Masyarakat di kawasan pesisir Bandar Lampung telah lama “bersahabat” dengan sampah. Persoalan itu bukan hanya menggerus pendapatan nelayan, tapi juga mengancam keselamatan masyarakat pesisir. Bahaya nyata di depan mata!
“Byurrr…” deru air saat Tama melompat dengan gaya bycicle kick ke laut. Sore itu, Tama dan anak-anak lain kampung nelayan Sukaraja kembali bersua di bibir pantai, tepatnya di Kecamatan Bumi Waras, Kota Bandar Lampung. Bagi Tama dan teman-temannya, pantai adalah taman bermain disela-sela kepenatan menanti masuk sekolah yang libur akibat pandemi Covid-19. Tama berumur 7 tahun. Saat ini, ia duduk di bangku kelas 3 sekolah dasar-terlalu muda memang. Namun, di kampungnya masuk sekolah saat usia muda sudah biasa.
“Tama! Naik gak!!” teriak Vita dari atas beton panjang penahan air laut di pinggir pantai. Ia mengancam agar Tama segera keluar dari badan air. Vita adalah kakak perempuan Tama, mereka enam bersaudara. Vita anak pertama, sedangkan Tama anak keempat. Seolah tak menghiraukan ancaman saudaranya itu, Tama tetap asyik berenang dengan gaya seperti menginjak-injak air dan tangan mendorong tubuh ke atas-biasa disebut berenang gaya anjing.
Ancaman Vita bukan tanpa alasan. Kondisi air laut yang jadi tempat bermain oleh Tama dkk itu tercemar cukup parah. Berbagai macam sampah menggenang sejauh mata memandang di sekitar pantai. Tak seperti di tempat lain, air laut di sana terlihat keruh kehitaman. Tak tampak pasir ataupun batu karang. Hanya sampah. Kondisi tersebut sudah lebih dari dua puluh tahun.
Asal Muasal Sampah
Provinsi Lampung memiliki wilayah perairan cukup luas (16.625,3 km2), terdiri dari Teluk Lampung dan Selat Sunda, Teluk Semangka, Pantai Barat, Pantai Timur, dan pulau-pulau kecil. Di antara wilayah perairan tersebut terdapat salah satu teluk besar, yaitu Teluk Lampung.
Teluk Lampung merupakan sebuah teluk di perairan Selat Sunda yang terletak di selatan Lampung. Di teluk ini, bermuara dua sungai yang membelah Kota Bandar Lampung. Teluk itu berada di antara Kota Bandar Lampung, Kabupaten Lampung Selatan, dan Kabupaten Pesawaran. Pelabuhan Panjang juga terdapat di teluk ini. Pulau Pasaran, Pulau Sebesi, Pulau Sebuku, Pulau Legundi, Pulau Kelagian, Pulau Condong Laut, Pulau Tangkil, Pulau Tegal, dan pulau kecil lainnya adalah gugusan kepulauan yang berada di Teluk Lampung
Merujuk Data Dinas Lingkungan Hidup Lampung, sekitar 57 ribu ton sampah masuk ke perairan Lampung setiap tahun. Dari jumlah tersebut, sekitar 19 ribu ton masuk ke wilayah pesisir teluk Lampung. Adapun sampah yang masuk perairan laut sekitar Kota Bandar Lampung lebih dari 8.000 ton per tahun.
Penumpukan sampah di kawasan pesisir Bandar Lampung tak lepas dari peredaran sampah yang tak selesai diproses di darat. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung menyebut bahwa selain aktivitas masyarakat pesisir, penumpukan sampah di kawasan pesisir juga disumbang kiriman sampah. Sampah itu dibuang di sungai dari wilayah hulu yang akhirnya bermuara di Laut.
“Karena karakteristik pesisir Bandar Lampung ini wilayah teluk (perairan yang menjorok ke daratan). Sehingga, pada saat-saat tertentu, sampah akan menumpuk di wilayah pesisir,” kata Direktur Walhi Lampung Irfan Tri Musri di sekretariat Walhi Lampung, Sabtu, 28/11/2020.
