sisik dan 16 penyu hijau. Hingga Desember 2016, sekitar 479.945 ekor tukik dari 818.483 butir telur telah menetas dan lepas ke laut.
“Pulau Segama mungkin satu-satunya tempat peneluran penyu sisik terbanyak di kepulauan Indonesia. Pada 2022 saja, sebanyak 2.000 sarang yang telah kami lindungi,” ujar staf YPLI Ema Herma, Kamis, 16 Maret 2023.
Sama dengan Babai, Ema pun menyesalkan bila Pulau Segama sampai hilang. Sebab, secara global, keberadaan penyu sisik masuk dalam daftar hewan yang terancam punah. Pada 2008, Badan Koservasi Dunia (IUCN) menetapkan penyu sisik dalam daftar critical endangered, yaitu spesies yang berisiko tinggi punah di alam liar.
“Sebelum Pulau Segama hilang, akan lebih baik jika konservasi penyu terus dilakukan, sehingga proses regenerasi berlanjut. Paling tidak, bisa menghambat laju kepunahannya,” kata Ema.
Selain Pulau Segama dan Gosong Sekopong, terdapat dua pulau kecil lain yang juga daratannya tenggelam, yaitu Pulau Kubur dan Pulau Umang. Masing-masing terletak di Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Lampung Selatan.
Kedua pulau tersebut merupakan destinasi wisata di Lampung. Sejak 2018, Pulau Kubur berganti nama menjadi Pulau Permata. Banyak warga Bandar Lampung dan luar daerah berkunjung ke pulau itu.
Di sana, terhampar pasir putih dan air laut yang jernih. Lalu, sekitar pulau ditumbuhi padang lamun. Namun, keindahan pulau itu terancam hilang. Pasalnya, setiap tahun, pasir pantai pulau terkikis air laut.
“Dua tahun belakangan saja, sekitar 3-4 meter pasir pulau yang hilang,” ucap Robin (25), penjaga Pulau Kubur. Bahkan, pada waktu tertentu, ketika pasang, air laut masuk cukup dalam ke pulau.
Keterangan Robin diperkuat Gusnadi (70), warga Waytataan, Kecamatan Telukbetung Timur, Bandar Lampung. Ia menghabiskan separuh hidupnya menjadi nelayan di sekitar Pulau Kubur.
Gusnadi bilang, pada 1980, daratan Pulau Kubur masih lebar. Puluhan pohon nyiur berdiri di situ. Tadinya, Pulau Kubur merupakan tempat penampungan ubur-ubur. Ia kerap menjual ubur-ubur ke sana.
“Sekarang sudah hilang pohonnya, tenggelam. Mungkin sekitar 50 meter yang hilang pasirnya itu,” kata Gusnadi.
Adapun Pulau Umang berseberangan dengan Pulau Sebesi, Lampung Selatan. Pulau tersebut tak berpenghuni. Namun, acap menjadi destinasi wisata snorkeling karena memiliki panorama bawah laut. Terumbu karang masih terjaga. Airnya pun bening. Sama dengan beberapa pulau lainnya, daratan Pulau Umang semakin berkurang setiap tahun.
Rahmatullah (47), warga Desa Tejang, Pulau Sebesi, mengingat bahwa dahulu jarak Pulau Umang dan Sebesi terbilang dekat. Kala itu, daratannya masih lebar.
“Waktu kecil, saya suka berenang dari Pulau Sebesi ke Pulau Umang karena dekat. Sekarang makin jauh karena pasirnya sudah hilang,” kata Rahmatullah.
Menurutnya, dalam 20 tahun terakhir, sekitar 20-30 meter daratan Pulau Umang yang lesap. Kondisi itu makin parah tatkala tsunami pada 2018.
“Bukan cuma Pulau Umang, dahulu Pulau Panjang yang ada di depan Pulau Sebesi juga daratannya tersambung. Tapi, sekarang sudah tenggelam, jadi terpisah pulaunya,” ujar Rahmatullah.