Kegagalan Pemerintah Kota Bandar Lampung dalam pengelolaan sampah menjadikan persoalan sampah tak kunjung usai. Seperti ada gap sosial.
“Pengelolaan sampah di kawasan kelas menengah ke atas itu terlaksana. Sedangkan di permukiman pesisir, sangat minim ketersediaan tempat pembuangan sampah sementara (TPS) dan sarana pengelolaan sampah,” ujar Irfan.
Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Lampung tak membantah Walhi. Kurangnya jumlah petugas dan kapasitas tempat pembuangan akhir (TPA) menjadi sebagian kendala dalam pengelolaan sampah.
“Jika bicara masalah sampah tidak lepas dari peran masyarakat, walaupun dalam praktiknya memang petugas menjadi sebagian kendala dalam pengelolaan sampah,” kata Muhammad Budi Setiawan, Kabid Pengelolaan Sampah dan Limbah B3 Dinas Lingkungan Hidup Lampung.
Bertambahnya populasi masyarakat di Bandar Lampung, sebut Budi, tidak sebanding dengan kemampuan petugas dalam pengelolaan sampah. Ia bilang, “Sebenarnya kejar-kejaran antara sampah dari masyarakat, lalu kemampuan petugas untuk mengangkut, serta kapasitas harian TPA untuk menampung.”
TPA Bakung adalah satu-satunya tempat pengelolaan sampah akhir di Lampung. Kini, daya tampungnya sudah sampai pada ambang batas.
Dampak
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Bandar Lampung, jumlah penduduk di kawasan pesisir sebanyak 185.466 jiwa pada 2019. Kebanyakan dari mereka menggantungkan hidup dari hasil melaut. Seiring waktu, tangkapan para nelayan mengalami penyusutan. Penyebab utama yang memengaruhi pendapatan nelayan adalah sampah.
“Sebelum adanya sampah ini, ya Alhamdulillah (hasil melaut) cukup melimpah. Setelah adanya sampah ini berkurang (tangkapan),” ujar Maryudi, Ketua Kelompok Nelayan Sukaraja.
Maryudi dkk kerap kesulitan dalam menjaring ikan akibat penumpukan sampah. Sebab, sampah yang berserakan pelbagai rupa, seperti kayu, paku, hingga botol kaca. Sampah-sampah itu menyusahkan para nelayan saat menarik jala dari laut.
Persoalan sampah ini memang tanggung jawab bersama. Namun, pengelolaannya perlu perhatian serius dari pemerintah.
“Yang seperti ini kan harusnya pahamlah orang jenius-jenius di sana, yang di atas, di pemerintahan itu,” ucap Maryudi.
Tak jarang tangkapan nelayan bercampur sampah plastik. Malah lebih banyak sampah ketimbang ikan. Hal itu berimbas pada penghasilan nelayan.
“Ini lihat saja hasilnya. Tiga jam (melaut) cuma dapat Rp360 ribu, dibagi delapan orang,” kata Jepri, salah satu nelayan, setelah menjual hasil melaut kepada pengepul.
Ketika ditanya harapan terkait sampah di kampungnya, Jepri menghela nafas. Seolah sudah bosan dijejali pertanyaan yang sama oleh setiap wartawan yang datang ke kampungnya.
“Waduh…gak bisa ngomong masalah harapan mah. Dari dahulu harapan-harapan melulu. Pengennya mah cepat habis sampah ini. Cuma gimana ya, gak bakal abis kayaknya mah ya,” ujarnya.
Selain berkurangnya tangkapan, masyarakat di kawasan pesisir Bandar Lampung juga menghadapi persoalan lain, yaitu rob. Naiknya permukaan air laut itu merupakan dampak dari perubahan iklim.
Sampah adalah salah satu penyebab perubahan iklim. Sebab, sampah yang tak diolah dapat menimbulkan gas metana dan karbon dioksida yang berefek pada pemanasan global.