Krisis Iklim Lebih Cepat
Pengamatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Eksekutif Daerah Lampung, menghilangnya area daratan juga terjadi di daerah pesisir.
Kawasan pesisir di Lampung Selatan, Lampung Timur, dan Tulangbawang adalah daerah yang paling banyak mengalami degradasi garis pantai. Desa yang berada di bibir pantai kini makin dekat dengan laut. Beberapa desa dimaksud, antara lain Lampung Selatan: Bandar Agung dan Berundung; Lampung Timur: Muara Gading Mas dan Pulau Mundu; Tulangbawang: Sungai Nibung dan Dipasena.
Walhi menilai, penyebab utama tenggelamnya daratan di pulau-pulau kecil dan pesisir Lampung karena rusaknya ekosistem mengrove, dan kenaikan permukaan air laut akibat krisis iklim.
Catatan Walhi pada 2020, lebih dari 70% hutan bakau di Lampung rusak parah. Dari seluas 160.000 hektare hutan bakau, sekitar 136.000 hektare beralih fungsi menjadi penambakan. Hutan bakau yang tersisa diperkirakan 1.700 hektare. Itu pun dalam kondisi kritis.
Ketiadaan benteng utama penahan gelombang air laut akhirnya menggerus pantai pesisir. Dampaknya, sebagian area daratan pulau-pulau kecil di Lampung pun tenggelam. Sebab, setiap tahun, gelombang air laut bertambah tinggi seiring kenaikan permukaan air laut.
Kemudian, laporan penilaian keenam Intergovermental Panel On Climate Change (IPCC) pada 2022 menyebut, peningkatan rata-rata suhu bumi mencapai 1,1 derajat Celsius selama periode 1850-1900. Kenaikan suhu bumi berdampak terhadap peningkatan frekuensi dan intensitas gelombang panas yang mengakibatkan pencairan lapisan es di kutub.
Sepanjang 1994-2017, bumi telah kehilangan 28 triliun ton es di kutub. Pada 2020, es seluas 3,75 juta kilometer hilang dari Arktik. Terbaru, bongkahan es seluas Kota London, Inggris, lepas dari Antartika pada Januari 2023.
Mencairnya lapisan es tersebut menyebabkan kenaikan volume air laut dunia secara cepat. Badan ilmu iklim terbesar dunia yang berisi 195 negara itu memperhitungkan, sejak tahun 1990, permukaan air laut meningkat dua milimeter setiap tahunnya. Pada skenario terburuk, ilmuwan memproyeksikan kenaikan permukaan air laut mencapai satu meter pada 2100. Jika hal itu terus berlanjut, maka dapat meningkatkan risiko tingginya intensitas rob, perubahan arus laut, meluasnya kerusakan mangrove, dan mengancam kehidupan sosial-ekonomi masyarakat pesisir serta pulau-pulau kecil.
Perubahan iklim pun dapat memicu konflik. Beberapa terkait dengan pertanian dan ekonomi. Ketika hasil panen berkurang dan produktivitas menurun, masyarakat bisa goyah. Kemudian, manakala kekeringan dan gelombang panas melanda, guncangannya dapat terasa lebih dalam. Ia memicu pertengkaran politik dan mengungkap sumber konflik lain yang belum diketahui.
Center for Climate and Security, lembaga pemikir tingkat negara, memilah ancaman dari perubahan iklim dalam enam kategori. Pertama, negara Catch-22, pemerintahnya sudah menanggapi tantangan iklim lokal – terhadap pertanian. Misal, beralih ke pasar global yang sekarang makin rentan terkena guncangan iklim.
Kedua, negara rapuh – tampak stabil, tapi hanya karena bernasib baik dalam hal iklim. Ketiga, negara rawan, misalnya Sudan, Yaman, dan Bangladesh, di mana dampak iklim telah merusak kepercayaan terhadap otoritas negara.
Kategori keempat, zona perselisihan antarnegara, seperti Laut Tiongkok Selatan atau Artika. Kelima, negara menghilang, secara harfiah contohnya Maladewa. Terakhir, aktor nonnegara, misalnya NIIS/ISIS yang bisa merebut sumber daya lokal, seperti sumber air tawar. Itu cara mendapat kekuatan melawan otoritas negara atau penduduk setempat.
“Dalam tiap kasus, iklim bukan satu-satunya penyebab, melainkan pemicu yang membakar ikatan sosial,” kata David Wallace-Wells, penulis buku “Bumi yang Tak Dapat Dihuni.”
Tahun lalu, Badan Riset dan Inovasi Nasional memprediksi setidaknya 115 pulau di Indonesia akan tenggelam pada 2100. Penyebabnya, kenaikan muka air laut dan penurunan muka tanah.
Salah satu faktor meningkatnya suhu permukaan bumi yang memengaruhi kenaikan permukaan air laut, yakni konsentrasi emisi gas rumah kaca di atmosfer cukup tinggi. Fenomena itu menyebabkan sinar matahari yang masuk ke bumi terperangkap karena tertahan oleh gas-gas di lapisan atmosfer. Akibatnya, suhu bumi makin panas.
Jumlah emisi gas rumah kaca pun meningkat 43% dalam dua dekade terakhir, atau pada 2018 setara 51,8 miliar ton CO2 ekuivalen. Penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar adalah aktivitas manusia, seperti asap kendaraan, limbah industri dan peternakan, serta deforestasi.
Berkurangnya vegetasi hijau akibat kerusakan dan alih fungsi hutan juga turut meningkatkan emisi gas rumah kaca. Sebab, hutan berfungsi menangkap karbon di udara. Ketika terjadi alih fungsi hutan, kemampuan menyerap karbon berkurang, sehingga karbon lebih banyak lepas ke atmosfer.
Di Lampung, hingga tahun 2020, kerusakan hutan mencapai 375.928 hektare, atau 37,42% dari total hutan. Ini mengisyaratkan bahwa kemungkinan krisis iklim lebih buruk akan terjadi lebih cepat.
Belum Maksimal
Sementara itu, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Lampung mengakui belum maksimal dalam menjaga pulau-pulau kecil. Dalihnya, terdapat batasan kewenangan provinsi.
“Kewenangan tata ruang laut itu di Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kami hanya punya kewenangan sampai 12 mil. Tapi, sekarang sudah terintegrasi, mudah-mudahan ke depan bisa lebih baik,” kata Lianurzen, Kabid Perencanaan Infrastruktur & Kewilayahan Bappeda Lampung.
Sebenarnya, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung sudah mengambil langkah ihwal mitigasi krisis iklim. Langkah tersebut tertuang dalam Peraturan Gubernur Lampung Nomor 32 Tahun 2012 tentang Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca, dan Rencana Pembanguan Daerah Jangka Menengah (RPJMD) 2019-2024.
Melalui kedua beleid itu, Pemprov Lampung mengintegrasikan dinas-dinas terkait untuk melaksanakan penurunan emisi gas rumah kaca dan peningkatan cadangan karbon. Terdapat sejumlah bidang yang menjadi prioritas penurunan emisi gas rumah kaca, di antaranya bidang pertanian, kehutanan, energi, industri, dan pengolahan limbah.
“Jadi, kami mendorong masing-masing dinas bisa membuat program untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. Misal, Dinas Kehutanan untuk rehabilitasi dan pemulihan lahan hutan. Lalu, Dinas Lingkungan Hidup untuk pengolahan limbah rendah emisi, dan Dinas Pertanian mendorong penggunaan pupuk organik,” ujar Lianurzein.
Namun, hasil evaluasi, implementasi kebijakan penurunan emisi gas rumah kaca di Lampung belum maksimal. Begitu juga dengan peningkatan cadangan karbon. Pemprov Lampung menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 8,40% pada 2030.(*)
Liputan ini kolaborasi konsentris dan Walhi Lampung dengan dukungan finansial dari Google News Initiative News Equity Fund.