Halimah, salah satu warga yang rumahnya berhadapan langsung dengan laut, mengatakan air kerap kali naik hingga masuk ke rumah. Terakhir, kampungnya dilanda banjir rob saat Idulfitri pada 2020.
“Sering naik airnya, masuk ke rumah, tiap tahun,” kata Halimah. “Terakhir itu (banjir rob pada Juni) ketinggian air mencapai pinggang orang dewasa.”
Masalah kesehatan juga mengancam masyarakat setempat. Secara fisik, anak-anak di kampung nelayan Sukaraja mengalami masalah kulit. Selain itu, penumpukan sampah juga mengundang banyak serangga. Kuman di sampah dapat menempel pada serangga, lalu hinggap pada makanan, pakaian, atau tubuh. Artinya, makanan yang dihinggapi serangga tersebut tercemar kuman dari sampah. Ini dapat menimbulkan berbagai penyakit, seperti diare, tifus, hingga infeksi saluran pernapasan akut (Ispa).
Ancaman Masa Depan
Akumulasi sampah di kawasan pesisir Bandar Lampung telah berpuluh tahun. Keadaan tersebut menyimpan ancaman serius bagi kehidupan masyarakat pesisir ke depan. Sampah organik maupun anorganik yang telah terdegradasi mengakibatkan hancurnya ekosistem dasar laut, batu karang, dan padang lamun. Bahkan, beberapa spesies ikan sudah tidak lagi terlihat dalam radius satu kilometer dari bibir pantai. Dasar Laut didominasi sedimen lumpur dengan kedalaman sekitar satu meter, tidak ada pasir terlihat.
Diky Hidayat, dosen kimia lingkungan Universitas Lampung (Unila), menceritakan tahun 1980-an kawasan perairan pesisir Bandar Lampung belum tercemar. Ekosistem laut masih terjaga.
“Saya kebetulan lahir di Panjang. Dahulu masih ada padang lamun, air lautnya masih jernih, batu karang masih ada. Beberapa spesies ikan juga masih banyak, udang, cumi-cumi juga masih banyak,” kata Diky.
Pencemaran di pesisir Bandar Lampung dampak dari reklamasi. Lokasi reklamasi terletak di Kelurahan Bumi Waras seluas 117 hektare. Kelurahan Bumi Waras menjadi salah satu pilihan lokasi reklamasi pantai yang cukup luas, mengingat di daerah tersebut strategis karena banyak pertokoan, pergudangan, dan kawasan industri.
Dampak reklamasi tersebut menyebabkan berbagai permasalahan. Salah satunya, pencemaran air laut akibat penumpukan sampah yang berasal dari aktivitas industri dan masyarakat yang membuang sampah ke laut.
“Jika hal ini (pencemaran) dibiarkan terus berlangsung, dalam jangka waktu yang tidak lama lagi, mungkin laut di teluk Lampung itu sudah tidak bisa dimanfaatkan,” kata Diky.
Diky secara berkala melakukan riset terkait kualitas perairan di pesisir Bandar Lampung. Data terakhir yang ia temukan pada 2018, sebagian perairan di pesisir Bandar Lampung telah tercemar. Cemaran beragam, termasuk logam berat seperti timbal, mangan, dan besi. Bahkan, paling ekstrem adalah sedimentasi dari sampah plastik.
“Kandungan logam berat tersebut dapat mengganggu sistem saraf. Bahkan, dapat mengakibatkan kematian,” ujarnya.
Selain itu, sampah plastik di laut akan terurai menjadi mikroplastik. Partikel-partikel plastik tersebut dapat termakan ikan dan berakhir di perut manusia. Berbagai penelitian menyebutkan bahwa mikroplastik bisa mengganggu sistem saraf dan berpotensi menimbulkan risiko kanker. Hal ini bukan hanya menjadi ancaman. Tapi, bahaya nyata bagi manusia, khususnya masyarakat di kawasan pesisir Bandar Lampung.(*)
Catatan: Liputan ini dimuat Mongabay pada 9 Desember 2020. Judulnya: Sampah, Sumber Segala Masalah Lingkungan di Teluk Lampung.
Laporan Derri Nugraha